Budaya Pop

Mengolok-olok Cinta lewat The World of the Married

Nicky Stephani — Asumsi.co

featured image

Tidak ada yang istimewa dari cinta. Begitu pula kisah cinta dalam The World of The Married (TWTM). Bagi yang belum menonton, TWTM adalah drama Korea teranyar yang sedang ramai diperbincangkan di jagad maya. Enam belas episodenya bercerita tentang lika-liku kehidupan rumah tangga, termasuk di dalamnya kisah perslingkuhan dan perceraian.

Sesungguhnya saya bukanlah penggemar drama Korea. Kisah cinta nan manis dan penuh keajaiban (seperti tiba-tiba mendarat di pelukan Kapten Ri dalam Crash Landing On You) tidak cocok dengan pikiran saya yang selalu bertanya “Kok bisa sih?” Penonton seperti saya akan membuat penulis skenario kelelahan menjelaskan mengapa bisa begini dan begitu di setiap adegan, bahkan untuk adegan ciuman sekalipun. Keingintahuan berlebihlah yang mengantarkan saya pada episode pertama TWTM dan sejak saat itu saya tidak pernah absen tepuk tangan di tiap akhir episode. Yang sudah menonton pasti merasa gereget dan bingung mau memihak siapa.

Keputusan menikah dibuat atas dasar cinta. Itulah yang tergambar dari adegan Lee Tae Oh melamar Ji Sun Woo, lengkap dengan cincin dan “My One and Only Love”-nya Sting sebagai musik latar. Keputusan berselingkuh juga dibuat atas dasar cinta. Setidaknya begitulah yang kita pahami dari adegan mesra Lee Tae Oh dan Yeo Da Kyung, yang diiringi lagu yang sama. Ungkapan cinta yang sama dari seorang lelaki untuk perempuan yang berbeda. Berengsek betul si Tae Oh ini! Tapi, menurut Tae Oh jatuh cinta bukanlah kejahatan. Ya, benar juga sih.

Kalau cinta tidak jahat dan tidak pernah salah, mengapa selingkuh dianggap salah? “Orang selingkuh tuh kebanyakan karena nafsu, bukan karena cinta” Menanggapi pernyataan semacam ini, adakah yang tahu batasan antara cinta dan berahi? Bagaimana cara menarik garis hitam lurus untuk memisahkan keduanya? Keduanya berlaku relatif pada setiap individu yang mengalaminya, tergantung siapa subjek dan objeknya, tergantung pengalaman dan sudut pandangnya. Lagi pula, siapa juga yang dapat menjamin pasangan yang menikah sudah pasti karena cinta, tanpa secuil pun nafsu?

Dalam pernikahan, cinta dan berahi dilegalkan oleh negara dan agama sehingga keberadaannya dipandang benar dan wajar. Pasangan yang sudah menikah tidak lagi perlu khawatir bermesraan di depan publik. Kan sudah ada tandanya, tengok saja cincin kawin dan buku nikahnya. Lain halnya dari cinta dan nafsu dalam perselingkuhan. Meskipun kadarnya setara dengan pernikahan, keduanya tidak disahkan oleh institusi mana pun. Nah, yang tidak terdaftar, terdata, dan bercap resmi itu biasanya dianggap ilegal. Tapi apakah embel-embel legal-ilegal itu mempengaruhi kualitas? Sepengalaman saya, smartphone yang dibeli di gerai resmi dan black market sama bagus dan kuatnya, kok.

Anggapan kedua kira-kira bunyinya begini “Selingkuh itu artinya menghendaki yang bukan milikmu.” Dan menginginkan milik orang lain, menurut ajaran agama-agama, jelas salah. Meskipun demikian, saya tidak akan membahasnya dari perspektif religi. Cinta adalah soal kepemilikan. Ketika kita mencintai seseorang, muncul hasrat untuk memiliki orang itu sepenuhnya dan seutuhnya. Cinta yang eksklusif atau monogami adalah dambaan kebanyakan orang.

Kita berusaha mati-matian agar tidak kehilangan orang yang kita cintai. Kita menjaga orang yang kita cintai sedemikan rupa agar tidak jauh-jauh dari pandangan kita, selalu dekat dengan kita, dan senantiasa ada dalam hidup kita. Perlakuan yang sama juga kita berikan terhadap smartphone, rumah, mobil, dan barang berharga lainnya.

Kita bisa bilang bahwa kita mencintai pasangan kita melebihi apa pun. Orang yang kita cintai lebih berharga, kita tidak sanggup kehilangan dirinya, dan kita rela mempertaruhkan apapun demi dirinya. Harga, kehilangan, dan taruhan adalah cara kita menyikapi dan memperlakukan orang yang kita cintai. Cinta tak ubahnya seperti komoditi. Layaknya perkataan Sun Woo kepada Da Kyung “Jangan sentuh barang-barang mereka. Barang itu bisa tergelincir dan pecah. Itu sebabnya kamu tidak boleh menyentuh barang orang lain.” Secara terang-terangan Tae Oh, laki-laki yang mereka cintai, disamakan dengan barang.

