Dua penyerang Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis divonis hukuman berbeda oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/20). Rahmat divonis dua tahun dan Ronny 1,6 tahun. Namun, vonis ini dinilai belum memenuhi unsur keadilan meski putusan sudah ‘ultra petita’.
Hakim menyatakan Rahmat terbukti bersalah melakukan penganiayaan dengan rencana dan mengakibatkan luka berat. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun. Memerintahkan terdakwa lamanya massa penahanan dikurangkan sebelumnya dari lamanya pidana yg dijatuhkan. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan,” kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto di PN Jakarta Utara, Kamis (16/7) malam.
Rahmat selaku penyiram air keras terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara terdakwa lainnya, Ronny, dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penganiayaan terencana.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Memerintahkan lamanya terdakwa dalam masa penahanan dikurangi sebelumnya dari pidana yang dijatuhkan,” ucap hakim.
Vonis pada kedua polisi tersebut lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya satu tahun penjara. Sebelumnya Rahmat Kadir didakwa bersama-sama Ronny Bugis melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka juga didakwa dengan dakwaan subsidair Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP serta lebih subsidair Pasal 351 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tim Advokasi Novel Baswedan menilai vonis dua dan 1,5 tahun penjara terhadap dua penyerang Novel Baswedan itu justru menguntungkan terdakwa. Sebab, menurut Tim Advokasi, dengan vonis itu maka kedua terdakwa tidak akan dipecat dari instansi Polri.
“Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan. Misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana lima tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut satu tahun penjara,” kata salah satu anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat (17/7).
Kurnia pun menjelaskan alasan putusan tersebut harus ringan, yakni agar terdakwa tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi whistle blower/justice collaborator. Skenario sempurna ini, lanjutnya, ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum.
Kurnia mengaku pihaknya tidak kaget dengan skenario itu. Sebab, Kurnia sudah menduga sejak awal persidangan itu memang diatur untuk menguntungkan terdakwa. Hal itu terlihat jelas mulai dari dakwaan, barang bukti yang dihadirkan hingga pada tuntutan jaksa yang dinilai jauh dari fakta sebenarnya.
“Penting ditegaskan kembali bahwa sejak awal persidangan Tim Advokasi Novel Baswedan sudah mencurigai proses peradilan ini dilaksanakan hanya untuk menguntungkan para terdakwa. Kesimpulan itu bisa diambil dari dakwaan, proses unjuk bukti, tuntutan Jaksa, dan putusan yang memang menafikan fakta-fakta sebenarnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kurnia menyebut putusan yang dijatuhkan hakim juga menguntungkan instansi kepolisian. “Sebab dua terdakwa yang notabene berasal dari anggota Kepolisian tidak mungkin dipecat dan pendampingan hukum oleh Divisi Hukum Polri-yang diwarnai dengan isu konflik kepentingan-pun berhasil dijalankan,” sebutnya.
Untuk itu, Kurnia menyebut persidangan kasus Novel Baswedan itu menunjukan jika penegakan hukum di Indonesia tidak berpihak pada korban. Dengan putusan yang ringan itu, Kurnia khawatir kasus-kasus teror terhadap pegiat antikorupsi ke depan akan sulit terungkap.
“Maka dari itu, kami meyakini, di masa yang akan datang para penegak hukum, khususnya penyidik KPK, akan selalu dibayang-bayangi oleh teror yang pada faktanya tidak pernah diungkap tuntas oleh negara.”
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengapresiasi Majelis Hakim soal vonis pada dua terdakwa yang berani berbeda dengan tuntutan Jaksa sebelumnya. Menurut Fickar, ini artinya masing masing subsistem dalam konteks Integrated Criminal Justice System punya kemandirian yang tidak boleh dicampuri, disandera oleh apapun termasuk subsistem penuntutan, bahkan atasannya seperti ketua MA atau siapapun.
“Karena itu ia harus berpihak pada keyakinannya untuk memutuskan suatu perkara. Meskipun melebihi tuntutan jaksa, putusan yang ultra petita (melebihi permintaan) ini harus diapresiasi. Meskipun juga vonis ini terkesan cari aman saja dari gaduhnya masyarakat hukum yang menuntut keadilan,” kata Fickar saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (17/7).
Meski begitu, Fickar menyebut putusan ini belum memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Sebab, di samping hukuman maksimalnya tujuh tahun, juga bahan yang digunakan dalam penyerangannya adalah bahan berbahaya bagi kesehatan tubuh dan mematikan, serta dilakukan terhadap seorang penyelenggara negara dalam penegakan hukum anti korupsi sebagai penyidik.
“Ini seharusnya menjadi faktor pemberat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 356 KUHP (mengenai penggunaan bahan berbahaya). Oleh karena itu, seharusnya paling tidak hukuman itu sekitar lima tahun, sehingga akan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat,” ujarnya.
Namun, Fickar menegaskan bahwa putusan ini sebetulnya belum menunjukkan efek manfaatnya bagi perkembangan peradaban manusia, yakni terkait efek detern yang seharusnya bisa membuat jera pelaku dan membuat takut orang-orang yang memiliki niat buruk untuk melakukan aksi seperti itu (calon pelaku) yang lain. Selain itu juga, tak ada hukuman tambahan pencabutan hak kedua terdakwa sebagai anggota kepolisian.
Menurut Fickar, putusan ini juga seharusnya menjadi momentum bagus jika memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam artian membersihkan oknum-oknum yang cenderung menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya yang hingga kini terus berlangsung seperti halnya pada kasus Djoko Tjandra yang ternyata melibatkan beberapa oknum juga.
“Ultra petita boleh, tapi maksudnya melebihi tuntutan jaksa. Petita/petitum itu dalam bahasa Indonesia artinya tuntutan/permintaan,” kata Fickar.