Manusia akan selamanya bergantung kepada udara, sebab oksigen terkandung di dalamnya merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup. Untuk itu, kualitas udara harus tetap dijaga. Apa jadinya kalau udara mulai tak ramah bagi manusia, berkat polusi, misalnya?
Tengok saja Jakarta dengan masalah volume kendaraannya, yang berefek mencemari udara. Udara Jakarta tak ramah bagi kesehatan penghuninya. Data AirVisual menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia.
Rabu, 26 Juni 2019 pukul 08.33 WIB, AirVisual menyebutkan bahwa Air Quality Index (AQI) Jakarta mencapai nilai 208, dengan status unhealthy, Sebelumnya pada Selasa, 25 Juni 2019 pukul 08.00 WIB, AQI Jakarta mencapai 240 dengan konsentrasi PM 2.5 sebesar 189.9 ug/m3 dan berada pada kategori sangat tidak sehat (very unhealthy).
Perlu diketahui, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Angka kualitas udara 0-50 artinya baik, 50-100 sedang, 100-200 tidak sehat, 200-300 sangat tidak sehat, 300-500 berbahaya. Sementara itu, ada enam polutan kualitas udara yang paling umum yakni PM 2.5, PM10, Ozon, NO2, SO2, dan CO.
Polutan terburuk dalam pengelompokan itu adalah PM 2.5, yang hari-hari ini jadi sorotan. Sayangnya, di Indonesia sendiri masih banyak stasiun pengukuran kualitas udara yang tidak mengukur PM 2.5, PM10, Ozon, NO2, SO2, dan CO. Padahal untuk melaporkan kualitas udara dengan cara ideal, dibutuhkan pusat pengukur keenam polutan itu dalam waktu bersamaan.
Banyak stasiun pengukuran ISPU di tanah air ternyata hanya mengukur polutan PM10, CO, atau SO2, dan bukan PM 2.5. Meski begitu, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sudah memiliki dua pengukur kualitas udara, Airnow, yang mengukur PM 2.5 di ibu kota.
Apa Itu Partikel PM 2.5?
Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30 nya. PM 2,5 dianggap sebagai partikel udara paling mematikan bagi manusia lantaran sangat mudah memasuki sistem pernapasan. Ia membuat manusia mudah terserang penyakit pernapasan, asma, penyakit jantung, hingga memicu kematian. PM 2,5 dinilai lebih berbahaya dari partikel 10 karena tidak disaring dalam sistem pernapasan bagian atas dan langsung menempel pada gelembung paru, sehingga dapat menurunkan kemampuan paru-paru dalam pertukaran gas.
PM 2.5 terdapat di berbagai tempat, baik itu di luar maupun di dalam ruangan. Di luar ruangan, PM 2,5 terkandung dalam polusi asap hampir semua jenis kendaraan bermotor seperti mobil, truk, bus, dan angkot. Di Jakarta, rasa-rasanya hampir setiap waktu kita menemui itu di sepanjang jalan.
Tak hanya berasal dari asap kendaraan, PM 2,5 juga bisa muncul dari cerobong asap pabrik, asap hasil pembakaran kayu, minyak, batu bara, atau akibat kebakaran hutan dan padang rumput. Sementara untuk di dalam ruangan, PM 2.5 berasal dari asap rokok, asap memasak, asap lilin atau minyak lampu, atau dari asap perapian.
Sebagai catatan, polusi udara baik di dalam maupun luar ruangan dapat saling berkontribusi, karena udara bergerak dari dalam gedung ke luar, dan sebaliknya.
Maka, pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus peka terhadap persoalan polusi udara ini, misalnya dengan menjalankan strategi untuk memperbaiki kualitas udara, serta meningkatkan standar kualitas udara di Jakarta. Tentu fokus utama dalam strategi itu harus meliputi pengurangan polusi dari berbagai sektor penggunaan energi, seperti transportasi, pembangkit listrik, dan industri.
Strategi itu tentu harus dibarengi dengan memperketat beragam regulasi terkait emisi di sektor-sektor tersebut. Tak hanya pemerintah yang harus bergerak, manusia-manusia yang hidup dan tinggal di ibu kota pun harus sadar terhadap kualitas udara di Jakarta.
Apalagi, bagi masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi dan setiap hari bepergian untuk bekerja, tentu akan lebih sering terpapar polusi. Hal-hal kecil yang bisa dilakukan masyarakat ibu kota untuk mencegah ganasnya paparan polusi udara adalah dengan menggunakan masker saat berpergian, memilih transportasi umum, menjaga kebersihan diri, dan mengonsumsi asupan makanan yang mengandung vitamin A, E, dan C serta kaya antioksidan.