Isu Terkini

Suara Perempuan Menentukan Hasil Pemilu AS 2020

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Perempuan dan warga kulit hitam di Amerika Serikat (AS) jadi bagian penting dalam perjalanan demokrasi di Negeri Abang Sam. Suara dari dua kelompok ini punya sejarah panjang yang cukup terjal sampai akhirnya bisa memberi pengaruh signifikan terhadap hasil akhir pemilihan umum (pemilu). Seperti apa suara dari kelompok-kelompok ini di detik-detik terakhir jelang hari H Pemilu AS 2020?

Suara perempuan di AS kerap kali berada di tingkatan yang lebih tinggi ketimbang suara pria di setiap pemilihan presiden sejak 1980. Kondisi itu pun membuat daya tawar mereka dianggap cukup kuat dalam menentukan sikap. Kathryn DePalo-Gould, seorang profesor ilmu politik di Florida International University, pernah mengatakan bahwa saat perempuan mendapatkan hak untuk memilih di AS 100 tahun yang lalu, kaum pria justru takut.

Sebab, lanjut DePalo-Gould, kalau perempuan bersatu membentuk partai mereka sendiri, mereka dapat mengganggu sistem politik negara. Namun, situasi itu tentu saja tak terjadi, sebab partai politik cepat beradaptasi dengan memasukkan perempuan dalam struktur organisasinya.

Namun, dikutip dari History, Senin (02/11/20), pada tahun 1913, sempat muncul Partai Wanita Nasional (NWP). Kemunculan NWP merupakan hasil dari Serikat Kongres untuk Hak Pilih Perempuan, yang dibentuk oleh Alice Paul dan Lucy Burns untuk memperjuangkan hak pilih perempuan.

Kala itu, NWP memisahkan diri dari Asosiasi Nasional Hak Pilih Perempuan Amerika yang jauh lebih besar, yang berfokus pada upaya untuk mendapatkan hak pilih perempuan di tingkat negara bagian. NWP memprioritaskan pengesahan amendemen konstitusi yang memastikan hak pilih perempuan di seluruh AS.

Pada tahun 1916, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik secara terbuka mendukung pemberian hak pilih bagi perempuan. Adapun pergerakan perempuan dalam pemilu AS dimulai pada pertengahan abad ke-19, di mana perempuan mulai aktif di dunia politik dalam pekerjaan mereka di gerakan abolisionis dan pertarakan.

Butuh beberapa dekade sebelum perempuan kulit berwarna—termasuk perempuan kulit hitam, pribumi, Amerika Asia, dan latin—untuk bisa memilih. Amendemen ke-19 konstitusi AS akhirnya memperbolehkan perempuan untuk memiliki hak pilih dalam pemilu. Pengesahan amandemen itu dilakukan Sekretariat Amerika Bainbridge Colby pada 26 Agustus 1920 silam.

Adapun amendemen tersebut baru disahkan setelah 70 tahun perempuan tidak memiliki suara. Isinya menyatakan bahwa “Hak warga negara Amerika Serikat untuk memilih tidak boleh ditolak atau dibatasi oleh Amerika Serikat atau oleh Negara Bagian manapun karena jenis kelamin.”

Namun, bagi perempuan yang memiliki hak pilih di tahun 1920, ternyata banyak yang tidak memilih sama sekali. Baru pada tahun 1980, sebuah kesenjangan gender—perbedaan antara proporsi perempuan dan laki-laki yang mendukung calon tertentu—muncul dalam pemilihan presiden. Itu juga merupakan tahun pertama di mana perempuan memberikan suara lebih tinggi daripada laki-laki.

Tren itu terus berlanjut di setiap pemilihan presiden sejak saat itu, dan kondisi itulah yang akhirnya membuat perempuan menjadi kekuatan yang kuat di kotak suara sampai hari ini. “Para pemilih perempuan memutuskan pemilihan,” kata DePalo-Gould kepada Al Jazeera.

Partisipasi Perempuan Menguat di Pemilu AS Era Modern

Kita tentu saja masih ingat bagaimana Barack Obama mengejutkan dunia saat berhasil masuk Gedung Putih usai memenangkan Pemilu AS 2008 lalu. Pada keriuhan saat itu, perempuan—terutama perempuan kulit hitam—punya andil cukup besar dalam memenangkan Obama. Tak berhenti sampai di situ, keberhasilan Obama melanjutkan periode kedua kepemimpinannya juga tak lepas dari kontribusi suara para perempuan kulit hitam di Pemilu AS 2012.

Namun, situasi sempat berubah di Pemilu AS 2016, di mana suara para perempuan kulit putih pinggiran kota banyak mendapat perhatian. Meski saat itu Hillary Clinton berhasil merebut suara mayoritas perempuan, Donald Trump justru menang dari suara perempuan kulit putih, terutama perempuan pinggiran kota di negara bagian di mana presiden menang hanya dengan beberapa ribu suara.

Tahun ini, di pemilu yang tinggal menghitung jam saja, demografi perempuan kulit putih pinggiran kota kemungkinan besar akan memainkan peran yang menentukan. “Ada cukup banyak [perempuan] yang bisa mengayunkan “suara” di hari pemilihan,” ucap DePalo-Gould.

