Di tahun ke-32 pemerintahan Soeharto terhadap Indonesia (1998), krisis ekonomi melanda negara ini. Harga barang-barang pokok naik, rakyat mengalami kesulitan memenuhi kebutuhah sehari-hari, dan pemerintah saat itu terlihat acuh terhadap penderitaan rakyatnya sendiri. Akhirnya, anak-anak muda menuntut perubahan. Presiden Soeharto dituntut turun dari tahtanya sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Berita mengenai tuntutan mahasiswa supaya Soeharto turun ramai di mana-mana. Gambar mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR di Senayan masih menjamur di berbagai platform media hingga hari ini. Protes tersebut juga terjadi di banyak daerah lain di Indonesia dengan tuntutan yang sama.
Tahun 2019 ini, 21 tahun setelah Orde Baru berakhir, keadaan politik Indonesia akhirnya menuntut mahasiswa dan lapisan masyarakat lain untuk turun ke jalan lagi. Mereka yang tinggal di luar ibu kota juga melakukan aksi massa di titik vital kota masing-masing, seperti gedung pusat pemerintahan mereka.
Berbagai media mengabarkan bagaimana aksi ini berlangsung dan apa yang mereka tuntut dalam demonstrasi ini. Beda dari 1998, aksi turun ke jalan yang memuncak pada 24 September 2019 kemarin menuntut berbagai RUU dan UU yang lebih menyangkut kehidupan privat dan bernegara. Sebut saja pasal-pasal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), pengesahan UU KPK, dan beberapa RUU baru lain yang menjadi headline di banyak media.
Pergerakan mahasiswa minggu lalu semacam membuktikan bahwa aksi protes massa tidak hanya terjadi karena masalah ekonomi, tapi juga karena situasi sosial dan politik terkini. Sebenarnya ini mirip dengan aksi turun ke jalan para mahasiswa di 1998. Kala itu, mereka juga memiliki tuntutan terkait beberapa isu politik, seperti pelaksanaan otonomi daerah dan pemerintahan yang bersih dari praktik KKN.
Yang jadi pertanyaan, bukankah 21 tahun itu waktu yang cukup sebentar? Masak dalam waktu sebentar para mahasiswa sudah harus turun ke jalan lagi demi membela kepentingan banyak orang Indonesia?
Bisa dibilang penyebab mahasiswa kembali turun ke jalan itu karena tiba-tiba para anggota DPR terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba mereka jadi giat bekerja dan membahas beberapa RUU di akhir masa kerjanya. Bahkan dikabarkan ada beberapa RUU yang secara diam-diam dibahas bersama dengan pemerintah.
Padahal, apa yang mereka kerjakan dengan sistem kebut satu bulan (SKS) ala mahasiswa ini bisa mempengaruhi hidup kita semua. Contoh saja, RUU Ketenagakerjaan Pasal 100 yang rencananya akan menghapus fasilitas kesehatan. Draf RUU tersebut memang sempat dibantah Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, tapi tentunya beritanya tetap harus dikawal.
Belum lagi UU KPK baru yang mendadak disahkan pada 17 September kemarin. Segala bentuk keberatan dari banyak pihak seakan tidak diindahkan pemerintah. Sementara itu, dalam sebuah negara, semestinya negara dan rakyat sebagai konstituen dari elemen superstructure bekerja bersama membangun consensus untuk hidup bernegara.
Aksi turunnya mahasiswa ke jalan setelah 21 tahun seakan membuktikan dua hal. Pertama, rakyat merasa tidak ada yang bisa mewakili suara mereka kecuali mereka sendiri, seperti kata Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau. Padahal, di tahun ini juga, para wakil rakyat itu juga berlomba merebut suara hati rakyat di Pemilu 2019. Namun satu bulan terakhir ini mereka terlihat amat akur di DPR. Seakan tidak ada oposisi di dalam sana. Di akhir periodenya, beberapa rakyat merasa kalau suara mereka tidak digubris oleh pemerintah.
Kedua, bisa jadi Indonesia sedang mengalami apa yang dikatakan Samuel Huntington sebagai two turnover test. Perlu diingat bahwa Indonesia sempat mengalami masa yang tidak demokratis selama 32 tahun. Dalam teori Huntington ini, sebuah negara non-demokratis yang berubah menjadi demokratis mengalami dua jenis ujian.
Sebagai ujian awal, negara itu harus percaya bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang tepat dan diinginkan warganya. Pastinya negara tersebut akan mengalami masa transisi. Berbagai gejolak datang dan harus dihadapi. Mungkin kalau kita berkaca dari Indonesia, bisa jadi isi RKUHP yang dirasa mengancam kebebasan berekspresi menjadi gejolak itu.
Lebih lanjut, Huntington juga menyebutkan kalau negara tersebut bisa mengalami dorongan untuk kembali ke sistem yang lama. Penyebabnya, ia melanjutkan, karena ada beberapa kejadian yang tidak sesuai harapan dan sistem demokrasi dinilai tidak lebih baik dari sistem sebelumnya. Penilaian bahwa “demokrasi dinilai tidak lebih baik dari sistem sebelumnya” juga bisa jadi disebabkan adanya “aktor-aktor” dari sistem lama yang masih berperan dalam pemerintahan sekarang.
Kemudian, ketika kembali pada sistem pemerintahan yang lama, bisa jadi akan timbul kesadaran bahwa sistem demokrasi tetap menjadi sistem yang lebih baik. Kabar gembiranya, jika memang timbul kesadaran seperti itu, sistem demokrasi yang kembali diadopsi bisa bekerja lebih kuat di negara itu.
Pertanyaannya, apakah Indonesia sedang “galau” dengan sistem demokrasi yang dianutnya?
Di penghujung September sekaligus masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019, dikabarkan bahwa tidak akan ada lagi pengesahan UU baru. Masa kerja yang tinggal sedikit lagi menjadi alasan pemerintah. Namun, perjuangan belum selesai.
Selasa, 1 Oktober 2019, bukan hanya dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pagi tadi, anggota DPR periode 2019-2024 dilantik. Sementara itu, para aparat keamanan menjaga gedung tersebut dengan super ketat dari luar pagar hijaunya yang kokoh.
Para anggota DPR baru itu memilliki tugas menyelesaikan RKUHP, yang menjadi salah satu alasan mahasiswa turun ke jalan pada 24 September lalu. Mereka jadi wakil rakyat periode ke-14 yang harus mengesahkan rancangan kitab hukum ini. Dalam satu kali sidang, RKUHP bisa langsung sah jika tidak ada keberatan dari para anggota DPR baru.
Namun, sebelum disahkan, mungkinkah suara rakyat yang kemarin turun ke jalan diindahkan perwakilannya yang baru?