Landasan untuk percakapan apa pun ihwal kewarganegaraan Indonesia adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau disingkat UU Kewarganegaraan. Selain UU Kewarganegaraan, perkara kewarganegaraan juga diatur lebih jauh dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Indonesia. Kami merangkum uraian dari UU Kewarganegaraan dan PP Nomor 2 Tahun 2007 yang dibahas Hukum Online serta portal informasi resmi tentang Indonesia, Indonesia.go.id.
Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah persoalan kewarganegaraan ganda. Indonesia, seperti Jepang, Belarusia, Kuba, dan Mozambik, tidak mengakui kewarganegaraan ganda. Artinya, semisal kamu mendapat kewarganegaraan di negara lain, kamu otomatis kehilangan status sebagai warga negara Indonesia (WNI). Meskipun begitu, perubahan ini tak mesti permanen. PP Nomor 2 Tahun 2007 juga menguraikan bagaimana kamu dapat kembali menjadi WNI.
Posisi Indonesia terkait kewarganegaraan ganda diuraikan dalam Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan. Namun, ada poin penting lain di sana. Selain tak mengakui status bipartide atau kewarganegaraan ganda, Indonesia juga tidak mengakui apartide atau status tanpa kewarganegaraan. Artinya, kamu harus menjadi warga negara lain sebelum melepas status sebagai WNI.
Ada beberapa jalur agar kewarganegaraan Indonesiamu lepas secara otomatis. Pertama, kamu dapat bergabung dalam dinas tentara asing tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Presiden Republik Indonesia. Kamu juga bisa masuk dalam kedinasan di negara asing dengan jabatan yang, kalau di Indonesia, hanya boleh diisi oleh WNI. Kewarganegaraan Indonesiamu juga akan rontok apabila kamu tidak diwajibkan, tapi turut serta dalam pemilihan yang bersifat ketatanegaraan di suatu negara asing, misalnya Pemilu.
Namun, semua pengecualian di atas tentu langka. Nyaris mustahil menembus angkatan bersenjata atau turut dalam Pemilu Legislatif di negara lain apabila status kewarganegaraanmu masih WNI. Rute yang paling lazim ditempuh adalah dengan berimigrasi ke negara lain, tinggal di sana untuk jangka waktu tertentu, dan mengajukan diri untuk menjadi warga negara.
Usai memenuhi syarat dan memulai proses naturalisasi di negara tersebut, kamu perlu mengajukan surat permohonan pindah kewarganegaraan kepada Kementerian terkait yang akan menembuskan surat permohonanmu ke Presiden. Kamu dapat menempuh proses melepas status WNI ini apabila kamu telah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Daftar lengkap berkas yang perlu kamu siapkan untuk diserahkan ke Kementerian dapat kamu konsultasikan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) terdekat atau dibaca lewat tautan ini.
Hampir semua negara di bumi–termasuk Indonesia–menegaskan prasyarat yang mirip untuk warga negara asing yang mengajukan diri untuk dinaturalisasi. Pertama, individu tersebut harus sudah tinggal di negara yang bersangkutan selama jangka waktu tertentu. Di Jerman, misalnya, kamu harus sudah tinggal di sana selama paling tidak delapan tahun berturut-turut, serta memiliki izin tinggal yang sesuai. Adapun di Islandia setidaknya tujuh tahun, kecuali kamu menikah atau tinggal bersama dengan seorang warga negara Islandia selama minimal tiga tahun.
Kedua, kebanyakan negara mewajibkanmu untuk menunjukkan bahwa kamu mampu berbicara dalam bahasa resmi mereka, memiliki pengetahuan baik tentang konstitusi dan hukum negara tersebut, serta mengetahui sejarah serta budaya mereka. Hal ini diwajibkan untuk memastikan bahwa kamu dapat berintegrasi dengan masyarakat lokal. Ketiga, kamu seringkali diwajibkan untuk memiliki pekerjaan atau paling tidak sumber daya finansial yang memadai. Dan terakhir, kamu harus bersih dari persoalan hukum di negara asalmu.
Tentu saja, keempat aturan tersebut tidak mutlak dan negara-negara tertentu memiliki prasyarat lain yang unik. Di Mongolia, misalnya, kamu wajib menyertakan biografi tiga generasi keluargamu–biografimu sendiri, orang tuamu, dan kakek-nenekmu. Di Bhutan, lamaran kewarganegaraanmu akan buyar apabila kamu memiliki rekam jejak mengkritik atau mengagitasi massa untuk menggulingkan pemerintah di negara asalmu. Sementara di Lithuania, kamu mustahil mendapat kewarganegaraan apabila kamu terbukti pernah memerintahkan genosida.
Namun, hanya segelintir orang yang memiliki kapabilitas finansial, jejaring, serta sumber daya untuk berpindah ke negara lain, menetap di sana selama beberapa tahun, serta mengajukan diri berpindah kewarganegaraan melalui jalur umum.
Saat ini juga, puluhan juta orang di seluruh dunia mengungsi atau mencari suaka ke negara lain. Data dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengungkapkan bahwa saat ini, terdapat 25,9 juta pengungsi dan 3,5 juta pencari suaka di seluruh dunia. Secara global, jumlah pengungsi diperkirakan akan terus menanjak. Setiap hari, UNHCR memaparkan bahwa 37 ribu orang terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya akibat peperangan atau diskriminasi.
