Covid-19

Sengkarut Ivermectin, Mulai dari Obat Cacing, Terapi COVID-19 Sampai Bahan Ilegal

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash

Ivermectin yang disebut bisa menjadi obat COVID-19 hingga kini, masih menjadi perbincangan publik. Keamanan, khasiat, serta mutu Ivermectin pun dipertanyakan. Terikini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengungkapkan adanya produsen Ivermectin di Indonesia yang menggunakan bahan ilegal dalam produksinya. 

Ivermectin Masih Diuji Klinis

Kepala BPOM, Penny K. Lukito menegaskan, penggunaan Ivermectin untuk indikasi COVID-19 hanya digunakan dalam kerangka uji klinis. Hal ini sejalan dengan diterbitkannya Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) terhadap Ivermectin yang telah dikeluarkan oleh Badan POM pada tanggal 28 Juni 2021.

Ia menambahkan langkah uji klinis ini sebagai upaya untuk menghindarkan masyarakat dari penggunaan obat-obatan yang berisiko terhadap kesehatan.

“Sebagaimana rekomendasi dalam WHO Guideline for COVID-19 Treatment yang dipublikasikan pada 31 Maret 2021, serta pendapat dari Badan Otoritas obat yang memiliki sistem regulatori yang baik seperti The United States Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicines Agency (EMA), bahwa Ivermectin untuk COVID-19 hanya dapat dipergunakan dalam kerangka uji klinik,” jelasnya melalui konferensi pers virtual, Jumat (2/7/21).

Baca Juga : Tabung Oksigen Langka, Waspada Panic Buying dan Penimbunan Massal

Ia menjelaskan, uji klinis terhadap Ivermectin saat ini tengah dilakukan di 8 Rumah Sakit di Indonesia. Penggunaan Ivermectin di luar skema uji klinis, hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hasil pemeriksaan dan diagnosa dari dokter.

“Jika dokter bermaksud memberikan Ivermectin kepada pasien, maka penggunaannya harus sesuai dengan protokol uji klinik yang disetujui,” ucap Kepala BPOM.

Penny memastikan pihaknya juga selalu selalu menjaga agar mutu obat terjamin sepanjang siklus hidup produk dengan memastikan mutunya, sebelum dan sesudah beredar.

Hal ini dengan memperhatikan pemenuhan Cara Pembuatan Obat  yang Baik (CPOB) oleh industri farmasi dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) oleh distributor, termasuk di sarana pelayanan kefarmasian.

Pengawalan BPOM terhadap jaminan mutu obat, lanjut dia dilakukan melalui pengawasan ke fasilitas produksi dan distribusi untuk memastikan kepatuhan terhadap CPOB dan CDOB.

“Jika didapatkan ketidaksesuaian terhadap ketentuan CPOB dan CDOB pada mutu produk dan dapat membahayakan masyarakat, maka dapat dikenakan sanksi-sanksi kepada pelaku usaha sesuai peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.

Produksi dan Distribusi Ivermectin Harsen Ilegal

Kepala BPOM menyinggung soal pengawasan pihaknya terhadap kegiatan pembuatan Ivermectin produksi PT. Harsen dengan nama dagang Ivermax 12.

Dari hasil pengawasan, kata dia BPOM menemukan bahwa obat tersebut diproduksi dan didistribusikan dengan tidak memperhatikan aspek CPOB dan CDOB. Ia menjelaskan sejumlah aspek yang tidak memenuhi ketentuan, antara lain:

Menggunakan bahan baku Ivermectin dengan pemasukan yang tidak melalui jalur resmi. Mendistribusikan obat Ivermax 12 tidak dalam kemasan siap edar. Mendistribusikan obat Ivermax 12 tidak melalui jalur distribusi resmi

Mencantumkan masa kedaluarsa Ivermax 12 tidak sesuai dengan yang telah disetujui oleh Badan POM yaitu seharusnya 12 bulan setelah tanggal produksi namun dicantumkan 2 tahun setelah tanggal produksi. Mengedarkan obat yang belum dilakukan pemastian mutu dari produk.​

Melakukan promosi yang tidak sesuai ketentuan  yaitu tidak obyektif, tidak lengkap, dan menyesatkan  sebagai contoh  iklan obat  Ivermectin  yang yang mencantumkan indikasi untuk pengobatan COVID-19 dapat menyesatkan masyarakat karena belum ada uji klinis dan persetujuan dari Badan POM untuk indikasi tersebut.

