Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat
Yoo…ayoo… kita… Ganjang…
Ganjang… Malaysia
Ganjang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satu-satu!
Pidato berapi-api itu disampaikan Presiden Pertama Indonesia Sukarno saat memproklamirkan gerakan ”Ganyang Malaysia” pada 27 Juli 1963. Isi pidato itu menggambarkan perseteruan Indonesia dan Malaysia. Kala itu, Malaysia yang dahulu dikenal dengan Persekutuan Tanah Melayu ingin menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak menjadi Federasi Malaysia, sehingga memicu kemarahan Sukarno.
Sukarno menilai, Malaysia adalah boneka Inggris, dan langkah tersebut akan mengganggu keamanan di Indonesia. Bentrokan itu merupakan perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah, dan Sarawak yang terjadi antara Indonesia dan Federasi Malaysia pada rentang 1962 hingga 1966.
Dalam pengantarnya untuk buku karya Greg Poulgrain The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan konfrontasi muncul sebagai bentuk gerakan perjuangan antikolonialisme. Pram menyebut Inggris membentuk negara Federasi Malaysia lantaran mereka tidak siap untuk kehilangan sumber uang dari Malaya (nama lama Malaysia), Singapura, dan Kalimantan Utara (Brunei).
Sementara Malaya merupakan penghasil timah, karet, dan minyak kelapa sawit, Brunei adalah tambang minyak dan Singapura merupakan pelabuhan transit yang bisa dijadikan pusat kendali kekuasaan maupun ekonomi.
Rencana Federasi Malaya menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia itulah yang ditentang Sukarno. Proklamator Indonesia itu menganggap pembentukan Federasi Malaysia adalah misi kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Pada 16 September 1963 pemerintah Malaya dan Inggris akhirnya mengumumkan pendirian Federasi Malaysia dengan cakupan wilayah Malaka, Singapura, Sabah, dan Sarawak. Sebetulnya, Filipina dan Indonesia setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia, namun dengan syarat didahului referendum yang diorganisasi oleh PBB.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia VI Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1975:117), Sartono Kartodirdjo, Marwan Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto mengungkapkan bahwa awalnya pembentukan Federasi Malaysia akan dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1963 di London, namun diundur pada tanggal 16 September 1963, di saat PBB belum menyampaikan hasil laporan penyelidikannya mengenai kehendak rakyat di daerah-daerah itu.
Malaysia beralasan bahwa pembentukan federasi itu sebagai masalah dalam negeri, tanpa perlu campur tangan pihak luar. Tindakan itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap Persetujuan Manila atau Manila Accord yakni pernyataan bersama bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilakukan sebelum Federasi Malaysia diumumkan. Meski begitu, Pemerintah Inggris dan Malaya pun tetap memproklamirkan Federasi Malaysia.
Mengetahui hal itu, Sukarno marah karena dianggap melanggar misi PBB dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris. Indonesia dan Filipina pun kompak menolak mengakui Malaysia sebagai negara baru karena pendiriannya tidak sesuai dengan Persetujuan Manila.
Pada hari yang sama, gelombang protes besar dilakukan di depan gedung Kedutaan Besar Malaya di Jakarta. Massa menolak keputusan berdirinya Federasi Malaysia. Esok harinya, demonstrasi itu dibalas dengan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Pada 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Indonesia, lantaran tak terima dengan penolakan keras yang muncul. Tak tinggal diam, pada 23 September 1963, Indonesia juga memutuskan hubungan dagang dengan Malaysia.
Dari pidato Sukarno di Yogyakarta saat itu, ia menegaskan keinginannya untuk menghancurkan Federasi Malaysia. Dengan suara lantang, Sukarno meneriakan seruan “Ganyang Malaysia” di hadapan puluhan ribu rakyat yang disambut antusias dan histeris.
Dalam buku Departemen Penerangan RI: Gelora Konfrontasi Mengganjang Malaysia (1964:277), dijelaskan bahwa pada 25 September 1963, Sukarno mengumumkan secara resmi bahwa akan mengganyang Malaysia. Ia menyatakan bahwa Indonesia tidak hanya menentang tapi juga memerangi dan akan menghancurkan Malaysia.
Kala itu, Sukarno beranggapan bahwa Malaysia adalah neo-kolonialisme, Malaysia adalah proyek Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Malaysia dibentuk oleh Inggris untuk mengepung Indonesia dan Cina yang merupakan dua kekuatan yang menentang kolonialisme dan imperialisme dalam berbagai bentuk.
Indonesia pun menguatkan konfrontasinya terhadap Malaysia dengan memberikan dukungan serta bantuan pada perjuangan Azahari di Kalimantan Utara dalam melawan neokolonialisme Inggris berupa pengiriman sejumlah sukarelawan.
Bentrokan bersenjata terjadi di antara sukarelawan-sukarelawan tersebut dengan tentara Inggris. Pemerintah RI berusaha untuk memanfaatkan forum konfederasi Maphilindo untuk menyelesaikan masalah Malaysia yang menyebabkan buruknya hubungan antara sesama anggota. Untuk itu, Sukarno pada 7-11 Januari 1964 berkunjung ke Filipina untuk melakukan musyawarah.
