Sukarno, dalam pidato terakhirnya sebagai presiden saat peringatan HUT RI ke-21 pada 17 Agustus 1966, mengingatkan agar kita “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Betapa pentingnya kita memahami sejarah masa silam, tentu untuk meluruskan banyak informasi melenceng di masa kini.
Baru-baru ini, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustadz Tengku Zulkarnain memprotes perubahan nama jalan di Kecamatan Medan Kota, Medan, Sumatera Utara lewat akun Twitter pribadinya @ustadtengkuzul, Minggu (11/08/19). Ia mempertanyakan alasan kenapa Jalan Bogor di Medan diganti menjadi Jalan Tjong Yong Hian?
“Jalan Bogor Medan diganti menjadi Jalan Tjong Yong Hian. Kami ingin bertanya pada Wali Kota Medan dan DPRD Medan apa jasa si Tjong ini atas perjuangan kemerdekaan RI dan terhadap Kerajaan Deli? Dan apa salah Jalan Bogor sehingga mesti kalian ganti menjadi Jalan si Tjong? Jawab!” kicau Tengku Zul.
Jalan Bogor Medan Diganti Menjadi Jalan TJONG YONG HIAN. Kami Ingin Bertanya pada Walikota Medan dan DPRD Medan Apa Jasa si Tjong ini atas Perjuangan Kemerdekaan RI dan Terhadap Kerajaan Deli?
Dan Apa Salah Jalan BOGOR sehingga Mesti Kalian Ganti Menjadi Jalan si-Tjong?
Jawab…! pic.twitter.com/tu7Lk9mhwV— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) August 11, 2019
Protes Tengku Zul mendapat beragam tanggapan, terutama kritik. Meski beberapa warganet sudah memberi penjelasan rinci soal sejarah Tjong Yong Hian, namun, berkali-kali juga ia menanyakan kembali apa kontribusi Tjong. Perdebatan pun tak selesai-selesai hanya karena ia menampik semua jawaban dan tentunya malas membaca sejarah.
Pada awal 1900-an, banyak kontribusi yang diberikan Tjong Yong Hian untuk kota Medan dan itu diakui Pemerintah Hindia Belanda. Kontribusi Tjong untuk Medan di antaranya pernah membangun tempat pemakaman yang layak di kawasan Pulo Brayan, rumah sakit, penampungan tuna wisma, hingga rumah sakit bagi penderita kusta di kawasan Belawan.
Tjong juga membangun tempat ibadah untuk orang-orang Tionghoa. Ia mendirikan Wihara Kuan Tee Bio, Wihara Setia Budi di Jalan Irian Barat, Wihara Tian Hou di Jalan Pandu dan Wihara Kuan Im di Jalan Yos Sudarso.
Bukan cuma itu, Tjong berkontribusi pula membangun Masjid Lama Gang Bengkok. Bersama saudaranya, Tjong A Fie, ia juga ikut menyumbang hingga sepertiga dari total biaya pembangunan Masjid Raya Al Ma’sun di Jalan Sisingamangaraja.
Tjong juga memiliki kepedulian dengan pendidikan, di mana ia bersama adiknya Tjong Yai Hian mendirikan Sekolah Dasar Dun Pen di dekat Wihara Tian Hou. Atas kontribusnya itulah, pada tahun 1904, Tjong diberi penghargaan dengan menamai sebuah jalan dengan nama Jalan Tjong Yong Hian.
Namun, kemudian berubah menjadi Jalan Bogor. Serangkaian dengan Hari Pahlawan tahun 2013, Jalan Bogor digantikan kembali menjadi Jalan Tjong Yong Hian oleh Pelaksana Tugas (Plt) Wali kota Medan Dzulmi Eldin.
Surabaya pernah ramai perihal rencana perubahan nama sebuah jalan. Dalam Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (2005: 555-556), banyak penolakan yang muncul atas rencana Pemerintah Kota Surabaya yang saat itu dijabat Sunarto Sumoprawiro, untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Soekarno-Hatta jelang ulang tahun Surabaya ke-708 tepat pada 31 Mei 2001.
Jelas Pemkot Surabaya sendiri beralasan bahwa rencana perubahan nama jalan itu auntuk menghargai jasa Soekarno-Hatta sebagai Proklamator Indonesia. Mungkin Surabaya adi satu-satunya kota besar yang belum menjadikan Soekarno-Hatta sebagai salah satu nama fasilitas publik. Di Jakarta misalnya, keduanya jadi nama bandar udara internasional, sementara di Makassar jadi nama pelabuhan laut.
