Isu Terkini

Kisah Pengembangan Nuklir di Indonesia

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Indonesia memiliki cerita yang cukup panjang tentang nuklir. Pada 1954, pemerintahan Presiden Sukarno membentuk Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet. Tugasnya, menyelidiki kemungkinan jatuhan radioaktif dari berbagai uji coba senjata nuklir di Pasifik. Berselang empat tahun, Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom dibentuk. Lembaga-lembaga itulah yang kemudian menjelma jadi Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN), lembaga penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi nuklir kebanggaan masyarakat Indonesia.

“Awalnya dibentuk untuk menghadapi risiko percobaan bom atom di Pasifik pada era 1950-an,” kata mantan Kepala BATAN Djarot Sulistio Wisnubroto saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (19/6). “Kini kegiatannya meliputi bidang pertanian, kesehatan, lingkungan, energi, dan material science. Semua untuk keperluan damai.”

Pada 1965, reaktor atom pertama yang bernama Triga Mark II diresmikan di Bandung. Kemudian, berturut-turut, dibangun pula beberapa fasilitas penelitian, pengembangan dan rekayasa (litbangyasa) yang tersebar di berbagai pusat penelitian, antara lain Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta (1967), dan Reaktor Serba Guna 30 MW (1987) disertai fasilitas penunjangnya, seperti: fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktif, dan fasilitas-fasilitas nuklir lainnya.

Pada 1997 ditetapkan UU No. 10 tentang Ketenaganukliran yang diantaranya mengatur pemisahan unsur pelaksana kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir (BATAN) dengan unsur pengawas tenaga nuklir (BAPETEN).

Bahan utama yang digunakan dalam energi nuklir adalah uranium. Australia, Kazakhstan, dan Kanada disebut sebagai pemilik sumber daya uranium terbanyak di dunia. Indonesia juga memiliki potensi uranium, sehingga ada beberapa daerah yang dinilai tepat untuk mengembangkan energi nuklir.

Sayangnya, pemanfaatan energi nuklir jadi rencana yang tak kunjung terwujud di Indonesia. Salah satu sebabnya ialah penolakan masyarakat, yang khawatir dengan dampak penggunaan nuklir. Sampai hari ini Indonesia sama sekali tak memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

“Yang kita punya hanya tiga reaktor riset. Di Yogyakarta, Bandung, dan Serpong,” kata Djarot.

Selain reaktor Triga Mark II di Bandung, yang berkapasitas 250 kW saat diresmikan dan kemudian ditingkatkan menjadi 2 MW pada tahun 2000, ada pula reaktor Kartini yang berkapasitas 100 kW sejak 1979 di Yogyakarta dan reaktor MPR RSG-GA Siwabessy yang berkapasitas 30 MW sejak 1987.

Sejauh ini Indonesia memiliki sejumlah daerah yang dianggap berpotensi untuk membangun PLTN. Menurut Djarot, setidaknya ada tiga daerah, yakni semenanjung muria Jepara, Pulau Bangka, dan Kalimantan. “Jepara dan Pulau Bangka sudah kami lakukan feasibility study (FS), sedangkan Kalimantan (Kalbar dan Kaltim) masih pra-FS. Menurut jajak pendapat yang kami lakukan pada 2016, sebanyak 77,53% mendukung pembangunan PLTN.”

Pada era pemerintahan Suharto, tahun 1970-an, PLTN sempat hendak dibangun di Indonesia karena dianggap memiliki masa depan bagus. Kata Djarot, “Kita bergeraknya mirip dengan Korea Selatan. Indonesia dan Korsel sebenarnya sejarahnya mirip. Tapi, akhirnya mereka go nuclear, kita tidak. Mereka langsung jadi negara industri dan maju, kita tidak.”

Djarot mengatakan bahwa nuklir bermanfaat dalam berbagai bidang. “Nuklir bisa untuk pertanian. BATAN sudah menghasilkan 23 varietas padi, kedelai. Lalu untuk kesehatan bisa dimanfaatkan dalam diagnosis dan terapi, misalnya kanker, dan itu yang sampai sekarang banyak dimanfaatkan.”

“Sementara untuk energi, dimanfaatkan dengan keberadaan PLTN. Untuk lingkungan, bisa dipakai untuk analisis polusi udara. Untuk material science, misalnya untuk cat anti radar.”

Share: Kisah Pengembangan Nuklir di Indonesia