Musyawarah yang hanya dihadiri oleh Indonesia dan Filipina tersebut, menghasilkan suatu doktrin mengenai pemecahan Asia oleh orang-orang Asia sendiri yang disebut dengan doktrin Soekarno-Macapagal. Namun, masalah pokok yang menyebabkan buruknya hubungan kedua negara belum dapat dipecahkan karena tidak hadirnya perwakilan Malaysia.
Kemudian pada pidatonya pada Apel Besar Sukarelawan Pengganjangan Malaysia di depan Istana Merdeka pada 3 Mei 1964, di hadapan 21 juta sukarelawan, Sukarno berbicara mengenai pidato Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang berisi:
1. Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan membubarkan negara Malaysia. Maksud utama Dwikora sebenarnya bukan bermusuhan dengan serumpun bangsa Melayu, melainkan untuk mengusir Inggris (Imperialisme/Kolonialisme) dari wilayah Asia oleh Melayu sendiri dan membangkitkan semangat nasionalisme, militansi dan patriotisme.
Efantino F dan Arifin SN dalam bukunya Ganyang Malaysia (2009:50), menyebutkan bahwa untuk mendukung Dwikora tersebut, Pemerintah Indonesia membentuk pasukan militer dari sukarelawan. Sasaran gerakan sukarelawan ini adalah sepanjang garis perbatasan Kalimantan Utara dan di Semenanjung Malaya/Riau.
Selama periode 1963-1965 telah dilakukan operasi militer disekitar perbatasan Indonesia-Malaysia. Sasaran yang dicapai dalam pelaksanaan operasi Dwikora dilakukan melalui pengintaian dan pemotretan udara di Malaysia Barat dan Timur serta lautan selatan pulau Jawa dan patroli udara dengan sasaran memeriksa Reaction Time lawan di Sigapura dan Jeseltron serta melakukan penerjunan yang dilakukan oelh anggota PGT AURI di daerah lapis hilir Kuala Lumpur.
Sementara sasaran yang akan diserang meliputi Semenanjung Malaysia yang meliputi Kuala Lumpur, Port Swittenham dan Malaecea, dan pangkalan yang digunakan adalah PAU Medan. Di Singapura sasaran yang akan diserang meliputi wilayah Singapura Kota, Tengah Airfield dan Pelabuhan Singapura. Pangkalan yang digunakan dalam misi penyerangan adalah Pangkalan Tanjung Balai Karimun dan Pulau Penuha.
Lalu, di Kalimantan Utara meliputi Labuhan Airfield, Kuching Kota, dan Tawao Airfield. Pangkalan yang digunakan untuk penyerangan adalah satuan Debsema AURI Bulutambang, satuan Debsema AURI Kemayoran, PAU Iswahyudi dan Pangkalan Udara Waru.
Operasi militer dilakukan sampai ke Singapura dan daratan Semenanjung Malaya. Pada 30 Mei 1964, diberangkatkan satu batalyon sukarelawan Dwikora ke daerah perbatasan. Di sepanjang perbatasan Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan, di mana pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Serawak dan Sabah.
Panasnya hubungan Indonesia-Malaysia membuat PBB meyerukan untuk melakukan KTT dalam usaha perundingan damai antar dua negara serumpun itu. Dalam perjalanannya, usaha yang dilakukan Inggris untuk menjadikan Malaysia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, membuat Sukarno geram dan akhirnya memutuskan Indonesia keluar dari PBB pada 7 Januari 1965. Jelang tahun 1965, gejolak politik di dalam negeri justru kacau dan tidak stabil, menyusul adanya peristiwa G30S dan kudeta terhadap Soekarno. Peristiwa itu pula sekaligus menjadi akhir cerita dari hubungan Indonesia-Malaysia yang kembali dipertahankan oleh Soeharto, yang tentu saja tidak anti kolonialisme.
A Dahana, dkk., dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7 (2013:433), menuliskan bahwa perundingan untuk menyelesaikan konfrontasi diselenggarakan di Bangkok, 28 Mei-1 Juni 1966. Delegasi RI dipimpin oleh Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri RI. Kala itu, delegasi RI dan Malaysia sepakat bahwa masalah Sabah dan Serawak tidak akan dibahas lebih lanjut dan lebih memusatkan pada penyelesaian konfrontasi serta pemulihan hubungan keduanya.
Normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia dituangkan dalam Piagam “Agreement to Normalise Relations between Malaysia and the Republic of Indonesia.” Piagam itu ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak pada 11 Agustus 1966 di Gedung Departemen Luar Negeri RI.
Dengan penandatangan persetujuan itu, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pun berakhir. Kedua negara juga sepakat untuk segera memulihkan hubungan diplomatik dan menghentikan permusuhan sejak ditandatangani persetujuan. Namun, penandatangan persetujuan tidak otomatis menghilangkan suasana konfrontasi di Kalimantan Utara. Setidaknya hingga September 1966, di sana masih terjadi kontak senjata antara pasukan Inggris dan gerilyawan Indonesia.
Pada 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Hubungan Indonesia-Malaysia semakin erat dengan dibentuknya ASEAN, organisasi yang memayungi negara-negara Asia Tenggara.