Alat-alat kesehatan, mulai dari Alat Pelindung Diri (APD) hingga instrumen laboratorium, amat penting bagi tim medis yang menangani COVID-19. Namun, setelah digunakan, alat-alat itu berubah menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Bagaimana cara terbaik untuk menanganinya agar tak memperparah ancaman kesehatan hari-hari ini?
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengingatkan: sampah atau limbah medis B3 bekas penanganan COVID-19 butuh perlakuan khusus, berbeda dari yang selama ini dilaksanakan. “Diindikasikan kebanyakan rumah sakit tidak punya [tempat pengolahan dan pemusnahan limbah medis], kemudian bekerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan pemusnahan, tetapi biasanya di lapangan pihak ketiga ini memilah-pilah, dipilih yang masih punya nilai ekonomi,” kata Bagong lewat keterangan tertulis yang diterima Asumsi.co, Rabu (01/04).
Pemulung dan buruh sortir sampah—yang tak dapat menjalani physical atau social distancing sepenuhnya karena harus bekerja harian—berpotensi terpapar bahaya limbah infeksius tersebut. Apalagi, kalau mereka tak menggunakan masker, sarung tangan, atau alat pelindung kerja lainnya yang aman secara medis ketika memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Tak hanya pihak rumah sakit, masyarakat umum juga banyak yang memakai APD, terutama masker, dan bahkan ada juga yang memakai baju hazmat, tanpa membayangkan pengelolaan limbahnya. Bagong pun meminta pemerintah segera menyikapi persoalan sampah medis dengan benar, termasuk menyiapkan dan melakukan pengangkutan khusus limbah medis.
“Masyarakat mungkin bingung kalau sampahnya sudah terkumpul banyak, lalu siapa yang mengambil? Ini masalahnya. Akhirnya dicampur dengan sampah rumah tangga,” ujar Bagong.
Berdasarkan data 2018 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume limbah medis yang berasal dari 2.813 rumah sakit di Indonesia mencapai 242 ton per hari. Rata-rata tumpukan limbah yang siap ditindaklanjuti hanya 87 kilogram per hari. Artinya limbah yang belum dikelola masih cukup besar.
Ketua Umum Koalisi Kawali Indonesia Lestari, Puput TD Putra, mengatakan, “Berhubung ini penyakit yang khusus, harusnya pengolahan sampahnya, atau limbah medisnya, dilakukan oleh pihak profesional yang memahami prosedur. Standar perlengkapannya harus sudah memenuhi proses sterilisasi, baru masuk ke dalam boks mobilnya, dan terus dimusnahkan dengan pembakaran yang suhunya sanggup mematikan virus.”
Kata Puput, koordinasi dan pengawasan masalah sampah medis COVID-19 ini harus segera dilakukan, agar sampah ini tidak malah menjadi media penularan ke para pekerja pengolahan sampah dan masyarakat yang hidup di sekitar tempat pengolahan sampah.
Di Jakarta, seperti disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat menghadiri peringatan Hari Peduli Sampah Nasional di Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, Jumat (21/02) lalu, warga ibu kota memproduksi sampah sebanyak 7.600 ton per hari. Ia menyebut sampah sebanyak itu rata-rata langsung dibuang masyarakat ke temat sampah, hingga kemudian diangkut petugas dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Dari kondisi ini, Jakarta pun menghadapi dua masalah besar sekaligus. Pertama, menjadi daerah yang memiliki kasus positif COVID-19 terbanyak dari seluruh wilayah Indonesia. Kedua, Jakarta tentu saja bakal memproduksi limbah medis bekas penanganan COVID-19 terbanyak pula, yang berpotensi membahayakan.
The Journal of Hospital Infection menganalisis 22 studi mengenai berapa lama virus SARS-CoV-2 bertahan di permukaan benda. Pada stainless steel, virus corona dapat bertahan hingga lima hari, bahan metal lima hari, alumunium dan sarung tangan operasi bertahan dua hingga delapan jam, kayu selama empat hari, kaca empat hari, plastik delapan jam hingga enam hari, hingga kertas dalam empat sampai lima hari. Bayangkan saja kalau virus Corona menempel di sampah atau limbah medis COVID-19 yang jumlahnya amat banyak.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.2/MLHK/PSLB3/P.LB3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) tertanggal 24 Maret 2020.
Surat edaran tersebut menjadi pedoman bagi pemerintah yang mencakup penanganan pada tiga ruang lingkup, yakni limbah infeksius yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, limbah infeksius yang berasal dari rumah tangga dan terdapat Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan sampah rumah tangga serta sampah sejenis sampah rumah tangga.
Dalam pelaksanaannya, limbah infeksius untuk perawatan ODP berupa masker, sarung tangan dan baju pelindung diri yang berasal dari rumah tangga, dikumpulkan dan dikemas tersendiri menggunakan wadah tertutup. Limbah tersebut kemudian diangkut dan dimusnahkan di tempat pengolahan limbah B3.
Lalu, petugas dari Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, maupun Kesehatan bertanggung jawab mengangkut limbah ke lokasi pengumpulan yang telah ditentukan sebelum diserahkan ke pengolah limbah. Seluruh petugas kebersihan atau pengangkut sampah wajib dilengkapi dengan APD khususnya masker, sarung tangan, dan sepatu pelindung (safety shoes) yang setiap hari harus disterilkan.
Sementara dalam upaya mengurangi timbulan sampah masker, masyarakat yang sehat diimbau untuk menggunakan masker guna ulang yang dapat dicuci setiap hari. Sedangkan jika menggunakan masker sekali pakai diharuskan untuk merobek, memotong, atau menggunting masker tersebut untuk menghindari penyalahgunaan.
Pemerintah daerah juga diminta untuk menyiapkan tempat sampah atau drop box khusus masker di ruang publik. Untuk penanganan limbah infeksius yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan. Limbah kemudian diangkut dan dimusnahkan di tempat pengolahan limbah B3 dengan insinerator.
Pembakaran dilakukan pada suhu minimal 800 derajat celcius atau menggunakan autoclave yang dilengkapi pencacah. Kemudian, hasil pembakaran dikemas dan ditandai simbol beracun dan berlabel limbah B3. Selanjutnya, ditempatkan di penyimpanan sementara untuk diserahkan kepada pengelola.