Isu Terkini

Mengapa Kita Membayangkan Apa yang Kita Bayangkan saat Kita Membayangkan Bandit

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Santo Agustinus dari Hippo (354-430), dalam bukunya On the City of God against the Pagans, menceritakan sebuah percakapan menarik antara Aleksander Agung dengan seorang perompak yang ditangkap oleh tentaranya.

Aleksander bertanya mengapa sang perompak mengacau di lautan, dan dia menjawab: “Sama seperti alasan Anda menguasai dunia. Saya disebut penjahat karena saya merompak dengan kapal mungil. Anda merompak dengan armada besar, dan Anda dipanggil kaisar.”

Saya tak tahu apakah perompak itu benar-benar ada; yang jelas, lewat percakapan tersebut, Santo Agustinus menggambarkan bahwa penguasa yang lalim tidak lebih baik, atau bahkan mungkin lebih buruk, ketimbang penyamun. Dalam kata-katanya sendiri: “Tanpa keadilan, apalah pemerintah kalau bukan segerombolan besar bandit? Dan sebaliknya, apalah gerombolan-gerombolan penjahat kalau bukan negara-negara kecil?”

“Di mata hukum, setiap orang yang menyergap dan merampok dengan kekerasan adalah bandit,” demikian sejarawan Eric Hobsbawm mengawali bukunya yang termahsyur, Bandits (1971). “Tak peduli ia cuma tukang palak di gang-gang gelap atau pemberontak yang terorganisir.”

Buku tersebut membuka pembicaraan penting tentang dimensi sosial dan politik dalam kejahatan. Menurut Hobsbawm, satu bandit dengan yang lain bisa amat berbeda sekalipun mereka melakukan pekerjaan yang sama.

Penguasa yang jahat adalah penguasa yang jahat, tetapi bandit bisa sekaligus merupakan pahlawan. Sentimen itu beredar di seluruh dunia dan bertahan dari masa ke masa. Dalam budaya populer, kita mengenal kisah-kisah–sungguhan maupun rekaan–tentang Robin Hood, Pancho Villa, Joaquín Murrieta, Zorro, Dutch van der Linde, dan seterusnya.

Dari khazanah yang lebih dekat, kita mengenal Sunan Kalijaga. Tokoh yang amat terhormat dalam masyarakat Jawa-Muslim ini konon pernah membegal semasa mudanya. Ada yang mengatakan ia kepepet setelah kalah judi, ada pula yang menyatakan bahwa ia mencuri untuk membantu rakyat miskin di Tuban. Dalam berbagai kisah tentangnya, tindakan itu tidak pernah dibenarkan, tetapi kadang dimaklumi sebagai resistansi terhadap ketidakadilan.

Hobsbawm menciptakan istilah “bandit sosial” untuk menyebut para penjahat sekaligus pahlawan ini. Dan perbanditan sosial, katanya, merupakan fenomena universal dalam masyarakat agraris di seluruh dunia, yang sebagian besar populasinya terdiri dari petani kecil dan buruh tanpa lahan.

Mereka terus-menerus dieksploitasi oleh tuan tanah, tengkulak, segala macam penggede, dan tentu tidak dapat membela diri. Maka para bandit–umumnya muncul dari kalangan tertindas–yang menolak ikut aturan main sistem yang morat-marit dan dengan ringannya merebut apa-apa yang mereka inginkan, mengundang simpati serta rasa hormat.

Pada satu sisi, bandit menjadi semacam penyambung lidah dan tangan saudara-saudaranya yang sengsara. Pada sisi lain, kejahatan menjadi cara, mungkin satu-satunya yang dapat dijangkau, untuk membebaskan diri dari kemiskinan individual dan kolektif.

Kata Hobsbawm, tak ada orang yang kepengin bertemu bandit, apalagi pada malam-malam yang gelap dan sepi, tetapi kita selalu berselera untuk menikmati kisah-kisah mereka. Paling tidak, studinya tentang perbanditan sosial dapat menjelaskan dengan baik mengapa imajinasi banyak orang tentang bandit, yang semestinya mengerikan, justru dipenuhi dengan kisah kepahlawanan yang romantik. Namun, untuk memahami mengapa imajinasi itu keliru, kita memerlukan uraian lain.

