Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Penggalan bait terakhir pada puisi di atas yakni “Mampus kau dikoyak-koyak sepi” memang sudah tak asing lagi. Di era sekarang sebaris bait tersebut memang kerap digunakan untuk berbagai ungkapan. Ya, sajak berjudul “Sia-Sia” milik penyair legendaris Indonesia Chairil Anwar itu, menjadi salah satu di antara sederet puisi Chairil yang mampu membius para pembacanya.
Chairil Anwar merupakan sosok penyair fenomenal yang lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatra Utara. Namun, sosok penyair yang dijuluki ‘Si Binatang Jalang’, diambil dari karyanya berjudul “Aku” ini, meninggal dunia di usia yang masih relatif muda, 27 tahun. Atau tepat pada 28 April 1949 silam.
Meski hidupnya terbilang singkat, Chairil setidaknya sudah menulis total 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin, sosok kritikus sastra berkebangsaan Indonesia, sebagai pelopor Angkatan ’45 sekaligus puisi modern Indonesia. Chairil adalah penyair legendaris.
Masa kecil Chairil Anwar dihabiskan di tanah kelahirannya di Medan, Sumatra Utara. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Kedua orang tuanya itu berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, di mana sang ayah ternyata merupakan tokoh terkenal pada masanya karena pernah menduduki jabatan terakhir sebagai bupati Indragiri, Riau.
Seperti dikutip dari laman Ensiklopedia Sastra Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, ayahnya yang bernama lengkap Teoloes bin Haji Manan ternyata bekerja sebagai amtenar atau pegawai pemerintah, pada zaman Belanda dan menjadi Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. Sementara ibunya bernama Saleha yang dipanggil sebagai Mak Leha, merupakan janda beranak satu saat dinikahi Toeloes.
Menariknya, Chairil juga masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan Soetan Sjahrir, yang merupakan Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak pertama dan satu-satunya, ia memang kerap dimanjakan kedua orang tuanya, meski ia sendiri justru cenderung memiliki sikap keras kepala.
Semasa hidupnya, Chairil sendiri pernah mengenyam pendidikan di sebuah sekolah dasar khusus untuk kaum pribumi, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Ini adalah sekolah dasar yang dibangun khusus untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Usai lulus dari sana, Chairil melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Sayangnya, pendidikan yang dijalani Chairil tak berjalan mulus. Saat berusia 18 tahun, ia justru berhenti sekolah. Meski begitu, bukan berarti aktivitas Chairil untuk menggapi cita-citanya berhenti begitu saja. Ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang seniman dan keinginannya ternyata sudah ada sejak usianya menginjak 15 tahun.
Ketika beranjak dewasa, Chairil harus menghadapi kenyataan bahwa ayah dan ibunya bercerai. Ia pun memutuskan untuk pindah ke Batavia, saat ini kota Jakarta, bersama ibunya pada tahun 1940. Di kota Batavia inilah, Chairil mulai tumbuh sebagai sosok yang akrab dengan dunia sastra, dan dikenal mampu menguasai beberapa bahasa asing dengan baik, seperti bahasa Belanda, bahasa Jerman dan bahasa Inggris.
Selain itu, Chairil juga senang membaca buku dan ia kerapkali menghabiskan waktunya untuk membaca karya-karya para pengarang ternama internasional. Ia sering membaca karya sejumlah pengarang ternamaseperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Edgar du Perron, Hendrik Marsman, dan J. Slaurhoff.
Karya Pertama Chairil Anwar Tahun 1942, Kisah Cinta, Hingga Kematiannya
Chairil mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942 saat dirinya masih berusia 20 tahun. Puisi tersebut berjudul “Nisan”. Puisi itulah yang membuat namanya melambung dan mulai dikenal dalam dunia sastra Indonesia. Karya-karya Chairil memang khas dan kebanyakan puisinya bertema kematian.
Meski begitu, setelah puisi pertamanya tersebut, Chairil terus melanjutkan hobinya menulis. Tulisan -tulisan Chairil selanjutnya, selain bertema kematian, juga ada yang bertema pemberontakan, individualisme, hingga eksistensialisme. Berbagai puisinya ini memiliki karakter khas yang menarik, dan sering dianggap multi-interpretasi.
Chairil Anwar sendiri menikah dengan wanita bernama Hapsah, seorang putri Haji Wiriaredjo pada tanggal 6 September 1946 di Kerawang. Sebelum itu, Chairil pernah jatuh cinta kepada sejumlah wanita seperti Sri Ayati hingga seorang gadis Jawa (Paron, Ngawi, Jawa Timur) yang bernama Sumirat.
Sayangnya, orang tua Sumirat tidak menyetujui perkawinan sang anak dengan Chairil, lantaran Chairil tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Lalu, Chairil pun dianugerahi seorang anak bernama Evawani Alissa, yang lahir pada 17 Juni 1947, dari hasil perkawinannya dengan Hapsah.
Namun, Chairil akhirnya bercerai dengan Hapsah tanpa diketahui sebabnya.Lalu, sang anak, Eva dibawa oleh Hapsah. Setelah menginjak usia 8 tahun, Eva pun baru mengetahui bahwa Chairil Anwar merupakan ayahnya. Anak semata wayangnya ini kemudian memperoleh pendidikan tinggi hukum dan berprofesi sebagai pengacara.
Sejak perceraian dengan Hapsah itu lah, kondisi fisik dan kesehatan Chairil Anwar terus mengalami penurunan. Pada rentang 22-28 April 1949, ia diopname di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena sakit paru-paru. Lalu, pada tanggal 28 April 1949, Chairil meninggal dunia pukul 14.30 dan jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
Meski meninggal dalam usia yang masih sangat muda, karya-karya Chairil masih terus diingat hingga hari ini. Karyanya yang paling fenomenal adalah yang berjudul “Aku” dan “Kerawang-Bekasi”. Semua tulisan-tulisan karyanya, dikompilasikan dalam 3 buku yang diterbitkan oleh Penerbitan Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).