Harry Potter dan dunia sihirnya penuh keajaiban: belajar di sekolah sihir, merapal mantra dan meracik ramuan, menerbangkan benda-benda, hingga bertemu dengan makhluk-makhluk gaib. Semesta fantasi itu mempesona pembaca-pembacanya hingga tak sedikit orang yang terobsesi untuk mencari tahu apakah mereka bagian dari Gryffindor, Slytherin, Ravenclaw, atau Hufflepuff. Tak sedikit pula yang berharap tiba-tiba mendapat undangan masuk Hogwarts.
Namun, dunia sihir tak selalu berarti ingar bingar kegembiraan. JK Rowling menggambarkan permasalahan-permasalahan yang familiar dengan realitas: karakter Voldemort mengingatkan kita kepada Hitler yang ingin membasmi seluruh keturunan Yahudi untuk mendapatkan “keturunan murni.” Hermione yang diejek sebagai “darah lumpur” mengingatkan kita pada rasisme yang kerap dialami oleh minoritas.
Lewat bukunya, JK Rowling seperti menunjukkan keberpihakannya pada orang-orang yang dipinggirkan oleh sistem. Ia membahas perisakan anak-anak di sekolah, perbudakan lewat Dobby dan karakter-karakter nonmanusia lain, perumpamaan untuk HIV/AIDS lewat karakter Remus Lupin yang terkena lycanthropy, dan sebagainya.
Namun, fantasi itu jadi sekadar fantasi ketika JK Rowling terang-terangan bahwa menunjukkan dirinya anti-transgender. “Berpakaianlah sesukamu. Panggil dirimu dengan apapun yang kamu suka. Tidur dengan siapapun yang mau denganmu. Hiduplah dengan aman dan damai. Tapi memaksa perempuan untuk keluar dari pekerjaannya karena menyatakan bahwa seks itu nyata? #AkuBersamaMaya,” kata JK Rowling lewat Twitternya pada 19 Desember lalu.
JK Rowling sedang membela Maya Forstater. Forstater memprotes keputusan pemerintah UK yang membolehkan seseorang menentukan gender mereka sendiri secara hukum. Forstate tidak setuju jika trans perempuan (transpuan) boleh menganggap diri perempuan. Sebab, menurutnya, menyamakan transpuan dengan perempuan sama saja dengan membiarkan laki-laki mencederai hak dan ruang privat perempuan. Pernyataan ini membuat Forstate dikeluarkan dari pekerjaannya.
JK Rowling telah lama dicurigai penggemarnya sebagai seorang TERF (Trans-exclusionary Radical Feminist): feminis yang tidak mengakui transgender, khususnya transpuan. Mereka tidak percaya transpuan berhak menganggap diri dan diperlakukan sebagaimana perempuan. Istilah ini muncul pertama kali pada 2008, dan gerakannya menuai banyak dukungan, terutama di UK.
JK Rowling ketahuan menyukai atau memfavoritkan twit-twit berbau transfobik, seperti menyebut transpuan sebagai “laki-laki yang memakai baju perempuan (men in dresses)”, menganggap transpuan adalah pemerkosa, dan menganggap model transgender sebagai model bintang porno.
Suatu kali, setelah banyak penggemar JK Rowling mengekspresikan kekecewaan mereka, perwakilan JK Rowling berkilah dengan mengatakan bahwa ia telah ceroboh menggunakan handphone-nya dan salah memencet tombol. Namun, setelah memberikan pernyataan tersebut, JK Rowling secara konsisten tetap memfavoritkan konten-konten kebencian pada transpuan.
Pada Juni 2018, akun Twitter JK Rowling mengikuti akun Magdalen Berns. Berns terkenal menyebarkan pesan-pesan anti-transpuan yang sarat kebencian dan bernada agresif. “Kalian (transpuan) bukan perempuan. Kalian adalah laki-laki yang hasrat seksualnya terpancing ketika diperlakukan sebagai perempuan. Opresi yang kami (perempuan) alami bukanlah sebuah fetish, you pathetic sick fuck,” kata Berns. Akun Twitter-nya telah diblokir oleh pihak Twitter pada November 2018 lalu karena menyebarkan pesan kebencian dan melakukan misgendering.