Lalu, apa bedanya cinta dalam pernikahan dan perselingkuhan ketika keduanya berintensi memiliki? Setidaknya kepemilikan barang dalam pernikahan memiliki segel resmi. Menikah artinya mendaftarkan cinta dan diri masing-masing untuk dikelola negara dan dipantau agama lewat institusi bernama keluarga. Tentunya ada harga yang harus dibayar untuk meresmikan kepemilikan properti. Untuk urusan cinta, harganya setara dengan kemerdekaan cinta itu sendiri. Kehadiran selingkuhan jelas mengganggu tata kelola yang sebelumnya berlangsung dengan aman, damai, dan sejahtera. Selingkuhan adalah ancaman terhadap kepemilikan resmi. Tak heran jika kemudian muncul istilah pelakor (Perebut Laki Orang) di kancah perselingkuhan.

Ada pula yang beranggapan “Orang yang sungguh-sungguh mencintai pasangannya tidak akan berselingkuh.” Cinta dan kesetiaan adalah dua hal yang tak terpisahkan, tapi bukan berarti keduanya senantiasa seiring. Berbicara cinta berarti kita merujuk pada perasaan sedangkan kesetiaan mengacu pada sikap dan tindakan. Kita bisa mengendalikan sikap dan tindakan kita sesuai dengan kondisi tertentu, tapi tidak dengan perasaan kita. Kalau begitu, bisakah kita mencintai pasangan kita dan berselingkuh di waktu yang sama?

Mungkin saja. Seperti perkataan Tae Oh ketika perselingkuhannya terungkap, “Kamu tidak berhenti mencintai hanya karena sudah menikah. Aku mencintai mereka berdua (Sun Woo dan Dae Kyung -red) di saat bersamaan.”

Yang menyaksikan adegan ini barangkali ingin meninju wajah Tae Oh. Sebagian dari Anda berpikir dia sungguh serakah dan sebagian lagi mungkin berpikir bahwa dia pengecut karena tidak mau memilih. Daripada menebak-nebak laki-laki macam apa Tae Oh ini, ada baiknya kita memahami bahwa cinta, sesungguhnya, tidak dapat diungkapkan lewat ucapan maupun tindakan.

“Saya mencintai kamu” berbeda dari “Saya kira saya mencintai kamu.” Mana cinta yang jujur di antara kedua ungkapan itu? Entahlah. Hanya yang mengalami cinta yang dapat merasakan perasaan itu sepenuhnya dan sejujurnya. Kata-kata dan perilaku hanya mengerdilkan atau bahkan mendegradasi makna cinta itu sendiri. Kita kerap menuntut bukti dari cinta pasangan kita lewat kalimat “I love you”, kecupan, bunga, dan kesetiaan. Itulah yang kasat mata dan yang membuat kita terlena dengan persepsi “dia mencintai saya.”

Persepsi kesetiaan sebagai tanda cinta itulah yang diganggu oleh perselingkuhan sehingga kita sekali lagi berpikir, bukan merasakan, bahwa pasangan kita sudah tidak mencintai kita lagi. Kita hanya bisa merasakan cinta kita untuk orang lain, bukan cinta orang lain untuk kita. Pepatah “hati orang siapa yang tahu” memang benar adanya, apalagi dalam urusan cinta. Oleh karena itu, berbahagialah kalian yang percaya pada cinta tanpa perlu melihat atau mendengarnya.

Lewat TWTM kita dapat melihat bahwa cinta yang mendasari pernikahan maupun perselingkuhan tidak ada bedanya. Cinta yang awalnya menjatuhkan hati dan meluluhlantakkan pikiran adalah cinta yang juga mengikat tubuh di kemudian hari. Rasanya tidak ada yang lebih menohok dari perkataan Tae Oh di hadapan Sun Woo setelah ia menikahi Da Kyeung, “Bagaimana jika aku katakan bahwa aku menyesal menikah lagi? Cinta itu tidak ada bedanya. Begitu cinta menjadi pernikahan semuanya ternyata sama saja. Bagaimana jika ku bilang itu biasa saja dan aku sudah muak?” Saya melakukan standing ovation untuk adegan ini.

TWTM bukan sekadar drama tentang pernikahan, perselingkuhan, dan perceraian yang mendorong kita untuk memutuskan siapa yang patut disalahkan atau dibela. Drama ini justru memperolok keyakinan kita terhadap cinta selama ini.

Mereka yang percaya bahwa pernikahan adalah happy ending dari setiap kisah cinta, mereka yang meyakini bahwa cinta mampu mengatasi segalanya, dan mereka yang memuja kesetiaan cinta sejati akan tertampar oleh realita bahwa cinta bukanlah apa-apa. Episode demi episode TWTM menyuguhkan gambaran bahwa cinta, alih-alih membuat bahagia, malah menimbulkan banyak masalah dan kesedihan dalam hidup kita. Masalah yang nyatanya tidak bisa diselesaikan dengan cinta yang mahadahsyat itu. Seperti yang disimpulkan Sun Woo, “Cinta adalah awal dari khayalan ini.”

Tidak ada pernikahan yang sempurna, perselingkuhan yang selalu indah, dan kehidupan yang bahagia selamanya. Lebih dari itu, tidak ada yang istimewa dari cinta. Tak perlulah kita membangga-banggakan cinta, karena cinta, pada akhirnya, ya begitu-begitu saja.

Nicky Stephani. Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Jaya, Tangerang. Suka mencermati, mengkaji, dan menulis tema gender dan seksualitas di waktu luangnya.

Share: Mengolok-olok Cinta lewat The World of the Married