Oleh sebab itu, ia memastikan BPOM bakal mengedepankan pembinaan kepada Industri Farmasi dalam memenuhi ketentuan CPOB dan CDOB, dengan melakukan inspeksi dan meminta industri farmasi melakukan perbaikan terhadap temuan-temuan ketidaksesuaian dengan standar.

Ia menuturkan bila pembinaan yang dilakukan Badan POM itu tidak dipatuhi oleh industri farmasi, maka akan dilakukan peringatan keras berupa penghentian sementara produksi sampai kepada pencabutan izin edar.

“Sanksi yang diberikan saat ini kepada PT. Harsen berupa penghentian sementara kegiatan produksi dan penarikan produk Ivermax 12 dari peredaran,” ungkapnya.

Ke depan, BPOM akan terus memantau pelaksanaan dan menindaklanjuti hasil uji klinisnya. 

“Serta melakukan update informasi terkait penggunaan obat Ivermectin untuk pengobatan COVID-19 melalui komunikasi dengan WHO dan Badan Otoritas Obat negara lain,” ucapnya.

Selain itu, Kepala BPOM juga mengimbau agar masyarakat bijak, pintar, dan hati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan yang akan digunakan dalam pengobatan COVID-19.

Seolah merespons ramainya penggunaan Ivermectin di Indonesia, dokter asal Amerika Serikat, Faheem Younus, menyampaikan saran buat masyarakat Indonesia yang sedang menjalani isolasi mandiri karena terpapar COVID-19.

Obat Buat Pasien Isolasi Mandiri

Melalui akun Twitter @FaheemYounus, ia menyarankan masyarakat Indonesia yang sedang menjalani isolasi mandiri menggunakan beberapa obat yang direkomendasikannya.

For my Indonesian friends, mengobati COVID-19 di rumah. Gunakan tablet parasetamol untuk demam, budesonide inhaler dua kali sehari. Semprotan hidung oxymetazoline untuk hidung tersumbat,” cuitnya baru-baru ini.

Masih dalam kicauannya, Faheem melarang penggunaan obat COVID-19 Ivermectin untuk pasien yang menjalani isolasi mandiri di rumah. “Tidak perlu antibiotik, Ivermectin, seng, atau steroid,” imbuhnya.

Pakar patologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dr Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, PhD mengamini kalau sejauh ini Ivermectin masih dalam uji klinis.

“Uji klinis ini dilakukan biar orang tidak sembarangan dan bukan tanpa risiko juga Ivermectin ini dipakai,” kata Tonang kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Sabtu (3/7/21).

Ia mencontohkan, di Amerika Serikat pernah terungkap adanya risiko dari penggunaan Ivermectin yang tidak sesuai dosis dan kegunaannya. “Sewaktu dipakai di AS sudah ada risiko terjadi gangguan neurologi. Jadi kita harus hati-hati. Mesti supaya uji klinis ini bisa berjalan baik,” ujarnya.

Soal obat yang bisa disarankan Faheem, Tonang lebih menyarankan masyarakat untuk mengikuti panduan pengobatan COVID-19 secara lengkap yang dirilis di situsnya.

“Kemenkes sudah membuat pedoman apa yang harus dilakukan kalau kita mengalami COVID-19 tanpa gejala atau bergejala, isolasi mandiri dan menjalani perawatan di rumah sakit. Itu sudah disebarkan dari lama di akun resmi dan dikasih tau obatnya ada. Nah, kalau pasien yang statusnya OTG (orang tanpa gejala) menurut saya ya, tidak usah diberikan obat,” tandasnya.

Adapun pedoman penanganan COVID-19 sebagaimana yang disampaikan dr Tonang, dapat dilihat dan diunduh di laman situs resmi Kementerian Kesehatan RI.

Share: Sengkarut Ivermectin, Mulai dari Obat Cacing, Terapi COVID-19 Sampai Bahan Ilegal