Isu Terkini

Pemerintah Kita Tidak Mau Dianggap Negara Maju oleh AS. Masuk Akal, Kok.

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Rupanya ada benarnya juga: terkadang, pujian adalah racun. Belum lama ini (10/2), pemerintah Amerika Serikat (AS) menyampaikan keputusan mengejutkan: Indonesia tak lagi masuk daftar negara berkembang dan akan diperlakukan selayaknya negara maju.

Jangan busungkan dadamu dulu. Kabar gembira ini justru berpotensi menggoyahkan ekonomi Indonesia.

Jadi negara maju atau berkembang di mata AS tidak ada kaitannya dengan prestise dan harga diri bangsa. Ini murni isu bisnis. Pada 10 Februari 2020, Office of the United States Trade Representative (USTR) mengeluarkan kebijakan yang mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Imbasnya, Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam kesepakatan WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku untuk Indonesia.

Pusing? Baiklah, kami jelaskan dari awal.

Sejak tahun 1974, pemerintah AS menjalankan program perdagangan bernama Generalized System of Preferences (GSP). Kebijakan tersebut ditetapkan sebagai bentuk dukungan AS terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara yang sedang berkembang.

Pada dasarnya, GSP memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara-negara berkembang. Gampangnya, hal ini bakal menekan harga produk tersebut di pasaran AS dan membuat produk dari negara-negara berkembang punya daya saing lebih. Biasanya, GSP bakal dicabut jika produk suatu negara dianggap sudah berdaya saing.

Secara teori, program ini dinilai ampuh untuk menggenjot ekonomi negara-negara tersebut. Tentu saja, pihak AS mendapatkan bonus manis: hubungan bilateral negara-negara berkembang itu dengan AS semakin mesra.

Sejak 1976, Indonesia sudah termasuk dalam daftar 119 negara berkembang yang menerima manfaat dari GSP. Kita masuk kategori A, dan mendapatkan potongan bea masuk untuk 3.500 jenis produk lokal yang kita ekspor ke AS. Ekspor utama Indonesia ke AS termasuk udang-udangan segar, karet alam, alas kaki, pakaian, serta ban.

Jangan remehkan dampak kebijakan ini terhadap perdagangan Indonesia-AS. Menurut catatan Nikkei, Indonesia adalah penerima manfaat terbesar keempat dari program GSP di seluruh dunia, dengan ekspor senilai dua miliar dollar pada tahun 2017. Angka ini berangsur naik menjadi 2,5 miliar dollar pada periode Januari-November 2019. Singkat kata, bila GSP diutak-atik, kita ambyar.

Masalahnya begini. Kebijakan perdagangan GSP bersifat sepihak dan umumnya dilakukan negara-negara maju untuk membantu ekonomi negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima. Negara pemilik program GSP bebas menentukan negara mana yang bakal menerima manfaat, dan produk apa saja yang bakal diberikan pemotongan bea masuk impor. Termasuk, mencabut pemberian program GSP secara sepihak.

Skenario mengagetkan ini pernah terjadi tahun lalu. Pada Maret 2019, Presiden Donald Trump dan USTR mengumumkan bahwa status penerima GSP untuk India bakal dicabut. Alasannya? Pihak India dinilai gagal meyakinkan pemerintah AS bahwa mereka bakal menyediakan “akses yang merata dan masuk akal” terhadap pasar India.

Pemerintah AS bertindak menanggapi keluhan dari pengusaha-pengusaha AS yang gerah dengan kebijakan dagang sebagian negara penerima GSP. India, Thailand, dan Indonesia diulas posisinya dalam daftar penerima GSP sebab mereka dinilai menetapkan kebijakan perdagangan yang tidak menguntungkan pihak AS. Pasar ketiga negara tersebut, katanya, sulit diakses oleh pengusaha-pengusaha AS. India dan Indonesia didamprat oleh pelobi dari industri susu AS, sementara Thailand diprotes oleh produsen produk babi.

