Isu Terkini

Perlukah Anji Minta Maaf Karena Mewawancarai Hadi Pranoto?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Drama yang membelit Anji terus berlanjut. Publik menganggap penyanyi tersebut menyebarkan informasi sesat dengan mewawancarai Hadi Pranoto di kanal YouTube-nya. Ia menyodorkan Hadi Pranoto sebagai seorang dokter dan profesor penemu “antibodi” yang dapat menyembuhkan penyakit COVID-19.

Kontan, klaim ini disangkal banyak pihak. Kementerian Kesehatan membantah Hadi, menyatakan bahwa belum ada satu pun pihak yang sukses menemukan obat khusus bagi pasien COVID-19. Peneliti Fakultas Kedokteran UGM Dr. Mohamad Saifudin Hakim menyebut informasi tersebut “palsu atau hoaks.” Bahkan eks jubir pemerintah untuk penanganan pandemi Achmad Yurianto terang-terangan menyebut klaim tersebut “pembodohan.”

Bila ditelisik lebih jauh, latar belakang Hadi Pranoto pun mengundang pertanyaan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan ia bukan anggota. Namanya juga tak ada dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, ia tak sekali pun tercatat menerbitkan penelitian di jurnal ilmiah tepercaya atau memiliki rekam jejak mengajar dan meneliti di institut yang kredibel.

Jejak Hadi Pranoto yang terang-benderang cuma dua: pertama, Juni 2020 lalu ia sempat disorot media karena keluarganya mengundang pedangdut Rhoma Irama konser di acara khitanan di Bogor. Kedua, ketika ia mengakui bahwa ia bukan profesor atau dokter beneran. Tapi, “dokter” itu sekadar panggilan sayang.

Saat riwayat ini ketahuan, publik tentu saja berang terhadap Anji. Pembalap Valentino Rossi pun dijuluki “Sang Dokter,” tapi bukan berarti ia sosok tepat untuk membicarakan pandemi. Anji dan Hadi dilaporkan ke polisi oleh kader PSI Muanas Alaidid atas tuduhan menyebarkan informasi palsu.

Ditekan oleh netizen, Anji mengeluarkan pernyataan gemilang: “Saya rasa yang harus minta maaf adalah pak Hadi Pranoto jika dia tidak bisa mempertanggungjawabkan kalimatnya,” ujarnya di Twitter. “Saya tidak merasa berbuat tolol karena saya interviewer.”

Maaf, gimana?

Apakah benar seorang pewawancara dapat dengan mudahnya lepas tangan jika narasumbernya ternyata tidak kredibel dan menyebarkan informasi yang awur-awuran? Setahu saya tidak sih. Tergelitik dengan pernyataan ini, saya memutuskan untuk mengajak bicara seorang wartawan dan menanyai pendapatnya. Berhubung jurnalis andalan saya sedang ada urusan lain dengan Kemenkes, saya pun menjatuhkan pilihan pada kolega yang dekat di hati.

Yang saya maksud tentu saja kawan saya Dea Anugrah, managing editor Asumsi dan pembawa acara Asumsi Distrik.

****

Hola, Jefe. Sudahkah Anda menonton wawancara menakjubkan Anji dengan Pak Hadi Pranoto?

Saya cuma lihat potongan klipnya dan baca-baca berita tentangnya. Tapi gimana, ya? Kalau dari jauh saja kita sudah tahu sesuatu berbau tidak sedap, kan kita tidak perlu repot-repot mendekat dan menjamahnya untuk tahu bahwa itu kotoran.

Fenomena ini terjadi tidak sekali-dua kali. Makin lama makin sering, dan publik seharusnya sudah muak mendengar figur publik yang berbicara di luar kapasitasnya. Saya membayangkan kemuakan itu terakumulasi. Mungkin, Anji kena tumbuk sampai halus begini karena kemuakan orang sudah memuncak.

Anji bilang, sebagai pewawancara dia tidak salah. Yang harusnya minta maaf itu Pak Hadi saja. Gimana menurutmu?

Bukan begitu cara mainnya. Memang yang punya klaim itu Pak Hadi, tetapi Anjilah yang menyediakan panggung untuknya. Dia yang menyodorkan Hadi Pranoto kepada kita, dan dia juga yang menyebut orang ini pakar.

Sebelum mewawancarai orang, kita punya tanggung jawab untuk memilih narasumber yang tepat. Kita harus mempertimbangkan kenapa seseorang patut diajak bicara tentang suatu topik. Ketika membicarakan sepak bola, misalnya, kenapa sebaiknya kita mengajak bicara Bambang Pamungkas dan bukan Pamungkas yang penyanyi itu?

Orang yang diajak bicara harus kompeten di bidangnya. Semisal dia ilmuwan, rekam jejaknya harus bisa dilacak di database akademik dan diketahui riwayat penelitiannya apa saja, sudah berapa lama, afiliasinya dengan lembaga penelitian dan kampus mana. Nggak bisa ujug-ujug kita ngajak bicara orang yang berkoar-koar menemukan obat anti-COVID tapi nggak jelas latar belakangnya.

