Sebentar lagi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akan dimulai. Itu artinya seluruh aktivitas kampanye peserta pemilu yang sudah berlangsung selama ini akan dihentikan atau tepatnya pada masa tenang kampanye pada 14-16 April 2019. Lalu, akan dibawa ke mana sampah-sampah atribut atau alat peraga kampanye yang saat ini masih memenuhi ruang publik dan sepanjang jalan?
Pemasangan atribut kampanye Pemilu 2019 memang lebih banyak mengundang respons negatif. Pasalnya, alat peraga kampanye seperti spanduk, baliho, poster, bendera partai politik, hingga stiker, dipasang sembarangan dan benar-benar mengabaikan etika. Bayangkan saja, semua jenis atribut peraga kampanye itu dipastikan ada di pinggir jalan, di tiang listrik, atas trotoar, pagar taman, jembatan penyeberangan, hingga di batang-batang pohon.
Apalagi di Jakarta, di mana pusat keramaian pesta demokrasi memang lebih meriah ketimbang daerah lain di Indonesia. Nyaris di sepanjang jalan terdapat semua jenis alat peraga kampanye, yang bahkan saking banyaknya bisa membuat bingung dan pusing bagi siapapun yang melihatnya. Keberadaan alat peraga kampanye yang tumpah ruah itu pun membuat ruang publik menjadi timbunan sampah visual.
Nantinya, setelah masa kampanye selesai, seluruh peserta kampanye pun bakal sibuk membersihkan puluhan ribu bahkan jutaan alat peraga kampanye yang terpasang tak beraturan tersebut. Lalu, apakah alat peraga kampanye yang beratnya bisa mencapai puluhan ton itu akhirnya dibuang?
Dari pemilu-pemilu terdahulu, seringkali bekas alat peraga kampanye pada akhirnya dibuang, jadi tumpukan sampah, atau dimusnahkan dengan dibakar. Padahal ada pilihan untuk memanfaatkan kembali sampai atribut kampanye itu, bisa didaur ulang atau bahkan dijual.
Beberapa waktu lalu, Puteri Indonesia Lingkungan 2018 Vania Fitryanti Herlambang pernah mengusulkan kepada para peserta Pemilu 2019 untuk bertanggung jawab terhadap alat peraga kampanye yang ditinggalkan. Salah satu caranya dengan melakukan daur ulang atribut kampanye yang sudah tidak digunakan lagi.
“Misalnya kampanye acara di mana atau bikin spanduk ada di mana-mana. Diharapkan itu bisa dibawa kembali, dibersihkan atau di-recycle itu lebih baik lagi,” kata Vania usai menghadiri pemasangan 1.000 spanduk di tempat ibadah kawasan Jelambar, Jakarta Barat, Jumat, 11 Januari 2019.
Vania mengatakan para peserta pemilu bisa melihat aspek lingkungan dalam berkampanye. Ia mencontohkan, atribut kampanye seperti poster, spanduk, dan lain-lain bisa didaur ulang untuk digunakan kembali. “Misalkan yang berbahan kertas poster-poster itu bisa dicairkan dan menjadi bubur kertas sehingga dicetak kembali yang bisa digunakan, misalnya hiasan. Banyak, kan, referensi untuk daur ulang dari itu,” ucapnya.
Mengubah sampah atribut kampanye menjadi pundi-pundi rupiah, bukan hanya sekedar omongan belaka. Sampah-sampah yang berasal dari spanduk, baliho, dan reklame sangat bisa didaur ulang dan dijual hingga menghasilkan uang. Di antara produk komersil yang berasal dari olahan sampah atribut kampanye itu adalah kantong loundry, tas jinjing wanita, tas untuk bahan belanja ke pasar, dan sebagainya.
Olahan atau daur ulang tersebut tentu bisa jadi solusi menangani limbah baliho dan spanduk kampanye. XS Project yang berada di Jl Kaimun Jaya, Cilandak, Jaksel, menjadi salah satu contoh yayasan non profit yang berhasil mengubah sampah menjadi tas serbaguna.
Dari pantauan Asumsi.co di laman resmi XS Project, mereka memang bekerja mengolah limbah sampah plastik menjadi berbagai tas yang berguna hingga laku di jual di pasaran. Menariknya, XS Project memanfaatkan keuntungan dari penjualan produk yang mereka buat untuk disumbangkan pada dunia pendidikan anak-anak para pemulung, kesehatan, dan komunitas.
Di laman tersebut, terlihat sederet produk siap jual yang berhasil mereka olah dari sampah-sampah alat peraga kampanye tersebut. Selain mengolah sampah plastik sisa rumah tangga, XS project juga mendaur ulang spanduk atau baliho di papan reklame. Spanduk-spanduk bekas biasa diolah XS Project menjadi tas laptop.