Naiknya Trump menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat membawa berbagai macam perubahan, baik bagi kondisi domestik Amerika Serikat maupun dinamika hubungan internasional. Salah satunya terkait perjanjian nuklir 2015 (2015 Iran nuclear deal) yang sempat disetujui oleh Iran dan beberapa negara adidaya dunia.
Dilansir dari New York Times, Iran menunjukkan gelagat untuk melanggar perjanjian tersebut setelah Presiden Trump memerintahkan 1.000 tentaranya turun ke Timur Tengah. Dalam pernyataannya, Organisasi Energi Atom Iran (IAEO) mengungkapkan akan memproduksi uranium kadar rendah di luar batasan yang ditentukan apabila negara-negara Eropa gagal menghentikan sanksi ekonomi Amerika Serikat ke Iran. Organisasi ini juga tidak menutup kemungkinan akan melanggar aturan batasan produksi uranium kadar tinggi yang merupakan bahan dasar produksi senjata nuklir.
Kompleksitas kepemilikan nuklir di Iran berangkat dari kekhawatiran negara-negara adidaya. Secara legal, Iran tidak diizinkan untuk memiliki senjata nuklir. Hanya ada lima negara yang berhak, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris Raya, Prancis, dan Cina. Sedangkan untuk pemanfaatan nuklir di luar senjata, ada batasan jumlah yang harus dipatuhi oleh tiap-tiap negara.
Aturan inilah yang membuat nuklir di Indonesia amat sedikit. Selama ini, Indonesia telah memanfaatkan nuklir dalam skala kecil di bidang medis. Sedangkan untuk bidang-bidang lainnya, seperti energi, jelas jauh panggang dari api.
“Hal ini disebabkan oleh berbagai pertimbangan, di antaranya adalah pertimbangan kesiapan SDM (Sumber Daya Manusia) dan teknologi yang dimiliki Indonesia, serta dampak yang disebabkan oleh PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) terhadap lingkungan sekitar,” ujar Aisha Kusumasomantri, pakar Keamanan Internasional dari Universitas Indonesia, ketika dihubungi Asumsi.co, Rabu (19/6).
Sedangkan dalam konteks senjata, Aisha menilai bahwa uranium yang dibutuhkan untuk menciptakan senjata nuklir merupakan uranium kelas atas yang proses pembuatannya memiliki risiko tinggi. Selain itu, ada tiga faktor lain yang juga menghambat mimpi Indonesia memiliki senjata nuklir.
“Pertama, dari segi teknis, mengembangkan senjata nuklir memerlukan proses yang rumit, standar keamanan yang memadai, serta teknologi tinggi. Selain itu dari segi biaya juga sangat mahal,” tutur Aisha.
Kedua, penggunaan nuklir, yang diatur International Atomic Energy Association (IAEA) selepas Perang Dunia kedua semakin memperkecil kesempatan Indonesia mengembangkan senjata nuklirnya sendiri.
“Ketiga, mempertimbangkan dinamika politik Internasional, membangun senjata nuklir akan menyebabkan security dilemma bagi negara-negara di sekiar Indonesia dan menyebabkan instabilitas kawasan, khususnya Asia Tenggara. Hal ini juga melanggar Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) yang telah diratifikasi negara-negara ASEAN pada 2007,” kata Aisha.
Menurut Aisha, kendati ada beberapa negara seperti Iran dan Korea Utara yang diduga mengembangkan nuklir di luar batasan, tak ada ancaman secara langsung untuk Indonesia. Namun, di sisi lain, tetap ada bahaya yang mengintai Indonesia dari meningkatnya penggunaan nuklir sebagai senjata di kawasan Asia.
“Hal yang perlu diperhatikan dari pengembangan senjata nuklir di negara-negara tersebut lebih mengarah kepada bagaimana kepemilikan senjata nuklir meningkatkan ancaman bagi negara-negara lain di Asia, sehingga muncul kebutuhan untuk bersama-sama meningkatkan kapasitas militernya, atau bahkan melakukan proliferasi nuklir. Hal tersebut akan menganggu stabilitas politik Internasional dan meningkatkan intensitas konflik,” ungkap Aisha.
Aisha merasa bahwa kepemilikan senjata nuklir adalah tanggung jawab besar yang menuntut banyak pertimbangan matang. Selain itu, Indonesia juga tidak sedang menghadapi ancaman keamanan besar. Maka, tidak ada urgensi untuk Indonesia memiliki senjata nuklir.
“Mempertimbangkan risiko bahwa pengembangan senjata nuklir dapat mengganggu stabilitas kawasan, khususnya Asia Tenggara, saat ini Indonesia belum perlu mengembangkan senjata nuklir,” tutup Aisha.