Toh nggak susah juga bagi publik untuk tahu bahwa ini klaim bodong. Akhirnya yang malu kan si pewawancara sendiri. Lain cerita kalau tujuannya memang melucu, tapi saya kira tidak ada yang lucu dari konten maupun penampilan Anji.

Tapi semua itu terdengar seperti tanggung jawab jurnalis. Masa penyanyi seperti Anji terikat etika yang sama?

Berhubung sekarang semua orang bisa bikin konten, setiap orang yang tahu diri harusnya sadar akan tanggung jawab tersebut. Kamu tahu kamu terkenal, kata-katamu didengarkan banyak orang, ya, jangan memperparah kekeliruan. Wartawan pun pada dasarnya sama. Media massa kan platform yang berpengaruh besar, makanya wartawan nggak boleh asbun.

Kita sudah berbusa-busa membicarakan bahwa masyarakat Indonesia rentan terhadap hoaks, sukar membedakan mana informasi yang benar dan mana yang karang-karangan. Harusnya, kalau kamu tahu itu, kamu lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Bahkan, kita semestinya sungkan memeriksa kebenaran suatu informasi hanya satu atau dua kali. Harus lebih.

Akhirnya Anji dan Hadi Pranoto sama-sama dilaporkan ke polisi…

Haduh, kalau bisa, sih, jangan sedikit-sedikit dilaporkan. Memang perbuatannya bermasalah, tapi seharusnya nggak seenteng itu untuk mempolisikan orang. Penjara juga sudah penuh, ngapain diperparah? Kalau alasannya pembelajaran, kan ada banyak cara lain. Misalnya, publik bisa mendesak dia untuk bikin konten baru yang lebih mendidik. Kalau dia nggak mau, bilang saja kita bakal bikin petisi supaya lagu-lagunya dimodifikasi oleh Walikota Depok Muhammad Idris jadi lagu tentang arti warna-warna lampu lalu lintas.

Lampu hijaaau/Kucinta dia, kusayang dia, rindu dia, inginkan dia…

Omong-omong, kenapa sih informasi keliru kayak begini muncul terus?

Misalkan kamu bikin survei dengan pertanyaan, “Apakah kamu merasa dirimu seorang pemikir?”, saya yakin mayoritas orang Indonesia akan menjawab iya. Saya pemikir, saya independen, saya bisa menemukan kebenaran sendiri, saya open-minded, pokoknya gilang-gemilang walaupun skor PISA babak-bundas. Ketika diusut, kualitas pikirannya ternyata jeblok; mudah bikin “teori” dan asumsi, tapi kerap kali tidak berdasar.

Kecenderungan ini yang perlu dikikis pelan-pelan, salah satunya dengan menanamkan perangai ilmiah. Orang-orang perlu dibangunkan bahwa “berpikir” saja tidak cukup. Kalau mikir tapi nggak ada dasarnya, buat apa? Epidemiolog itu riset bertahun-tahun, menguji temuannya di laboratorium, menuliskan hasilnya di jurnal ilmiah, tetapi itu pun tidak membuatnya berhak mengklaim kebenaran mutlak. Memang sifat sains begitu, selalu terbuka untuk mengoreksi dirinya sendiri. Ia mulai dari pertanyaan, bukan keyakinan. Kalau teori konspirasi, misalnya, kan sebaliknya.

Mungkin pemerintah juga perlu berhenti mengundang selebritas ke istana.

Saya tahu pemerintah perlu orang-orang berpengaruh untuk menyiarkan upaya penanggulangan yang sudah mereka lakukan. Nggak ada yang salah dengan itu. Namun, alangkah baiknya kalau orang-orang terkenal ini dimanfaatkan untuk menyampaikan hal-hal yang lebih berguna buat publik. Misalnya kampanye supaya orang mau mendengarkan ilmuwan, supaya orang ikut protokol kesehatan. Toh akhirnya seleb yang mengkampanyekan kalung anti-Corona malah ditertawakan orang, kan?

Walaupun kurang senang dengan kultur selebritas, saya nggak merasa bahwa semua selebritas baiknya diam saja. Ada, kok, yang omongannya benar, yang tidak meremehkan virus. Ada juga seleb kayak Ariel yang sadar bahwa perkataannya punya dampak untuk hidup banyak orang. Kenapa kolega-koleganya nggak meniru dia saja?

Orang boleh, meminjam istilah Franz Kafka, jadi “kapak es untuk memecahkan lautan beku.” Tapi ya sebelum itu dia harus tepat mengenali apa, sih, masalah yang melanda kita, apa perubahan yang bisa dia ciptakan dengan menjadi “berbeda.” Kalau berbeda asal berbeda, ya, tidak ada gunanya.

Terakhir, nih. Kira-kira ada rencana mau bikin episode Asumsi Distrik edisi khusus kunjungan ke Wisma Atlet nggak?

Wah, mungkin lebih cocok buat Kerah Biru, ya. Bukan tentang menjadi tenaga kesehatan, tapi bagaimana, sih, rasanya menjadi Anji? Mungkin bisa jadi cerita yang mengharukan, tuh.

Share: Perlukah Anji Minta Maaf Karena Mewawancarai Hadi Pranoto?