Isu Terkini

Semrawut Sistem Pemagangan di Indonesia

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sedang merancang aturan yang memungkinkan mahasiswa untuk bisa magang selama tiga semester. “Perguruan tinggi harus memberikan hak kepada mahasiswa tiga semester dari total delapan semester agar bisa mengambil kelas di luar prodi. Tapi ini bukan pemaksaan,” kata Nadiem dalam Diskusi Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi pada Jumat (24/1), dikutip Katadata.co.id.

Selain magang, kesempatan ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengambil mata kuliah di program studi lain, mengajar di sekolah, melakukan penelitian, pertukaran pelajar, proyek desa, wirausaha, dan lain-lain. Nadiem juga menekankan bahwa hal ini tidak bersifat memaksa. “Saya harus tekankan ini bukan paksaan. Kalau mahasiswa itu ingin 100 persen di dalam prodi [program studi] itu, ini adalah hak mereka. Tapi ini suatu kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memberikan opsi tersebut,” kata Nadiem.

Wacana yang termasuk dalam program kebijakan “Merdeka Belajar: Kampus Merdeka” ini disambut baik oleh pengamat pendidikan, rektor kampus, dan pelaku industri. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria, misalnya, mengatakan bahwa program ini dapat mendukung mahasiswa untuk mempersiapkan diri terjun ke dalam dunia kerja. “Tiga semester itu untuk mengambil mata kuliah di luar prodi bisa membantu mahasiswa persiapkan karier. Ini kebijakan fleksibel,” kata Arif.

Nadiem juga menyatakan pelaku industri menyambut secara antusias wacana ini. “Perusahaan yang tadinya susah tertarik dengan KKN [Kuliah Kerja Nyata], dengan adanya magang enam bulan, hampir setahun, hampir semua industri yang saya ajak bicara matanya melek,” kata Nadiem.

Magang atau Tenaga Kerja Murah?

Wacana magang tiga semester kembali mengingatkan kita pada praktik-praktik magang yang berakhir mengeksploitasi pekerjanya. Tirto.id sempat membuat laporan tentang peserta magang di PT Nanbu Plastics Indonesia dan PT Cikarang Nusantara yang mesti membayar uang administrasi senilai jutaan rupiah. Mereka pun dipekerjakan sebagai peserta magang lebih dari setahun.

Sekretaris Jenderal SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi) Ikhsan Raharjo mengatakan bahwa masih banyak pekerja yang diupah murah dengan dalih pemagangan. “Kita harus sadar bahwa selama ini ada yang nggak beres dengan sistem pemagangan di Indonesia. Kita khawatir rencana Nadiem ini malah akan menambah rumit kondisi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terkait pemagangan,” kata Ikhsan, dihubungi lewat telepon oleh Asumsi.co.

Peraturan tentang magang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 36 Tahun 2016. Magang atau pemagangan diartikan sebagai sistem pelatihan kerja yang dilakukan dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

Pasal 12 ayat (1) peraturan tersebut menyebutkan hak-hak peserta magang: memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja, memperoleh uang saku, memperoleh perlindungan dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan kematian, dan memperoleh sertifikat. Pasal 12 ayat (2) juga menyebutkan bahwa uang saku peserta magang terdiri dari biaya transport, uang makan, dan insentif. Peserta magang juga tidak diperbolehkan untuk kerja lembur, bekerja di hari libur resmi, dan di malam hari.

Namun, menurut Ikhsan, peraturan ini masih kerap dilanggar oleh perusahaan. Mahasiswa, misalnya, direkrut sebagai peserta magang dengan beban kerja yang sama dengan pekerja tetap atau profesional. Sementara pekerja-pekerja profesional turut direkrut sebagai peserta magang demi upah murah.

“Saya berbicara beberapa kali dengan teman-teman di industri hotel dan industri lainnya. Ternyata, komposisi magangnya tinggi sekali — bahkan ada yang di atas 50%. Misalnya, ada satu SMK atau institusi pendidikan yang mewajibkan pelajarnya untuk magang selama 6 bulan. Nanti, setelah 6 bulan, ada lagi angkatan berikutnya yang mengisi slot tersebut. Mereka nggak harus dibayar di atas UMP, tetapi cukup uang saku,” cerita Ikhsan.