Menurut sebagian besar masyarakat Surabaya, nama Darmo punya cerita tersendiri dan bahkan disebut ada dalam Serat Pararaton karya MPU Tantular. Selain itu setidaknya ada beberapa versi soal asal usul dan arti kata Darmo. Misalnya ada yang mengatakan bahwa Darmo adalah nama seorang tuan tanah pribumi yang menjadi penguasa di kawasan itu.
Selain itu, ada yang mengatakan Darmo adalah nama seorang jongos orang Belanda. Atau dalam bahasa Jawa, ada yang mengatakan bahwa Darmo yakni “Darma” yang berarti: kuwajiban, undang-undang, tjandi, kuburan, tempat sutji, dan bapa.
Bahkan masyarakat menyebut sejak zaman Kolonial hingga saat ini, Darmo merupakan jalan dan kawasan yang sangat penting dan strategis. Pada zaman Belanda, jalan ini diberi nama Darmo Boulevard dan kawasan sekitarnya yang luasnya hampir 230 hektar merupakan tempat perumahan elite tempo dulu.
Sebetulnya, upaya untuk menghapus nama Jalan Raya Darmo dan menggantinya dengan nama lain, bukan yang pertama kali terjadi. Pada tahun 1961, berdasarkan keputusan wali kota, kepala daerah Kotapradja Surabaja, tertanggal 13 Maret 1961 nomor 187-k (pembetulan), Jalan Raya Darmo diubah menjadi Jalan Patrice Lumumba.
Diduga, upaya penggantian nama itu untuk menghormati Patrice Lumumba sebagai mantan pemimpin rakyat Congo. Sayangnya, nama jalan baru Patrice Lumumba tak berumur panjang dan bahkan hanya bertahan selama lima bulan.
Lantaran banyaknya protes warga, pada Agustus 1961, Tritunggal Kotapradja Surabaya (komandan Komando Militer Kota Besar, kepala Polisi Inspeksi/Kota Besar Surabaya dan Wali Kota Kepala Daerah Kotapradja Surabaya) mengeluarkan keputusan dan pengumuman untuk mengembalikan nama jalan itu menjadi nama semula yakni Jalan Darmo.
Patrice Lumumba lahir di Ohalua, 2 Juli 1925. Ia merupakan tokoh gerakan politik Congo dan salah seorang pendiri Movement National Congolais (MNC) pada tahun 1958. Dalam pemilihan umum 1960, MNC memperoleh kemenangan besar dan Juni 1960 terbentuk pemerintahan Congo pertama di bawah pimpinannya.
Pemerintahan ini harus menghadapi pemberontakan tentara Congo dan pemisahan Katanga di bawah pimpinan Moise Tsombe (Juli 1960) dan September 1960, Lumumba dibebastugaskan oleh Presiden Kasavubu. Pada Desember 1960 dan Januari 1961, Lumumba ditangkap dan dipindahkan ke Katanga lalu dibunuh pada 13 Februari 1961.
Kematian Lumumba menimbulkan simpati dari dunia termasuk Presiden Sukarno. Semasa pemerintahan Lumumba, Indonesia pernah mengirim pasukan perdamaian ke Kongo (Pasukan Garuda) atas permintaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Untuk itulah pemberian nama Jalan Patrice Lumumba untuk menggantikan Jalan Darmo di Surabaya dapat dimaknai dengan dua hal, yakni sebagai simbol solidaritas dan simbol loyalitas kepada Bung Karno. Sebab kala itu, elite sangat hormat pada Bung Karno, mau berbuat apa saja yang bisa menyenangkan hati beliau. Dalam bahasa Jawa, sikap ini tercermin dari ungkapan “pejah gesang nderek Bung Karno” (hidup mati ikut Bung Karno).
Lebih luas, proses penamaan jalan, menurut Brenda S. A. Yeoh (1996:221), tidak hanya berkaitan dengan arti nama-nama tempat, tetapi juga wujud dari perebutan sosial untuk kontrol atas produksi makna simbolik dalam pembangunan. Untuk itu, simbol-simbol di Kota Surabaya, khususnya nama jalan merefleksikan keseimbangan kekuasaan, dan bagaimana dinamika kekuasaan membawa perubahan pada sebuah simbol.
