Isu Terkini

Sistem Sekolah Negeri dari Masa ke Masa

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi masih menjadi polemik di masyarakat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi meminta masyarakat untuk menerima sistem zonasi PPDB ini. Sistem ini dinilai mampu menghapuskan label sekolah favorit yang sejak dahulu sudah tertanam di beberapa sekolah negeri. Harapannya, sistem zonasi dapat mewujudkan pemerataan pendidikan.

“Masyarakat ada yang memang belum tersosialisasi dan ada yang pura-pura belum tersosialisasi karena dia masih berharap keinginannya bisa terpenuhi. Karena itu, saya mohon masyarakat mulai menyadari bahwa namanya era sekolah favorit itu sudah selesai,” tutur Muhadjir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/6). Ia pun melanjutkan, “Sekolah favorit yang homogen sudah enggak ada lagi, sekarang relatif heterogen.”

Dengan sistem zonasi, penerimaan peserta didik tidak lagi berdasarkan rapor atau nilai ujian nasional. Sistem zonasi memastikan bahwa seorang anak tidak harus mengejar sekolah yang dia harapkan karena setiap sekolah diasumsikan memiliki kualitas yang sama.

Orde Baru: Sekolah Percontohan

Pada masa Orde Baru, cara yang digunakan untuk memajukan pendidikan Indonesia adalah dengan membangun sekolah-sekolah percontohan. Harapannya, sekolah-sekolah percontohan di berbagai daerah ini dapat menjadi sekolah yang secara kualitas dapat dijadikan acuan oleh sekolah-sekolah lain.

Salah satu contoh sekolah percontohan adalah SMA 68 Jakarta. Sejak didirikan pada 29 Agustus 1981, sekolah ini dicanangkan menjadi standar bagi semua sekolah setingkat di DKI Jakarta. Bahkan, untuk menunjukkan keseriusannya bahwa SMA 68 Jakarta adalah bagian dari program sekolah percontohan rezim Orde Baru, sekolah ini diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto.

Demi kesempurnaan sistem, siswa diseleksi berdasarkan nilai UN/Ebtanas. Kebijakan ini menanamkan satu pola dalam benak siswa-siswi Indonesia: berjuang mendapatkan nilai UN terbaik agar masuk sekolah favorit.

Reformasi: Sekolah Standar Internasional

Ada yang tidak berubah: sistem meritokrasi berbasis nilai UN masih dijadikan acuan. Bedanya, di era Reformasi, ada dua jenis sekolah baru yang diterapkan di sekolah negeri: Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Dua jenis sekolah ini mulai diterapkan pada 2007. Berbeda dari sekolah unggulan, dua jenis standarisasi internasional ini tidak lagi hanya berpatokan pada nilai Ujian Nasional (UN). Mereka menerapkan ujian masuk yang nilainya dikombinasikan dengan nilai UN para peserta didik.

Secara keseluruhan, ada sembilan poin yang membedakan sekolah RSBI dan SBI dengan sekolah negeri biasa. Pertama, secara akreditasi, sekolah RSBI dan SBI mendapatkan akreditasi A dan diakreditasi juga oleh negara OECD. Kedua, kurikulumnya disetarakan dengan negara-negara OECD. Ketiga, proses belajar dan mengajar menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang lebih mutakhir. Keempat, evaluasi penilaian menggunakan nilai Ujian Nasional yang diperkaya dengan evaluasi dari negara-negara OECD. Kelima, guru sains dan matematika harus mampu mengajar menggunakan bahasa Inggris. Keenam, kepala sekolah harus mampu berbahasa Inggris dan memiliki jaringan internasional yang kuat. Ketujuh, fasilitas dan sumber daya harus berstandar internasional. Kedelapan, menjalin hubungan kerja sama dengan sekolah internasional di luar negeri. Terakhir, menerapkan standar pembiayaan pendidikan nasional.

RSBI dan SBI Dihapuskan Demi Sekolah Negeri yang Lebih Setara

Meski RSBI dan SBI dianggap mampu mendorong kualitas pendidikan publik yang lebih baik, pro dan kontra mengenai potensi kesenjangan yang ditimbulkan membuat sistem ini akhirnya dihapuskan. Semua sekolah pun dikembalikan ke status awalnya: Sekolah Standar Nasional (SSN). Semua sekolah praktis hanya menggunakan nilai UN sebagai syarat masuk.

Saat ini, Kemendikbud di era Presiden Jokowi melihat bahwa sistem seleksi berdasarkan nilai UN menimbulkan kesenjangan yang tak terelakkan. Sistem zonasi pun diterapkan sebagai solusi. Harapannya, anak-anak pintar tidak berkumpul di sekolah-sekolah tertentu, tetapi tersebar di semua sekolah.

Share: Sistem Sekolah Negeri dari Masa ke Masa