Penulis pemenang Sayembara Novel DKJ 2018, Felix K Nesi, ditahan di Polsek Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur pada Jumat (3/7) malam. Ia dilaporkan oleh komunitas Pastoran SMK Bitauni setelah memecahkan kaca jendela dan merusak sejumlah kursi plastik di sekolah tersebut. Tindakan Felix bukan tanpa alasan. Dalam status Facebook-nya, Felix mengutarakan kekecewaannya terhadap pihak sekolah yang masih memberi tempat kepada seorang pastor yang pernah “bersalah kepada perempuan” sebagai salah satu guru di sekolah.
Menurut Mario F. Lawi, penulis dan sahabat Felix, kawannya itu tak terang-terangan menulis “kekerasan seksual” dengan pertimbangan keadaan korban, yang rentan mendapat tekanan dari masyarakat.
SMK St. Pius Insana atau yang lebih dikenal dengan nama SMK Bitauni ini terletak di Jalan Gua Bitauni yang berjarak kurang dari 1 km dari rumah Felix. Sekitar Januari atau Februari lalu, seorang pastor yang punya riwayat melakukan pelecehan seksual dipindahkan dari paroki Tukuneno ke sekolah tersebut. Felix, yang kedua adiknya merupakan tamatan sekolah tersebut, mengkhawatirkan penempatan itu, dan meminta romo kepala sekolah SMK Bitauni untuk mengeluarkan pelaku dari sekolah.
“Saat tahu bahwa sesudah bermasalah dengan perempuan di sebuah paroki, ia langsung dipindahkan saja ke sekolah menengah yang penuh dengan perempuan, saya datang ke SMK Bitauni. Saya bilang, tolong, Romo Kepala, pindahkan kembali si Romo A dari sini,” ungkap Felix yang menyebut si pelaku pelecehan seksual dengan sebutan Romo A. Romo kepala sekolah mengatakan bahwa persoalan ini harus dibicarakan langsung dengan uskup. Ia juga berjanji bahwa penempatan pelaku pelecehan di sekolah ini hanya untuk sementara, sekitar satu sampai dua bulan.
Namun, dua bulan kemudian, Felix mengetahui Romo A masih bertugas di sekolah yang jumlah peserta didik perempuannya mencapai 127 orang ini. Dia kembali menyampaikan kekecewaannya di hadapan para guru di sekolah, termasuk kepada kepala sekolah dan pelaku pelecehan seksual itu sendiri. Ia memohon langsung kepada Romo A agar pindah, dan sempat menuduh kepala sekolah berbohong karena tidak menepati janji. “Saya tidak pernah berbohong, ingat itu!” ujar kepala sekolah kepada Felix.
Jumat (3/7) lalu, Felix kembali menyambangi sekolah untuk memeriksa janji kepala sekolah untuk mengeluarkan Romo A dari sekolah, tetapi justru mendapati bahwa sang romo masih mengajar di sana. Karena kekecewaannya, ia yang saat itu sedang memegang helm pun menghantam kaca-kaca jendela pastoran hingga pecah dan membanting kursi-kursi plastik di teras rumah pastoran.
Tak sampai satu jam kemudian, Felix dijemput oleh polisi atas laporan perusakan properti oleh komunitas Pastoran SMK Bintauni. Ia pun bermalam di kantor polisi. “Jika kalian, institusi gereja, sangat lambat (atau tidak pernah?) dalam mengurusi pastor bermasalah, tetapi sangat cepat dalam mempolisikan orang-orang yang marah, maka kita akan selalu bertemu,” kata Felix.
Felix juga turut mengungkapkan kekecewaan atas keputusan keuskupan untuk hanya memindahtugaskan pastor yang diketahui telah melakukan pelecehan seksual. Sebelumnya, Felix pernah mewawancarai seorang bapak yang anak perempuannya diasingkan ke kampung karena dihamili oleh seorang pastor untuk keperluan penelitian novelnya, Orang-orang Oetimu.