Pada masa pemerintahan Belanda, proses penamaan jalan-jalan di Kota Surabaya diatur dalam “Verordening regelende het geven van namen aan straten, wegen, pleinen en dergelijke voor het publiek toegankelijke plaat-sen, andere dan die door den Gemeenteraad ziyn vastgesteld” yang ditetapkan pada tanggal 1 Februari 1918 dan diundangkan dalam Javasche Courant tanggal 12 April 1918 No. 30.
Aturan ini tidak memperkenankan kepada masyarakat untuk memberi nama-nama jalan selain yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan kata lain, wewenang pemberian nama jalan berada di tangan Pemerintah Kota lewat penetapan lewat penetapan DPRD.
Pada tahun 1955, Pemerintah Daerah Kota Besar Surabaya menetapkan Perda No. 22 tahun 1955 tentang Pemberian Nama Jalan, namun ketentuan-ketentuannya mirip aturan Pemerintah Belanda pada 1918. 20 tahun kemudian atau tepatnya 3 Juli 1975, Perda No 22 Tahun 1955 itu dicabut dan DPRD Kota Madya Surabaya mengeluarkan Perda tentang Pemberian Nama-nama Jalan, tempat rekreasi, taman, dan tempat serupa untuk umum.
Dalam Perda tersebut, tata cara pemberian nama jalan antara lain diatur seperti berikut ini (Perda. Pemberian 1975:13):
a. Dengan memperhatikan segi sejarah, perjuangan bangsa kepahlawanan dan ciri khas kota;
b. Daerah/tempat yang bersangkutan belum ada perencanaan detailnya;
c. Daerah/tempat yang bersangkutan telah tumbuh perumahan, prasarana serta kedudukan tanahnya sah;
d. Adanya kehendak dari masyarakat, agar kepala daerah menetapkan nama-nama kepada jalan, tempat rekreasi, taman dan tempat serupa untuk umum di daerah/tempat yang bersangkutan.
Dalam konteks ini, meski kewenangan perubahan dan pemberian nama jalan berada pada Pemerintah Kota dan dewan, masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu sering mengajukan usul perubahan dan pemberian nama sesuai dengan pertimbangan mereka. Dalam beberapa kasus, usul dari masyarakat kadang-kadang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, atau justru ditolak.
Pada tahun 1953 misalnya, panitia 17 Agustus 1953 mengajukan usul kepada Kota Besar Surabaya (KBS) agar nama Jalan Pemuda diganti dengan nama Jl. Pahlawan dan nama Jalan Pahlawan diganti dengan nama Jalan Merdeka. Atas usul pertama, DPD tidak keberatan, tetapi usul kedua tidak dikabulkan.
Sebaliknya, DPD mengajukan usul agar Jalan Pahlawan dipergunakan lagi nama aslinya, yakni Jl. Simpang dengan alasan nama itu masih umum dipakai, misalnya Rumah Sakit Umum Pusat Simpang, Taman Simpang, Simpang Lonceng, Simpang Maxim, dan sebagainya. Usul DPD ini telah disepakati oleh Panitia PU dan Pembangunan dalam rapatnya pada tanggal 8 September 1953.
Di Jakarta, pada awal 2018 lalu, Gubernur DKI Anies Baswedan batal mengganti Jl. Mampang Raya, Jakarta Selatan, menjadi Jl. Jend Abdul Haris Nasution yang merupakan usulan dari Ikatan Keluarga Nasution. Hal itu lantaran muncul reaksi penolakan dari kalangan sejarawan dan warga Mampang.
Saat itu, Anies menyebut penghormatan terhadap Jenderal Nasution yang namanya ditabalkan menjadi nama jalan bisa dilakukan di daerah lain. Namun, yang jelas, perubahan atau pergantian nama sebuah jalan bisa urung kalau ada alasan yang kuat dan desakan warga yang ingin mempertahankannya seperti yang terjadi di Surabaya.
Memang tak ada salahnya kalau Ustadz Tengku Zulkarnain bertanya seputar alasan di balik pergantian nama Jalan Bogor menjadi Jalan Tjong Yong Hian. Namun, kalau ngotot dan menolak membaca sejarah yang sudah disarankan banyak orang kepadanya, tentu saja salah.