Unilever kena damprat orang-orang Indonesia karena secara terang-terangan mendukung gerakan Pride. Di akun Instagram @unilever, logo perusahaan tersebut berubah menjadi warna pelangi.
Pihak Unilever juga menyebutkan bahwa mereka berkomitmen untuk mendukung komunitas LGBTQI+ dengan melakukan langkah-langkah berikut: 1) menandatangani Deklarasi Amsterdam untuk memastikan setiap orang di Unilever punya akses terhadap tempat kerja yang inklusif; 2) bergabung dalam Open for Business terkait inklusivitas terhadap LGBTQI+ sebagai bagian dari koalisi global; 3) meminta Stonewell untuk mengaudit kebijakan dan benchmark mereka.
Kita bisa berlomba-lomba memboikot Unilever dan mengekspresikan ketidaksetujuan atas sikap mereka. Kita juga bisa mendukung perusahaan dan meminta orang-orang yang tak setuju untuk sekaligus memasukkan Facebook, Instagram, Starbucks, Lazada, dan brand-brand lainnya dalam daftar boikot. Namun, sebenarnya, seberapa berpengaruh dukungan brand terhadap gerakan LGBTQI+? Ataukah bendera dan logo Pride hanya jadi sekadar gimik untuk memperluas basis pelanggan mereka?
Jika di Indonesia perusahaan masih malu-malu memuat simbol pride, beda halnya di sejumlah negara lain yang telah relatif menerima dan ramah terhadap komunitas LGBTQI+. Lazada Filipina, misalnya, membuat kampanye #prideforgood dan berkolaborasi dengan sejumlah ilustrator untuk membuat desain emblem bertemakan Pride. Begitu pula di Amerika Serikat dengan warna pelangi menghiasi logo perusahaan fashion, bank korporat, restoran, hingga toko permen untuk memperingati Pride Month.
Tak hanya sebagai logo ataupun hiasan, produk-produk berdesain pelangi pun dijual secara eksklusif dan berharga khusus–termasuk produk-produk kecantikan, baju kaus, sandal, dan lainnya. Walaupun kampanye dan strategi marketing ini menumbuhkan percakapan dan awareness terkait hak-hak LGBTQI+, tetapi upaya ini juga menyamarkan tujuan utama dari gerakan itu sendiri. Upaya ini bernama Rainbow Capitalism, atau penetrasi kapitalisme ke dalam gerakan LGBTQI+–yang terutama ditargetkan untuk masyarakat kelas menengah atas dan orang kulit putih.
Brand-brand tersebut memang terkesan merayakan gerakan Pride, tetapi sikap brand di belakang tak selalu mencerminkan itu. Pada 2018, Adidas mengeluarkan serangkaian merchandise yang didesain untuk memperingati Pride Month. Bernama “Pride Pack”, pelanggan bisa membeli sepatu dan apparel dengan tema-tema Pride yang turut didesain oleh berbagai selebritas.
Tapi, di sisi lain, Adidas juga jadi sponsor utama dari World Cup 2018 yang diselenggarakan di Rusia—negara yang kerap mengkriminalisasi komunitas LGBTQI+. Produk-produk Adidas pun banyak dibuat di negara-negara berkembang di Asia yang kental dengan kasus kekerasan seksual dan fisik, upah minim, dan target produksi dan jam kerja berlebih. Tak hanya Adidas, brand fast fashion lain yang terkenal mendukung gerakan LGBTQI+ pun punya praktik serupa, seperti Nike, H&M, Uniqlo, dan lainnya.
Bagaimana dengan Unilever? Unilever bersama Wilmar dan Mondelez sempat berkomitmen untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan produk mereka—setelah Greenpeace mengekspos keterlibatan perusahaan-perusahaan tersebut dalam melanggengkan praktik deforestasi ilegal, eksploitasi pekerja, dan konflik agraria. Namun, Greenpeace yang awalnya menyambut antusias komitmen mereka kini telah menarik diri, sebab menilai bahwa Unilever, Wilmar, dan Mondelez tidak punya keseriusan dalam membersihkan rantai pasokan dari deforestasi, eksploitasi lahan gambut, dan eksploitasi pekerja.