“Jika Trump gagal memenangkan perempuan kulit putih, dia harus melakukannya di tempat lain.”

Seperti yang sudah diketahui publik, bahwa dalam berbagai jajak pendapat, Biden selalu unggul dari Trump. Misalnya dalam jajak pendapat yang diterbitkan oleh CNN baru-baru ini, Biden memimpin 61% secara nasional di antara suara perempuan. Sementara Trump hanya meraup 37%. Kesenjangan itu sebagian didorong oleh perempuan kulit putih yang berpendidikan perguruan tinggi, beberapa di antaranya yang memilih Trump pada tahun 2016, tetapi berbalik melawannya tahun ini.

Meski begitu berdasarkan jajak pendapat lain, Trump mempertahankan beberapa dukungan, di antara perempuan kulit putih tanpa gelar perguruan tinggi. Trump juga diketahui telah meminta dukungan suara perempuan kulit putih di pinggiran kota. “Saya menyelamatkan lingkunganmu, oke?” kata Trump kepada perempuan pinggiran kota di Pennsylvania awal bulan ini.

Saat berada di Michigan pada awal pekan lalu, Trump melontarkan seruan seksis dan kuno, “Kami akan membuat suamimu kembali bekerja,” ucap presiden berusia 74 tahun tersebut.

Lain lagi dengan Biden, yang fokus menanggapi secara berbeda terkait penanganan pandemi COVID-19, yang secara tidak proporsional memengaruhi perempuan di seluruh AS. Biden pun akhirnya memilih Senator Kamala Harris sebagai cawapresnya, menjadikannya perempuan kulit hitam pertama dan keturunan Asia-Amerika dalam pertarungan pemilihan presiden.

Kekuatan suara perempuan kulit berwarna pun semakin meningkat, bahkan di Pemilu AS 2020 ini. Berdasarkan survei Higher Heights for America baru-baru ini terhadap 506 pemilih perempuan kulit berwarna, 75% mengatakan lebih termotivasi daripada sebelumnya untuk memberikan suara tahun ini.

Sementara sekitar 64% mengatakan perempuan kulit berwarna merupakan basis paling setia Partai Demokrat. “Perempuan kulit berwarna adalah blok pemungutan suara yang konsisten, tumbuh dan dapat diandalkan,” kata Presiden dan CEO Higher Heights for America, Glynda Carr kepada Al Jazeera.

“Mereka memiliki sejarah panjang dalam mengorganisir rumah mereka, blok mereka, gereja mereka, perkumpulan mahasiswa mereka, persatuan mereka, yang menjadikan mereka blok suara yang paling kuat,” ucap Carr.

“Dalam siklus ini, kita tidak akan hanya melihat kekuatan suara perempuan kulit hitam saja, tetapi kehadiran Kamala Harris sebagai cawapres perempuan kulit hitam yang akan mendampingi Biden, akan menciptakan antusiasme yang belum pernah kita lihat sejak kemenangan bersejarah Barack Obama.”

Baik di tingkat federal, negara bagian atau lokal, perempuan dapat dilihat di garis depan kampanye tahun ini. Pusat Politik Responsif nonpartisan mengungkapkan bahwa perempuan telah menyumbang 1,6 miliar dolar dalam siklus pemilu ini, selain juga menemukan bahwa 43% donor politik pada siklus 2020 adalah perempuan, persentase tertinggi dalam catatan.

Tak berhenti sampai di situ, menurut Pusat Perempuan dan Politik Amerika, pada tahun 2020, ada total 298 wanita yang tercatat sebagai kandidat untuk DPR AS. Angka itu naik 27,4% dari 2018. Itu termasuk rekor 115 perempuan kulit berwarna.

Jika pemungutan suara menjadi indikasi, tahun ini berada di jalur yang tepat untuk melihat kesenjangan gender terluas yang pernah ada. Terlepas dari kemajuan tersebut, perempuan tetap kurang terwakili dalam pemerintahan—kenyataan yang menurut banyak kelompok perempuan akan terus memicu perjuangan mereka bahkan jauh setelah hari pemilihan nanti selesai digelar.

“Perempuan melakukan pekerjaan itu. Mengapa kita tidak diwakili oleh pemerintah kita, ”kata Adora Jenkins, direktur pelaksana merek dan komunikasi untuk Supermajority, sebuah kelompok advokasi hak-hak perempuan yang didirikan pada 2019.

“Pada bulan-bulan pasca pemilu, tugas kami adalah meminta setiap kantor bertanggung jawab atas agenda kami untuk memastikan bahwa perempuan tidak hanya dihitung dan mendapat kursi di meja. Tetapi kehidupan, pengalaman, dan suara kami terpusat dan agar kebijakan dan aturan dibuat yang mencerminkan lebih dari setengah populasi yang kami buat,” kata Jenkins kepada Al Jazeera.

“Kami [perempuan] adalah mayoritas… dan kami dapat menentukan masa depan negara ini,” ucap Jenkins.

Share: Suara Perempuan Menentukan Hasil Pemilu AS 2020