Keputusan ini bikin India kebakaran jenggot. Pasalnya, uang yang mereka tuai dari GSP tidak main-main. Pada 2017, India tercatat mengekspor barang senilai 5,6 miliar dollar tanpa kena bea masuk sedikit pun. Mereka tercatat sebagai penerima manfaat GSP tertinggi di dunia. Coba tebak siapa yang menyusul mereka di posisi kedua. Betul: juara dua adalah Thailand, yang mengekspor barang senilai 4,2 miliar dollar bebas bea.

Insiden India membuktikan bahwa GSP bukan sekadar keringanan yang diberikan AS kepada negara-negara berkembang karena ia murah hati dan ramah senyum. GSP sekaligus jadi alat negosiasi pihak AS untuk mendorong negara-negara berkembang menetapkan kebijakan dagang yang menguntungkan baginya.

Nah, hal inilah yang sedang terjadi kepada Indonesia. Kita ditarik dari daftar negara berkembang. Secara teknis, kita tidak lagi masuk kriteria untuk jadi penerima manfaat program GSP.

Tak sedikit yang geram terhadap keputusan AS. Ekonom dari Center of Reforms on Economic (CORE) Piter Abdullah merasa bahwa GSP “masih kita butuhkan”. Bila GSP dicabut, ekspor Indonesia bisa tertekan karena kondisi ekspor kita sebetulnya belum begitu kokoh. Ekonom Indef, Bhima Yudistira, lebih garang lagi. Menurutnya, aksi ini hanyalah “akal licik” Donald Trump untuk menekan defisit dagangnya dengan Indonesia.

Ia memprediksi bahwa sektor tekstil dan pakaian jadi bakal paring terancam. “Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang setelah sebelumnya pada 2020 defisit mencapai 864 juta dollar,” tuturnya. Adapun ekonom dari Economic Action Indonesia, Ronny P. Sasmita, merasa bahwa AS hanya ingin meningkatkan pendapatan negara dari bea masuk barang impor. “Kondisi ekspor nasional yang selama ini sulit membaik akan semakin sulit,” keluhnya.

Namun, pemerintah kita tidak ujug-ujug panik mendengar kabar tersebut. Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, misalnya, mengaku “tidak khawatir”. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak otomatis berarti “bea masuk barang Indonesia akan naik.”

Kepercayaan diri Menko Airlangga bukannya tak beralasan. Bila kamu baca secara seksama komunikan dari USTR, pihak AS tidak pernah secara eksplisit menyatakan Indonesia dicabut dari daftar penerima manfaat GSP. Pemerintah AS “hanya” berniat mengubah kriteria yang biasa mereka gunakan untuk menentukan suatu negara berkembang atau tidak, sebab kriteria lama dinilai usang. Lebih jauh lagi, komunikan AS lebih mengacu pada relasi program GSP dengan kebijakan World Trade Organization (WTO).

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) pun menyatakan bahwa setelah tektokan dengan kompatriotnya di AS, rupanya pencabutan Indonesia dari daftar negara berkembang belum berdampak pada pemberian GSP. Wakil Kedua Umum Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menyatakan bahwa perubahan tersebut “hanya berdampak pada status di WTO.” Namun, pihaknya tidak menyangkal bahwa AS sedang mempertimbangkan ulang fasilitas-fasilitas yang mereka berikan dalam program GSP.

Seperti dilaporkan oleh Katadata, pekan lalu Menteri Perdagangan Agus Suparmanto melawat ke AS untuk secara khusus membahas negosiasi GSP dengan pihak AS. Rencananya, pada 13 Maret 2020, ia akan bertemu perwakilan USTR Robert Lighthizer untuk mempertegas status perdagangan antara Indonesia dengan AS. Posisi Indonesia jelas: kita butuh GSP dan keringanan bea masuk tersebut. Namun, fakta bahwa ini bukan kali pertama pihak AS mengeluh tentang kebijakan dagang Indonesia menunjukkan bahwa ada sesuatu lebih yang mereka inginkan.

Siapa sangka, satu kebijakan yang mungkin belum pernah kamu dengar sampai hari ini bisa jadi muasal negosiasi alot dengan negara adidaya. Pertaruhannya? Triliunan rupiah, dan ribuan pekerjaan. Ngeri!

Share: Pemerintah Kita Tidak Mau Dianggap Negara Maju oleh AS. Masuk Akal, Kok.