“Saya khawatirnya ketika nanti diperpanjang jadi 3 semester, perusahaan atau pengusaha nakal jadi punya waktu lebih panjang untuk mengeksploitasi mereka,” lanjutnya. Uang saku itu pun tak diatur secara lebih detail oleh peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut — sehingga besarannya dapat ditentukan secara sepihak oleh perusahaan.

Para serikat buruh telah lama menolak peraturan ini. KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), misalnya, sempat hendak menggugat peraturan ini ke Mahkamah Konstitusi. KSPI menilai Permenaker No. 36 Tahun 2016 lebih parah merugikan buruh dibandingkan dengan peraturan sistem tenaga kerja kontrak.

Magang Sumber Pengalaman?

Program magang awalnya dimanfaatkan bagi para fresh graduates atau lulusan baru untuk mendapatkan pengalaman kerja, begitulah kata koordinator program ILO (International Labour Organization) Gianni Rosas. “Tujuan utama pemagangan adalah untuk memberikan pengalaman kerja bagi orang-orang muda yang kerap terjebak dalam situasi ‘Catch 22’: mereka tak bisa mendapatkan pengalaman kerja karena mereka belum pernah bekerja, dan tak bisa mendapatkan kerja karena mereka belum punya pengalaman,” kata Rosas.

Menurut ILO, magang seharusnya memenuhi beberapa persyaratan: kegiatan utamanya mesti berupa pelatihan, fungsi kerjanya tidak menggantikan pekerja tetap, dan perusahaan tidak mendapatkan keuntungan langsung dari peserta magang.

Namun, setelah krisis global, semakin banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya secara murah, bahkan tak dibayar, dengan dalih magang. Bahkan, terdapat istilah “peserta magang profesional”, yaitu pekerja yang tidak juga mendapatkan kerja dan terjebak dalam siklus magang berkepanjangan.

Hasil laporan Pay As You Go? oleh survei YouGov menunjukkan bahwa lebih dari 50% anak magang di Inggris tidak dibayar. Sembilan dari 10 industri media yang bergerak di bidang kesenian, fashion, teater, dan televisi juga tidak membayar peserta magangnya. Sementara itu, hampir 70% peserta magang mesti bergantung pada keluarga dan orang tua untuk menanggung biaya hidup. Ada pula peserta magang yang berakhir mencari kerja sampingan agar bisa magang.

Sir Peter Lampl, pendiri Sutton Trust dan ketua Education Endowment Foundation, mengatakan bahwa praktik magang tak berbayar hanya mampu ditempuh oleh orang-orang kelas menengah ke atas. Sementara itu, kelas-kelas pekerja semakin kehilangan kesempatan dan akses untuk menaikkan jenjang karier dan memperbaiki kondisi ekonomi. “Magang tak dibayar membuat orang-orang kelas menengah ke bawah tak bisa mengakses karier di sektor-sektor yang banyak diidamkan, seperti jurnalisme, fashion, kesenian, dan hukum,” kata Lampl, dikutip The Guardian.

Menurut Ikhsan, Kemendikbud mesti mengetahui dan memahami permasalahan sistem pemagangan di Indonesia sebelum membuat aturan. Kemendikbud juga diharapkan berkonsultasi dengan sektor ketenagakerjaan dan serikat pekerja.

“Jangan hanya mempertimbangkan kebutuhan dari Kemendikbud saja, tapi juga harus melihat dari sektor lain seperti sektor tenaga kerja. Harus mempertimbangkan juga suara-suara dari serikat pekerja terkait jalannya praktik pemagangan selama ini. Agar jangan sampai ada yang melegalkan praktik upah murah tadi,” tegas Ikhsan.

Share: Semrawut Sistem Pemagangan di Indonesia