Begini situasinya: Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa ia berniat memblokir aplikasi populer TikTok di negaranya. Kelar bikin kaget warga, tiba-tiba sang juru selamat datang. Microsoft menawarkan diri untuk membeli TikTok dalam kesepakatan raksasa senilai puluhan miliar dollar. Bila lolos, TikTok selamat. Bila gagal, operasi TikTok di seluruh dunia bisa terguncang.
Semuanya dimulai pada 2017. Tahun itu, ByteDance membeli aplikasi lipsync Musical.ly seharga satu miliar dollar dan mengubah namanya menjadi TikTok. Dalam tempo singkat, TikTok menjadi salah satu aplikasi paling populer di dunia, termasuk di AS. Namun, sejak akuisisi Musical.ly sekalipun, pemerintah AS sudah harap-harap cemas dengan kehadiran ByteDance.
ByteDance adalah perusahaan asal Cina, negara yang terus menerus terlibat perang dagang dan otot-ototan politik dengan AS. Aksi tangkas ByteDance membuat mereka disorot oleh Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS), sebuah lembaga pemerintah yang punya tugas ngeri-ngeri sedap: memeriksa setiap kesepakatan bisnis dan investasi ke AS untuk memastikan bahwa kesepakatan bisnis tersebut tidak mengancam keamanan nasional.
Pada November 2019, penelusuran CFIUS bertambah serius setelah mereka mengumumkan ulasan keamanan nasional terhadap TikTok. ByteDance selaku pemilik TikTok dituduh punya hubungan erat dengan Partai Komunis Cina, penguasa negeri Tirai Bambu.
Senator AS Richard Blumenthal dan Josh Hawley bahkan mengirim surat ke Departemen Hukum AS untuk meminta pemerintah pusat menginvestigasi TikTok, sebab aplikasi tersebut “melanggar kebebasan sipil AS” dan mengirim data pengguna ke pemerintah Cina. Tudingan terakhir ini disangkal oleh TikTok, yang bersikeras mereka cuma perusahaan swasta. Namun, bola panas telanjur bergulir.
Kepercayaan AS terhadap iktikad baik Cina sedang tipis-tipisnya. Apalagi, tahun lalu pemerintah Cina berulang kali dituding menekan perusahaan teknologi untuk memblokir aplikasi atau mencekal konten yang kritis terhadap Cina. Pada Oktober 2019, misalnya, Apple disorot karena mencekal sebuah aplikasi yang sering dipakai oleh demonstran pro-demokrasi di Hong Kong.
Pada saat bersamaan, popularitas TikTok di kalangan warga AS terus tumbuh. Menurut data terkini, setidaknya 100 juta pengguna TikTok berasal dari AS. Lebih penting lagi, sekitar 70 persen investasi asing yang berhasil ditarik ByteDance berasal dari AS.
Situasi ini bikin runyam kedua pihak. Pemerintah AS tidak bisa serta merta menghajar TikTok. Aplikasi ini disenangi jutaan anak muda AS, dan dukungan mereka dibutuhkan untuk memastikan Donald Trump terpilih lagi sebagai presiden. Di sisi lain, TikTok tidak bisa cuke-cuek saja, karena banyak sekali pengguna dan investor mereka berasal dari negara tersebut.
Siapa yang paling pas untuk menanggapi situasi rumit ini? Tentu saja Donald Trump. Pekan lalu, ia terang-terangan bilang bahwa “TikTok akan dilarang di AS”. Padahal, koleganya di pemerintahan seperti Sekretaris Keuangan AS Steven Mnuchin dan bahkan perwakilan CFIUS sekadar meminta TikTok mengotak-atik kebijakan perusahaannya dan lebih terbuka ke pemerintah AS.
Selepas pernyataan bombastis Trump, semua pihak kelabakan. Dalam surat terbuka ke pekerja ByteDance, Global CEO ByteDance Zhang Yiming mengonfirmasi bahwa pihaknya dipaksa menjual operasional TikTok di AS ke perusahaan lain. Diam-diam, mereka sudah menemukan pihak yang tertarik: raksasa teknologi sekaligus perusahaan bikinan sahabat seorang drummer band punk, Microsoft.
Bila kesepakatan tersebut lolos, Microsoft akan membeli seluruh operasional TikTok di AS, termasuk 1,500 staff, properti intelektual, dan teknologi yang memungkinkan TikTok bekerja. Belum ada angka persis yang diumumkan ke publik, tapi Microsoft diperkirakan harus merogoh kocek setidaknya 15-30 miliar dollar.
Bahkan, pembelian ini tidak lepas dari drama. Pertama, Trump sempat angin-anginan soal apakah TikTok boleh dijual ke perusahaan lain. Mulanya, Trump sempat berkeras: pokoknya TikTok dicekal, karena AS “bukan negara yang mengurusi merger dan akuisisi.”
Namun, belakangan posisinya berubah. Setelah pertemuan tertutup antara Trump dengan CEO Microsoft Satya Nadella pekan ini, Trump memberi Nadella tenggat waktu 45 hari untuk merampungkan akuisisi tersebut.
45 hari untuk merampungkan kesepakatan bisnis senilai puluhan miliar dollar.
TikTok sendiri tersenyum kecut setelah mendengar bahwa Trump telah melunak. Kepada Reuters, seorang petinggi ByteDance menuding bahwa Trump sengaja menebar ketidakpastian supaya ByteDance panik dan terpaksa menjual TikTok ke Microsoft dengan harga yang sangat miring. Kenyataannya mungkin lebih sederhana: Trump tidak mau popularitasnya bertambah surut di tengah masyarakat yang masih rutin melakukan protes #BlackLivesMatter.
Persoalan lainnya adalah bagaimana TikTok akan memisahkan operasional AS yang dilego ke Microsoft dengan operasional di wilayah Eropa dan Asia-Pasifik. Sempat ada wacana bahwa pemerintah AS akan memberikan “masa transisi” untuk memisahkan operasional AS dari yang lain, tapi belum ada detail mendalam soal transisi tersebut.
Terakhir, dan ini terpenting, kesepakatan tersebut belum tentu lolos karena pihak-pihak tertentu tak mau Microsoft membeli TikTok. Sebab bila berhasil, Microsoft akan punya produk andalan yang memungkinkan mereka jadi pemain penting media sosial. Dengan TikTok, mereka bakal mampu bersaing dengan Facebook serta memperluas pasarnya.
Seperti dilaporkan Financial Times, Facebook sebenarnya sudah berniat meluncurkan produk serupa TikTok di AS dalam waktu dekat. Oleh karena itu, di balik layar, investor dan petinggi TikTok menuduh Facebook melobi pemerintah AS untuk memblokir aplikasi TikTok. Sederhananya, semua drama ini bisa saja bertambah heboh gara-gara persaingan bisnis.
Kini TikTok punya waktu terbatas untuk bertahan. Mereka masih kelimpungan setelah diblokir oleh India, salah satu pasar terbesar mereka, bulan Juni 2020 lalu. Bila AS juga cabut, masa depan TikTok akan bertambah suram. Tenggat waktu Microsoft untuk “menyelamatkan” TikTok cuma 45 hari. Apakah mereka akan berhasil?