Rendi (26 tahun) dirumahkan dari pekerjaannya di sebuah restoran di Bintaro, Tangerang Selatan, akibat pandemi COVID-19 yang baru merebak di Indonesia awal Maret 2020 lalu. Rendi risau lantaran tak lagi ada aktivitas rutin yang biasa ia jalani setiap hari. Otaknya dipaksa berpikir keras hingga akhirnya terlintas ide membuat layang-layang sebagai kawan bermainnya.
Rendi merancang sendiri layangannya yang berukuran cukup besar. Merakit layangan memang gampang-gampang susah. Bagi Rendi, layangan jenis koang yang ia rancang dengan perpaduan buluh bambu, benang, dan plastik itu perlu beberapa kali perombakan untuk mencari keseimbangan, sampai benar-benar bisa terbang stabil di udara.
“Hampir setiap sore selama enam bulan terakhir nerbangin layangan di sini. Ya mau gimana lagi, kerjaan udah nggak ada gara-gara Corona. Kita dipaksa harus kreatif dan terus gerak aja ngisi kekosongan,” kata Rendi yang mengenakan masker sambil menarik tali layangannya saat berbincang dengan Asumsi.co di lapangan kecil pinggir jalan raya, Pamulang, Tangerang Selatan, Jumat (25/9/20).
Rendi kerap menerbangkan layangannya sepanjang malam, bahkan hingga pagi hari. Biasanya, layangan yang ia terbangkan di malam hari dipasang lampu LED di sekiling layangan. Tentu saja layangannya akan tampak seperti pesawat terbang melintas di udara saat malam hari.
“Pernah layangan saya terbangin dari sekitar jam 7 malam. Pas jam 9, tali layangannya saya sangkutin aja di pohon, dibiarin aja di langit karena kalau malam kan anginnya stabil, jadi layangan pasti anteng di atas. Eh, pas dicek jam 9 pagi layangannya masih ada,” ucapnya.
Tak sekadar hobi, layangan yang dibuat Rendi ternyata ramai peminat. Ada beberapa yang memesan pada Rendi agar dibuatkan layangan dengan kisaran harga sekitar Rp50.000,- hingga Rp150.000,-. Bahkan layangan yang sore itu ia terbangkan, pernah ditawar orang dengan harga Rp300.000,-, namun tawaran itu langsung ia tolak.
Selain piawai merakit layangan, Rendi juga pernah membawa layangannya tampil bersinar di sebuah festival. Ia meraih juara ketiga di gelaran festival layangan yang di gelar Agustus 2020 lalu di Pamulang. Ia juga memisahkan antara layangan yang ia pakai untuk diterbangkan sehari-hari dengan layangan khusus yang biasa tampil di festival.
Selain di Pamulang, langit-langit di banyak daerah di tanah air juga sedang berwarna karena layangan. Di ibu kota Jakarta misalnya, selain di lapangan luas, masyarakat juga tak mau kalah beradu menerbangkan layangannya di gang-gang sempit, hingga di atap rumah.
Memang puncak musim kemarau yang terjadi pada rentang bulan Juli dan Agustus, bahkan hingga September, merupakan waktu yang pas untuk menerbangkan layang-layang. Para penerbang layang-layang begitu antusias menerbangkan layang-layang andalannya di lapangan terbuka saat kondisi angin kencang dan langit cerah.
Pandemi COVID-19 yang membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan lockdown hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ternyata ikut mengubah cara masyarakat memainkan layang-layangnya. Tak hanya di lapangan, layangan kini juga diterbangkan dari atap rumah, persis seperti yang terjadi di India.
Menerbangkan layang-layang memang sudah menjadi aktivitas musiman di India. Biasanya puncak penjualan terjadi saat festival Makar Sankranti atau perayaan panen. Festival itu dirayakan pada 14 Januari untuk menandai awal musim semi dan musim panen. Tradisi menerbangkan layang-layang telah lama dikaitkan dengan festival tersebut.
Tahun ini tentu saja berbeda, di mana lockdown yang telah diterapkan sejak Maret 2020 lalu di India, membuat masyarakat India memilih mengisi waktu dengan menerbangkan layang-layang dari teras dan atap rumah. Lockdown juga membuat industri layang-layang sangat sibuk selama beberapa bulan terakhir.
Bahkan, setelah lockdown mulai dilonggarkan secara bertahap dari Juni hingga akhir Agustus, anak-anak tetap membeli layangan karena sekolah tetap tutup. Kondisi itu tentu saja langsung berimbas bagi para penjual layang-layang di sana yang mendapat lonjakan pesanan.
Seperti laporan BBC, yang dikutip Selasa (29/9), seorang penjual layang-layang asal Delhi, India, bernama Mohammad Ahmed, mengaku penjualan layang-layangnya mengalami lonjakan selama kurang lebih enam bulan terakhir. Menurutnya, selama 11 tahun menjadi penjual layang-layang, baru kali ini ia mengalami penjualan terbanyak.
“Tiba-tiba semua orang membutuhkan layang-layang. Saya masih menerima telepon dari seluruh negeri dari Maharashtra, Tamil Nadu, Rajasthan. Saking banyaknya, sehingga saya tidak dapat memenuhi semuanya,” kata Ahmed.
Menurut pengakuan Ahmed, nyaris setiap hari total penjualannya mencapai US$ 2.000 atau sekitar Rp29 juta (kurs Rp14.898). Total itu hanya untuk penjualan dalam malam hari.
Sementara itu, penjual layang-layang di Mumbai, India bernama Ahsan Khan mengatakan ia berhasil menjual 500 ribu layangan hanya dalam rentang April hingga Agustus. Padahal biasanya di periode yang sama, penjualan justru lebih sedikit.
