Foto: Pexels
Satu, memenjarakan para pekerja seks tidak akan menghapuskan prostitusi. Dua, semakin “tersembunyi” dan “sulit bergerak”, semakin parah pula kerentanan mereka terhadap kemiskinan dan penyakit menular seksual (PMS).
Hal ini dikonfirmasi oleh laporan “Crimes Against Morality: Unintended Consequences of Criminalizing Sex Work” (2020) yang menganalisis dampak kriminalisasi dan penutupan lokalisasi di Malang, Jawa Timur, pada 2014.
Pada Juli 2014, Pemkab Malang mengumumkan akan menutup lokalisasi di wilayah tersebut sebagai “kado ulang tahun” untuk Kabupaten Malang. Diberikan tenggat waktu selama empat bulan atau usai hari raya Idulfitri, penutupan ini dijustifikasi dengan alasan aktivitas seks komersial “tidak diridhoi Allah” dan “dilarang oleh semua agama”.
Laporan ini meneliti 17 tempat kerja seks—dengan Malang sebagai wilayah yang pernah dikriminalisasi dan Pasuruan dan Batu sebagai control group wilayah yang tidak pernah dikriminalisasi. Survei dilakukan dalam empat tahap: pra-kriminalisasi pada Januari-Februari 2014 (sebelum pengumuman) dan September 2014 (setelah pengumuman), dan pascakriminalisasi pada Februari-Maret 2015 dan Oktober 2019 (lima tahun setelah kriminalisasi).
Alih-alih memberikan manfaat, Malang mendapati kado ulang tahunnya berbuah kesialan. Lima tahun setelah lokalisasi ditutup dan pekerja seks dikriminalisasi, laporan ini menunjukkan bahwa jumlah pekerja seks kembali melambung seperti semula. Bedanya, mereka terpapar risiko kesehatan yang lebih tinggi dengan akses ke kondom yang dibatasi dan menjadi tingginya angka PMS.
Angka PMS ditemukan meningkat hingga 58% di wilayah yang pernah dikriminalisasi. Sementara itu, tidak ada peningkatan angka PMS yang signifikan di wilayah yang tidak pernah dikriminalisasi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas seks yang dilakukan tanpa mengenakan kondom: akses terhadap kondom di wilayah-wilayah yang pernah dikriminalisasi semakin sulit karena tidak ada lagi LSM atau pekerja kesehatan yang menyediakan kondom dengan harga murah kepada pekerja seks. Harga kondom pun naik hingga 200%.
Dampak kesehatan dari kriminalisasi pekerja seks ini juga tidak hanya kepada mereka, tetapi juga klien dan pasangan mereka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa risiko laki-laki selaku klien untuk tertular PMS meningkat menjadi 22-59,3%. Perempuan non-pekerja seks pun mengalami kenaikan risiko menjadi 13,6-48,3%. “Oleh karena itu, dampak dari kriminalisasi terhadap kesehatan publik dalam jangka panjang, terutama di negara seperti Indonesia yang angka HIV-nya tinggi dengan pengetesan dan pengobatan rendah, amat mengkhawatirkan.”
Selain itu, pekerja seks yang keluar dari pekerjaannya akibat dikriminalisasi punya pendapatan yang lebih rendah dibandingkan pekerja seks yang secara sukarela keluar dari pekerjaan tersebut. Alhasil, pekerja seks kesulitan untuk membiayai kebutuhan anaknya—membuat pendidikan anak mereka terhambat dan banyak dari mereka yang mesti ikut bekerja untuk menambah pemasukan rumah tangga.
Para peneliti yang tergabung dari University of Melbourne, George Washington University, dan University of California ini pun menyimpulkan bahwa kriminalisasi pekerja seks adalah tindakan kontraproduktif yang hanya mengancam kesehatan pekerja seks dan masyarakat sekitar.
“Respons umum atas temuan ini adalah kriminalisasi dapat dilakukan dengan tetap menyediakan kondom dan layanan kesehatan. Argumen semacam ini mengabaikan fakta bahwa tindakan kriminalisasi lah yang telah membatasi kemampuan organisasi untuk mendukung kesehatan pekerja seks. Kemampuan pekerja seks untuk mengakses layanan ini secara terbuka pun menjadi terhambat.”