Kecelakaan Boeing 737 Max 8 sudah terjadi dua kali. Yang pertama, kecelakaan menimpa Lion Air JT 160. Pesawat seri Max 8 milik Lion Air mengalami kecelakaan di Laut Jawa dan menewaskan 189 penumpang di dalamnya. Kecelakaan kedua yang belum lama terjadi menimpa Ethiopian Air ET 302. Pesawat yang berangkat dari Addis Ababa itu mengalami kecelakaan hanya selang beberapa menit setelah pesawat lepas landas.
Dua kecelakaan yang menimpa pesawat anyar milik Boeing ini membuat perusahaan asal Amerika Serikat tersebut melakukan kajian ulang terkait sistem keamanan dan perangkat lunak pesawat tersebut. Menggunakan simulator pesawat, Boeing melakukan proses reka ulang kecelakaan menggunakan temuan-temuan yang mereka dapatkan dari kasus Lion Air.
Dilansir dari New York Times, temuan terbaru dari proses kajian Boeing adalah pilot hanya memiliki waktu 40 detik untuk menyelamatkan pesawat dari kecelakaan. Jika pilot melebihi batas 40 detik, akan sulit untuk pesawat selamat dari kecelakaan. Reka ulang kecelakaan ini sendiri sudah sesuai dengan temuan ahli yang meneliti kecelakaan Lion Air JT 610.
Dalam proses kajian Boeing ini, simulasi kesalahan dilakukan dengan cara menggagalkan satu sensor yang membuat pesawat melakukan gerakkan menukik otomatis. Gerakan otomatis ini dilakukan oleh pesawat karena perangkat lunak menerima pesan dari sensor bahwa pesawat dalam kondisi stall. Jika benar dalam kondisi stall, gerakan menukikkan badan secara otomatis akan bekerja sesuai dengan kebutuhan pesawat. Namun kegagalan sensor membuat perangkat lunak mengira bahwa pesawat dalam kondisi stall, meskipun sebenarnya pesawat dalam kondisi terbang normal. Alhasil, kondisi pesawat yang menukik ke tanah pun tak terelakkan.
Perangkat otomatis yang dikenal sebagai MCAS ini menjadi fokus utama para peneliti. Sejauh ini, temuan dari para peneliti adalah dalam kondisi pesawat Max 8 tiba-tiba menukik, pilot harus melakukan dua hal. Pertama, menggunakan tombol yang ada di jempol mereka agar pesawat kembali terbang secara normal untuk sementara. Supaya sistem kembali normal seperti sedia kala, New York Times melaporkan bahwa pilot perlu mematikan dua tombol lagi. Tindakan ini diperlukan untuk menghentikan aliran listrik ke mesin yang memaksa pesawat menukik.
Dalam simulasi, prosedur berhasil dilaksanakan dan pesawat berhasil dilandaskan dengan sempurna. Namun, perlu dipahami bahwa dalam simulasi ini, pilot uji coba sudah mengetahui harus melakukan apa. Selain itu, pilot juga tidak dalam kondisi darurat yang sebenarnya.
Sementara itu, temuan black box Lion Air JT 160 merekam bahwa pilot terdengar panik dan membuka buku manual untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan. Hal ini disebabkan karena kurangnya ketelitian dari Boeing dan Federal Administrasi Penerbangan (FAA) AS dalam melakukan proses sertifikasi perangkat lunak MCAS tersebut.
Dilansir The Seattle Times, mantan pegawai FAA menyatakan bahwa karena keterbatasan waktu dan dana, FAA cendering melimpahkan tanggung jawab sertifikasi kepada Boeing. Ini termasuk sertifikasi fitur Analisis Sistem Keamanan dalam MCAS. Sementara itu, Boeing kerap mempromosikan “efisiensi” dari unit 737 Max 8 kepada perusahaan penerbangan. Pilot yang sudah memiliki sertifikat latihan Boeing 737 tidak perlu menjalani pelatihan lagi sebelum menerbangkan 737 Max 8. Setelah Lion Air JT 160 kandas di Laut Jawa, sejumlah anggota serikat pilot dari American dan Southwest Airlines mengkritik Boeing karena tidak memberi informasi kemungkinan malfungsi dari perangkat lunak MCAS.
John Cox, seorang konsultan keamanan pesawat dan mantan pilot 737, mengungkapkan bahwa pilot hampir pasti menggunakan tombol yang terletak di jempolnya untuk memperpanjang keterbatasan 40 detik waktu menjadi beberapa menit. Meski demikian, perpanjangan waktu tersebut belum tentu cukup untuk pilot mendiagnosa permasalahan dengan baik dan benar. Apalagi, kalau kru pesawat ternyata belum mengetahui permasalahan tersebut ada.
“Ada waktu yang terbatas untuk menyelesaikan masalah ini, dan kru di dalam pesawat bahkan tidak mengetahui bahwa sistem (otomatis) ini ada,” ujar Cox.
Lion Air, selaku maskapai penerbangan pemilik Boeing 737 Max 8 yang mengalami kecelakaan di Laut Jawa, telah memberikan kompensasi sebesar Rp1,3 miliar untuk masing-masing keluarga yang ditinggalkan. Meski demikian, ada yang janggal dari klausul yang harus disepakati keluarga korban.
Klausul tersebut adalah setiap keluarga yang menerima kompensasi harus menandatangani sebuah perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut menyatakan kalau keluarga korban berjanji untuk tidak membawa persoalan jatuhnya pesawat Lion Air ini ke ranah hukum. Perjanjian ini tidak hanya berlaku untuk Lion Air, tetapi untuk semua pihak terkait yang diduga bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat ini. Termasuk perusahaan Boeing selaku manufaktur dari unit pesawat yang jatuh naas tersebut.
Undang-Undang Penerbangan Indonesia 2011 menyebutkan bahwa keluarga korban tidak boleh berhenti membawa kasus ke ranah hukum, meskipun ahli waris sudah menerima kompensasi dari maskapai penerbangan. Dilansir dari New York Times, Ahmad Sudiro selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara mengungkapkan bahwa dalam menerima kompensasi, ahli waris tidak harus menandatangani apapun.
“Ahli waris dari korban tidak diwajibkan untuk memenuhi permintaan apapun,” ujar Ahmad. “Bisa jadi, itu hanya trik perusahaan saja. Perjanjian ini tidak memiliki basis yurisdiksi, tetapi perusahaan memaksa keluarga korban untuk melakukannya.”