Tak hanya di India, Khan mengaku juga mendapatkan pesanan dari negara tetangga Pakistan. Pembeli dari Pakistan, lanjutnya, berani menawarkan harga layangan dua kali lipat dari harga biasanya.
“Saya bahkan mendapat telepon dari Karachi dan Lahore di Pakistan, dari orang-orang yang menawarkan untuk membayar saya dua kali lipat dari jumlah biasanya,” kata Khan.
Kondisi yang sama sebetulnya terjadi juga di Mesir, di mana anak-anak muda di sana merasa bosan selama lockdown hingga akhirnya memainkan layang-layang. Dikutip dari Middle East Eye (MEE), Selasa (29/9), seorang siswa bernama Mohamed Youssef mengaku bermain layangan merupakan aktivitas luar ruangan yang gratis dan mudah.
Selama tiga bulan sejak merebaknya virus Corona dan pemerintah memberlakukan jam malam, popularitas layang-layang justru melonjak. Sayangnya, pemerintah Mesir justru melarang penduduknya untuk main layangan karena dinilai mengancam keamanan nasional.
Mesir khawatir ada aksi mata-mata melalui layangan. Menurut pemerintah, kamera kecil bisa saja terpasang di layangan dan diterbangkan untuk memotret institusi militer atau polisi di sana. Aturan ini sempat dijadikan bahan lelucon oleh warganet, namun beberapa hari kemudian larangan ini ternyata benar-benar diterapkan.
Gubernur Alexandria Mohamed Al-Sharif mengeluarkan instruksi yang melarang menerbangkan semua jenis layang-layang di wilayahnya. Bahkan, di laman Facebook-nya, ia mengunggah gambar layangan yang disita. “Layang-layang sudah dilarang di Corniche demi menjaga keamanan warga karena telah terjadi beberapa insiden.”
Dalam unggahan itu juga dituliskan nilai denda yang diterapkan jika penduduk Mesir tetap ngeyel menerbangkan layangan, yaitu sekitar US$18 hingga US$62 atau setara Rp200-900 ribu.
Terlepas dari berbagai fenomena yang kembali hadir hari-hari ini, layang-layang tetap saja jadi hiburan terjangkau masyarakat di tengah krisis pandemi COVID-19. Menilik ke masa lalu, layang-layang memang memiliki riwayat sejarah panjang.
Asal mula layang-layang memang tak diketahui secara pasti. Namun, dari catatan tertulis, layang-layang disebut telah diterbangkan di Cina dan Kepulauan Melayu sekitar 2.000-3.000 tahun lalu. Di Cina, layang-layang pertama kali diterbangkan untuk kepentingan militer.
Dalam sebuah kampanye militer, Jenderal Han Hsin dari Dinasti Han (abad ke-2 SM) menerbangkan layang-layang di atas tembok kota untuk mengukur seberapa jauh jarak yang harus ditempuh pasukannya menuju daerah lawan. Dari situ, ukuran yang tepat pun didapat dan strategi berhasil sehingga pasukannya mencapai jantung pertahanan lawan dan menang.
Setelahnya, popularitas layang-layang pun meningkat dan mulai tersebar ke Korea dan Jepang. Di Korea, selama Dinasti Silla, Jenderal Gim Yu-Sin menggunakan layang-layang untuk menaikan moral pasukannya pada abad ke-7.
Kala itu, Jenderal Gim Yu-sin diperintahkan untuk menundukkan pemberontakan. Namun, pasukannya menolak untuk berperang setelah melihat bintang jatuh dari langit dan meyakininya sebagai pertanda buruk.
Untuk mendapatkan kembali kontrol terhadap pasukannya, malam berikutnya sang jenderal justru menerbangkan layang-layang yang dipasangi bola-bola api sehingga tampak seperti bintang. Pasukannya yang melihat itu percaya bintang telah kembali ke langit dan meyakini itu pertanda baik.
Tak lama kemudian, pasukannya langsung berkumpul dan mengusir para pemberontak.
Sementara itu, layang-layang dibawa ke Jepang sekitar abad ke-7 oleh para biksu Budha. Layang-layang diterbangkan untuk mengusir roh jahat dan menjamin panen sawah.
Pada Zaman Edo (1603-1868), layang-layang menjadi sangat populer ketika untuk pertama kalinya orang Jepang di bawah kelas samurai bisa menerbangkan layang-layang. Pemerintah Edo (sekarang Tokyo) sempat berusaha melarang hobi bermain layang-layang namun gagal, lantaran terlalu banyak orang jadi lalai terhadap pekerjaan mereka karena sering bermain layang-layang.
Di Indonesia, layang-layang sebetulnya tak hanya digunakan untuk hiburan semata. Di Ololalo, Leato Selatan, Kota Gorontalo misalnya, nyaris semua nelayan penangkap ikan tuna menggunakan layang-layang sebagai alat bantu. Layang-layang berfungsi agar umpan pada nilon, tetap berada di permukaan sehingga memudahkan dalam menangkap ikan tuna.
Menerbangkan layang-layang di atas permukaan laut dianggap sebagai metode penangkapan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan target ikan tuna berukuran besar.
Seperti apapun tujuan penggunaannya dan di manapun dimainkan, layang-layang setidaknya kembali membangkitkan nostalgia yang luar biasa di tengah pandemi COVID-19. Setidaknya, untuk sejenak, layang-layang berhasil mengusir cemas dan rasa bosan yang selama berbulan-bulan dihantui pandemi.