Selain lewat media sosialnya, JK Rowling lewat novelnya The Silkworm juga menggambarkan karakter transpuan secara negatif. Karakter utama protagonisnya, Cormoran Strike, menangkap Pippa, si transpuan, yang berusaha menusuk Strike. Strike kemudian mengancam akan memenjarakan Pippa, di mana ia akan diperkosa atau mengalami “prison rape”. Pippa juga digambarkan sebagai karakter yang agresif dan tidak stabil.
Ragam Kontroversi JK Rowling
Novel Harry Potter dianggap oleh penggemar-penggemarnya sebagai ruang aman bagi orang-orang yang kerap dikucilkan, diintimidasi, dan dipinggirkan karena identitasnya. JK Rowling pernah menuliskan twit yang mengonfirmasi keberadaan penyihir-penyihir LGBT. “Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari Harry Potter: tak ada orang yang pantas hidup dalam kloset [tidak bisa berterus terang tentang dirinya],” kata JK Rowling.
Terlepas dari itu, JK Rowling juga kerap diliputi kontroversi. Ia pernah mengonfirmasi bahwa Dumbledore adalah seorang homoseksual. Namun, hingga film-film prekuel Harry Potter, Fantastic Beasts and Where to Find Them (2016) dibuat, identitas Dumbledore tidak pernah benar-benar dikuak. Rowling dianggap telah melakukan queerbaiting demi menjangkau penggemar-penggemar queer-nya.
Salah satu pemeran utama Fantastic Beasts and Where to Find Them adalah Johnny Depp. Depp diduga telah melakukan kekerasan rumah tangga terhadap mantan istrinya, Amber Heard. Namun, JK Rowling membela Johnny Depp karena, “berdasarkan pemahaman kami terhadap situasi yang terjadi, saya dan para pembuat film tetap senang Johnny bermain sebagai karakter utama di film,” tulis JK Rowling di situsnya.
Selain itu, JK Rowling juga pernah dituding rasis. Dalam Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald (2018), hewan buas peliharaan Voldemort, Nagini, diketahui adalah seorang perempuan Asia yang kena kutukan Maledictus. Kutukan ini membuatnya akan bertransformasi menjadi ular selamanya. Nagini, sebagai perempuan Asia, dijadikan “peliharaan” oleh Voldemort yang adalah orang kulit putih. Keputusan ini dirasa semakin tidak sensitif mengingat hampir tak ada karakter Asia lain yang berperan dalam film ini.
Kisah dan nama Nagini juga dikatakan diadaptasi dari mitologi Indonesia dan kata “Naga”. Padahal, film Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwad berlatar waktu 1927, sementara Indonesia belum memproklamasikan kemerdekaannya dan belum bernama Indonesia pada saat itu. Mitologi Naga pun sebenarnya berasal dari India, yang kemudian turut dikenal di Hindia Belanda lewat orang-orang India yang datang ke kawasan ini untuk berdagang.
Jika ditelusuri ke jalan cerita novel serial Harry Potter sendiri, JK Rowling tak selalu progresif. Bahkan, terdapat esai dan studi yang turut membahas tentang ini. The Mary Sue membahas bagaimana karakter-karakter utama novel Harry Potter didominasi oleh orang kulit putih. “Jika kamu ingin membangun narasi tentang melawan rasisme, mungkin jangan membuat semua karakter utamanya orang kulit putih,” kata penulis Princess Weekes.
Karakter-karakter non-kulit putih seperti Cho Chang, Dean Thomas, Lee Jordan, dan lain-lain memang hadir. Tetapi, mereka selalu jadi karakter sampingan. Sementara seluruh karakter utama yang disebut JK Rowling sebagai “the big seven” adalah orang kulit putih: Harry Potter, Hermione Granger, Ron Weasley, Ginny Weasley, Neville Longbottom, Luna Lovegood, dan Draco Malfoy. Cho Chang, misalnya, hanya sekadar jadi love interest bagi Harry Potter. Elizabeth Hartswich dalam The Odyssey Online mengatakan karakter Cho Chang lebih banyak menangis daripada berbicara di novel.
Kontroversi JK Rowling memang bukan hal baru. Namun, pengakuan baru JK Rowling ini tetap membuat kaget dan kecewa. Penggemar-penggemar JK Rowling mengekspresikan kekecewaan mereka setelah ia menuliskan twit bernada transfobik itu. “Sebagai laki-laki gay yang merasa aman di Hogwarts ketika masih kecil, mengetahui orang-orang trans tak bisa mendapatkan itu membuatku patah hati,” kata seorang penggemar.