Pride Month diselenggarakan untuk memperingati terjadinya Protes Stonewall pada 1969—yang kemudian memantik gerakan LGBTQI+ di Amerika dan negara lain. Selain memperjuangkan hak-hak LGBTQI+, gerakan ini juga interseksional—beraliansi dengan kelompok-kelompok minoritas lain yang sama-sama mengalami ketidakadilan. Sementara itu, saat ini, perayaan Pride dinilai sebatas permukaan saja.
“Hal ini menyembunyikan fakta bahwa perjuangan keadilan bagi kelompok queer juga bersamaan dengan perlawanan terhadap kolonialisme, rasisme, transfobia, dan kapitalisme,” ujar Associate Professor of Equity, Diversity, and Inclusion di Universitas Ryerson, Ben Barry.
Protes Stonewall dipicu oleh tindakan polisi setempat merazia Stonewall Inn, klub gay yang terletak di kota New York, dan menangkap 13 orang. Sebelumnya, razia-razia klub hingga pelecehan terhadap komunitas LGBTQI+ juga kerap terjadi. Mereka pun melawan balik dan melakukan protes selama lima hari berturut-turut. Mayoritas komunitas LGBTQI+ di Stonewall adalah orang-orang miskin yang dipinggirkan, termasuk transgender, gay, dan lesbian kulit hitam. Salah satu aktivis yang paling berpengaruh adalah Marsha P. Johnson, transgender kulit hitam dan salah satu pendiri Gay Liberation Front (GLF), aktivis AIDS, dan pengorganisir berbagai aksi perjuangan.
Sementara itu, kampanye Pride oleh brand kerap kali mengabaikan diskriminasi yang masih terus terjadi kepada kelompok-kelompok minoritas. Perusahaan farmasi Gilead, misalnya, sempat mensponsori kegiatan New York City Pride. Perusahaan ini juga membuat pil Truvada atau PrEP yang dapat mengurangi risiko penularan HIV dari aktivitas seksual hingga 90%. Namun, orang kulit hitam gay dan biseksual yang paling rentan terkena HIV justru tidak dapat mengakses produk ini. Sebanyak 75% laki-laki yang mengkonsumsi PrEP adalah orang kulit putih, sementara laki-laki kulit hitam hanya mengambil porsi 9%.
Membantu meningkatkan kesadaran publik dengan marching bersama komunitas LGBTQI+ selama Pride Month tidaklah cukup. Pertama, perusahaan dapat berbuat lebih dari sekadar menyematkan gambar pelangi, mensponsori acara, ataupun mendonasikan keuntungannya untuk komunitas LGBTQI+. Perusahaan seperti H&M hanya mendonasikan 10% dari hasil penjualan koleksi produk “Pride Out Loud” mereka. Sementara Nike tidak secara transparan menyebutkan jumlah donasi yang mereka keluarkan dalam rangka kampanye Be True.
Kedua, tujuan dari kampanye itu dinilai tidak cukup mewakili aspirasi komunitas LGBTQI+. Mengesahkan pernikahan sesama jenis sempat jadi isu dan tujuan utama, misalnya, ketika komunitas LGBTQI+ punya barisan persoalan yang lebih luas dan mungkin lebih mendesak. Kelompok transpuan, misalnya, kerap diusir dari rumahnya dan dilecehkan oleh lingkungannya—membuat opsi pekerjaan mereka terbatas, tak punya tempat tinggal, dan terjebak dalam lingkar kemiskinan.
Ada pula masalah kesehatan mental maupun fisik yang bertambah buruk dengan perlakuan diskriminatif yang diterima mereka dari layanan kesehatan. Anak-anak sekolah yang tergolong LGBTQI+ dikatakan lima kali lebih memungkinkan untuk bolos sekolah karena mereka rentan dirundung dan merasa tak aman. Sebanyak 30% kasus bunuh diri dikatakan terjadi akibat krisis identitas seksual.
Membantu meningkatkan kesadaran publik mungkin bisa jadi langkah pertama, tetapi, sebagaimana hak-hak LGBTQI+ yang baru diakui setelah aksi protes besar-besaran Stonewall, kita tahu perjuangannya tak cukup sampai di situ.