“Saya pernah mewawancarai seorang bapak yang mengasingkan anak perempuannya ke kampung sesudah anak tunggalnya itu dihamili seorang pastor. Pastor itu tetap di kota, anaknya yang disembunyikan. Bapak itu menangis sambil bercerita,” katanya.
Hingga tulisan ini diterbitkan, Asumsi.co belum berhasil menghubungi Polsek Insana maupun pihak SMK St. Pius Insana untuk meminta keterangan lebih lanjut.
Fenomena Gunung Es Pelecehan Seksual di Gereja Indonesia
Akhir tahun lalu, Paroki Tomang-Gereja Maria Bunda Karmel, Keuskupan Agung Jakarta, menerbitkan laporan pelecehan seksual yang terjadi di dalam Gereja Katolik di Indonesia.
Terbit dalam majalah Warta Minggu edisi 8 Desember 2019, laporan yang berjudul “Pelecehan Seksual di Gereja Indonesia: Fenomena Gunung Es?” menemukan setidaknya 56 korban pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik di seluruh Indonesia. Sebanyak 21 korban di antaranya merupakan kalangan seminaris dan frater, 20 orang suster, dan 15 adalah korban non-religius. Pelaku kekerasan seksual ini terdiri dari 33 imam dan 23 pelaku bukan imam.
Joseph Kristanto yang merupakan Sekretaris Komisi Seminari KWI sekaligus bagian dari tim penghimpun data menyebutkan bahwa korban membutuhkan waktu 10-21 tahun hingga akhirnya berani untuk bersaksi dan melakukan konseling. Banyak dari mereka masih di bawah umur ketika kasus kekerasan seksual terjadi, yaitu berusia 6-14 tahun.
Kristanto juga meyakini bahwa data yang timnya kumpulkan hanya puncak dari gunung es. “Hitung saja, di Indonesia ada 37 keuskupan, kalau masing-masing keuskupan lima atau sepuluh kasus, silakan hitung sendiri. Itu baru di keuskupan. Belum di sekolah-sekolah atau panti-panti asuhan,” ujarnya, dikutip dari Warta Minggu.
Sama seperti kasus Romo A yang dilaporkan oleh Felix Nesi, seorang narasumber yang tak disebutkan namanya juga mengeluhkan kebijakan gereja yang sekadar memindahtugaskan pelaku kekerasan seksual, sementara korban kekerasan seksual mesti menanggung malu hingga dikucillkan. “Kejahatan yang dilakukan imam, uskup, atau kardinal sekalipun tetaplah kejahatan. Pelakunya tetap dianggap penjahat dan perlu dihukum. Bukan malah dipindahtugasan. Ini risikonya besar karena dengan masih berkeliarannya predator seksual ini, potensi jatuhnya korban-korban baru sangat besar.”
“Saya beberapa kali mendengar, ketika ada suatu kasus menimpa perempuan dan bahkan sampai hamil, pastor pelaku ingin tetap lanjut jadi imam—sementara perempuannya diminta untuk sadar diri,” ungkap narasumber lain.
Sementara itu, ketika diminta konfirmasi terkait kasus kekerasan seksual di Gereja Indonesia, Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo menyangkalnya. “Saya tidak pernah menerima laporan seperti itu. Itu KWI yang mana, yang bicara tentang perkara itu? Tanyakan pada yang menulis itu, dari mana dia mendapat data itu,” ujar Suharyo lewat konferensi pers (25/12), dikutip dari gatra.com.
Ia juga menilai kasus pelecehan seksual yang melibatkan pimpinan Gereja tidak diceritakan di depan umum karena sifatnya melanggar kode etik. “Bagi saya, sebagai uskup, itu melanggar kode etik, apalagi menceritakan di depan umum. Tidak boleh kasus-kasus seperti itu digelar begitu saja di depan seminar.”