Dulu sekali, saya selalu mengira “M” di dalam Blok M adalah singkatan dari market, atau makanan, atau Metromini. Pastilah salah satu dari, atau malah gabungan, ketiganya. Semenjak pertama kali mengunjungi tempat itu, sejauh mata memandang ada keramaian orang bertransaksi, penjual makanan berderet-deret–baik gerai maupun gerobak, dan bus kota Metromini.
Dalam kunjungan-kunjungan setelahnya pun tidak ada yang berubah, kecuali Metromini yang semakin lama semakin sedikit dan kini lenyap. Namun, yang pasti, selalu ada alasan untuk kembali ke Blok M, entah untuk berbelanja, makan, nongkrong, atau sekadar menjadikannya titik temu. Blok M seakan diciptakan untuk terus bertransformasi merespons zaman. Ia tak lekang oleh pergaulan dan tren yang silih berganti. Sejak puluhan tahun lalu, lampu-lampunya terus menyala.
Semenjak berkuliah, tepatnya ketika mengambil mata kuliah sosiologi perkotaan, saya mengetahui bahwa “M” hanyalah cacahan alfabetik atas proyek kota satelit yang terdiri atas 19 blok, Blok A hingga S. Kota itu direncanakan pemerintah Republik Indonesia pada 21 September 1948. Diberi nama Kotabaru Kebayoran, peletakan batu pertama pembangunannya dilaksanakan pada 18 Maret 1949.
Mutohar Sudiro dalam bukunya Pembangunan Kotabaru Kebajoran (1953) mengatakan kawasan yang kini menjadi kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu merupakan kota pertama yang dirancang arsitek Indonesia M. Soesilo dengan mengadaptasi konsep kota taman dari perencana tata kota asal Inggris Ebenezer Howard.
Ia dibangun sebagai solusi atas masalah kekurangan perumahan, dan diharapkan dapat menunjang Kotapradja Djakarta. Dalam rancangan tersebut, Blok M diletakkan tepat di tengah-tengah sebagai pusat perniagaan.
Kini kita tahu bahwa Blok M tak hanya memikat penduduk Kebayoran Baru, tetapi juga hampir seluruh penduduk DKI Jakarta.
Blok M juga kerap diasosiasikan sebagai lanskap “gaul” dalam budaya pop Indonesia dari masa ke masa. Mulai dari novel Lupus karya Hilman Hariwijaya, film Catatan Si Boy karya Nasri Cheppy, hingga yang terbaru, film Filosofi Kopi karya Angga Sasongko yang diadaptasi dari novel Dewi Lestari, menggunakannya sebagai latar.
Pada akhir tahun 90-an, bermunculan pula puluhan toko bergaya Jepang. Kala itu, orang-orang Jepang yang tinggal di Indonesia beramai-ramai mendirikan restoran, bar, karaoke, hingga sauna. Sampai sekarang, bangunan-bangunan tersebut masih menjadi daya tarik bagi pengunjung–secara kolektif dikenal dengan nama Little Tokyo–dan dapat diakses secara mudah berkat stasiun MRT di bagian baratnya.
Di area barat daya, gudang Perusahaan Umum Percetakan Uang RI (Peruri) yang berdiri sejak tahun 1971 dan dibiarkan kosong sejak 2005 disulap menjadi ruang kreatif yang dinamai M-Bloc. Sejak dibuka secara resmi pada September 2019 lalu, ruang yang kini menjadi rumah pemasaran bagi berbagai produk kriya, kuliner, seni rupa, co-working space, hingga hall yang difungsikan sebagai tempat konser itu sanggup menarik banyak pengunjung setiap harinya.
Filsuf asal Perancis Henri Lefebvre mengatakan bahwa ruang selalu didirikan atas kondisi-kondisi material yang konkret. Kondisi-kondisi material tersebut dibentuk dan disimbolisasi ke dalam konsep dan tatanan mengenai ruang. Namun pada saat yang sama, terlepas dari berbagai konseptualisasi dan saintifikasi mengenai ruang, ruang juga senantiasa terdiri dari pengalaman hidup manusia yang aktif.
Mengesampingkan makna “M” yang dimaksudkan perancangnya, saya rasa setiap orang bisa memberikan makna tersendiri bagi Blok M berdasarkan pengalamannya di dalam ruang itu. “M” bisa saja berarti menyenangkan, meriah, atau menarik. Atau, barangkali, masa depan.
Saksikan video Asumsi Distrik: Blok M. Dukung Asumsi agar dapat terus menyajikan tayangan bermutu dengan berdonasi di sini.