Hak seseorang untuk mengungsi atau mencari suaka apabila ia merasa kehidupannya terancam di negara asalnya dijamin oleh Pasal 14 di Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan dipertegas oleh Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi atau Konvensi 1951 yang dirumuskan bersama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah diratifikasi oleh 145 negara.
Pasal 1 Ayat 2 di Konvensi 1951 mendefinisikan pengungsi sebagai seseorang yang minggat dari negara asalnya akibat ancaman persekusi, konflik, kekerasan, atau situasi lain yang menggoyahkan keamanan umum, sehingga individu tersebut tak merasa aman di bawah perlindungan negara asalnya dan membutuhkan perlindungan internasional. Ancaman ini termasuk ancaman kekerasan, penangkapan, atau diskriminasi akibat ras, kepercayaan, posisi politik, kewarganegaraan, atau karena individu tersebut adalah bagian dari kelompok sosial tertentu yang menjadi korban diskriminasi.
Landasan sekaligus pasal paling kunci dalam Konvensi 1951 adalah Pasal 33 tentang non-refoulement. Melalui Pasal tersebut, negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 tidak diperkenankan mengembalikan seorang pengungsi ke situasi di mana hidup sang pengungsi terancam. Artinya, setelah kamu memulai proses pengajuan pengungsian atau suaka, hakmu dilindungi oleh Konvensi 1951 dan negara-negara yang terikat oleh kesepakatan tersebut.
Prosedur pengajuan status pengungsi atau permintaan suaka berbeda di tiap negara. Namun, banyak yang memiliki kesamaan. Misalnya, hampir semua negara mewajibkan kamu untuk meminta suaka setelah tiba di negara tersebut melalui port of entry yang diakui negara tersebut–perbatasan negara, bandara, atau pelabuhan. Ketika kamu menemui petugas imigrasi di port of entry tersebut, kamu dapat menyatakan niatanmu untuk menjadi pengungsi atau mencari suaka, dan memulai proses tersebut.
Setelahnya, petugas imigrasi akan memeriksa latar belakangmu dan memverifikasi identitasmu untuk memastikan bahwa kamu benar-benar seorang pengungsi dan kamu tidak berpotensi mengancam keamanan negara. Usai proses verifikasi ini, baru kamu dapat memulai proses klaim. Di Kanada, misalnya, kamu akan diarahkan ke Dewan Imigrasi & Pengungsian (IRB) dan menunggu jadwal hearing. Setelah menyampaikan situasimu dan menunggu pertimbangan petugas IRB, kamu dapat memperoleh suaka atau status pengungsi.
Tata cara pengajuan status pengungsi atau permintaan suaka di berbagai negara bisa kamu temukan di laman bantuan situs resmi UNHCR. Untuk beberapa negara, UNHCR juga menyediakan referensi mitra lembaga swadaya masyarakat, badan amal, dan lembaga lain yang dapat memberi bantuan psikologis, legal, maupun sumber daya terbatas bagi individu yang mengungsi atau mencari suaka. Adapun flowchart untuk prosedur pengajuan status pengungsi dan suaka di Kanada dapat ditemukan di sini.
Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam 145 negara yang meratifikasi Konvensi 1951. Karena itu, Indonesia tidak wajib melindungi hak-hak pengungsi yang terdampar di teritorinya. Jumlah pengungsi ini pun tak sedikit dan terus meningkat tiap tahunnya. Data dari World Bank menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat 10.793 orang pengungsi yang mengadu nasib di Indonesia. Angka ini naik drastis dari 1.819 pada 2012, 4.270 pada 2014, dan 7.827 pada 2016.
Kondisi yang mereka hadapi pun mengkhawatirkan. Laporan dari The Guardian dan The New York Times menunjukkan bahwa pengungsi yang terdampar di Indonesia ditempatkan di ruang tinggal yang tidak layak. Mereka tidak memiliki akses kepada air bersih, listrik, kamar mandi, bahkan pangan yang rutin. Banyak pengungsi terjebak di pusat imigrasi tersebut selama bertahun-tahun sebelum proses pengajuan pengungsian atau suaka mereka berlanjut. Bahkan, ratusan pengungsi terpaksa tinggal di luar pusat pengungsian akibat tidak mendapatkan ruang. Secara legal, pengungsi tidak dapat bekerja sehingga tabungan mereka terkuras selagi menanti kepastian dari imigrasi.
Hal ini bagian dari persoalan dunia. Amnesty International mengemukakan bahwa saat ini terdapat sedikitnya 1,4 juta orang yang menghadapi ancaman serius kekerasan dan amat rentan di negara asalnya, sehingga harus segera menerima suaka di negara lain. Namun, dari jutaan pengungsi tersebut, kurang dari tujuh persen pengungsi mendapatkan tempat tinggal baru di 2018, atau sekitar 92.400 orang.
Barangkali, sebelum paruh kedua artikel ini menjadi kian relevan dan genting bagi kita, ada baiknya kita mengulurkan tangan kepada pencari suaka yang saat ini juga tengah mengadu nasib di pekarangan kita sendiri. Toh seperti kata Seringai, “Jika kita membiarkan saja, anak kita berikutnya!”