Pada 1972, antropolog Anton Blok menulis esai “The Peasant and the Brigand: Social Banditry Reconsidered” di jurnal Comparative Studies in Society and History. Menurut Blok, Hobsbawm tidak menyediakan ruang yang cukup dalam bukunya untuk menganalisis sepak terjang bandit individual atau gerombolan tertentu secara komprehensif, padahal pendekatan semacam itu bisa dipakai untuk mengukur kebulatan konsep “bandit sosial” yang dibangunnya.

Bagi Blok, Hobsbawm terlampau ngotot memberi penekanan terhadap elemen konflik antarkelas dalam perbanditan, padahal tidak tepat sasaran. Alih-alih memperjuangkan kepentingan orang-orang lemah, para bandit–baik yang berkesadaran sosial maupun kriminal biasa–seringkali justru membantu penguasa untuk mengintimidasi dan meneror mereka.

Blok menunjukkan berbagai kasus di mana para bandit dan penguasa yang lalim malah menjalin kerja sama yang saling menguntungkan. Gerombolan Thuggee di India pada abad ke-19, misalnya, merampok dan mencekik orang-orang asing di jalan untuk membeli perlindungan dari penguasa di kampung mereka sendiri. Pada masa bersamaan, di Cina, lazim belaka jika warga mengirimkan setoran rutin kepada para bandit agar tak direcoki. Schinderhannes, gembong terkenal yang beroperasi di kawasan Rhineland pada akhir abad ke-18, misalnya, kerap mengaku hanya merampok orang-orang Yahudi karena menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan banyak dukungan untuknya.

Sebagian besar “Robin Hood” dalam kenyataan sama sekali tidak layak dianggap sebagai pahlawan.

“Alih-alih memperjelas artikulasi kepentingan para petani dalam konteks nasional, para bandit malah cenderung menghambat atau melencengkan aksi terpadu para petani,” tulis Blok. Secara langsung, para bandit kerap memainkan peran penting untuk men-demobilisasi petani. Secara tidak langsung, perbanditan memperlemah solidaritas kelas dan menggembosi mobilisasi petani berskala besar karena ia bisa menjadi jalan untuk naik tingkat dalam hierarki sosial.

Blok tidak memungkiri bahwa banyak petani atau kelompok tertindas lain mengagungkan para bandit. Namun, katanya, kita harus menelisik “siapakah” bandit yang mereka bayangkan itu; apakah gerombolan-gerombolan sungguhan ataukah semacam konsep belaka?  Blok mengindikasikan jawabannya ialah yang kedua, sehingga wajar bila ide-ide tentang perbanditan sosial yang mulia sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.

Di tengah banyak produk budaya populer hari ini yang masih merawat imajinasi romantik tentang para bandit, video terbaru Asumsi UNFOLD yang bercerita tentang sepak terjang bajing loncat di Lintas Timur Sumatra sebagaimana adanya adalah penyeimbang yang baik.

Jumper yang ringan saja walau tahu harus bertaruh nyawa dengan para sopir truk saat beraksi; Jumper yang mengaku bahwa uang hasil merampoknya terutama ia gunakan untuk berfoya-foya alih-alih menghidupi keluarga atau sanak-saudara di kampung; Jumper yang mengenakan topeng Thanos, penjahat kejam dari Marvel Cinematic Universe, adalah representasi bandit yang paling mentah dan terus-terang, yang sebenarnya, yang bukan khayalan.

“Loyalitas para bandit,” Blok mengingatkan, “tidak pernah untuk kelasnya.”

Saksikan UNFOLD: Highway Robbers of the Sumatra Route.

Share: Mengapa Kita Membayangkan Apa yang Kita Bayangkan saat Kita Membayangkan Bandit