Umat Hindu akan merayakan Hari Raya Nyepi pada Kamis, 7 Maret 2019 mendatang. Perayaan Hari Raya Nyepi merupakan perayaan tahun baru bagi umat Hindu yang didasarkan pada penanggalan atau kalender saka. Nyepi sendiri berasal dari kata sepi (sunyi, senyap).
Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali justru dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasanya. Semua kegiatan ditiadakan, bahkan pelayanan umum seperti jadwal keberangkatan pesawat di Bandar Udara Internasional pun ditutup selama Nyepi. Aturan ini telah di atur dalam Peraturan Daerah (Perda).
Perda Nyepi adalah sebuah peraturan daerah yang dijalankan di Provinsi Bali. Perda tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Dalam rangka memuluskan jalan perayaan Nyepi oleh umat Hindu Bali, aturan itu melarang setiap warga di sana untuk tidak menyalakan listrik dan api, tak mendengarkan musik, tak bepergian, begitu pula dengan jaringan internet yang juga dimatikan.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit yang artinya alam manusia dan Bhuana Agung atau alam semesta. Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali. Apa saja upacara yang biasa dilakukan untuk menyambut Nyepi?
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan ritual penyucian diri dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di tempat ibadah Pura diarak ke pantai atau danau. Hal itu dilakukan karena laut atau danau dianggap sebagai sumber air suci (tirta amerta).
Oleh sebab itu, selain melakukan persembahyangan, upacara Melasti juga sekaligus pembersihan dan penyucian benda sakral milik pura. Benda-benda seperti pralingga atau pratima Ida Bhatara diarak dan diusung mengelilingi desa. Itu pun dilakukan dengan maksud untuk menyucikan desa.
Dalam upacara ini, masyarakat dibentuk berkelompok ke sumber-sumber air seperti danau dan laut. Satu kelompok berasal dari wilayah atau desa yang sama. Seluruh peserta mengenakan baju putih. Para pemangku berkeliling dan memercikan air suci kepada seluruh warga yang datang serta perangkat-perangkat peribadatan dan menebarkan asap dupa sebagai wujud menyucikan.
Tawur Kesanga adalah ritual suci sehari menjelang perayaan Hari Suci Nyepi. Tawur Kesanga di Bali dilaksanakan berjenjang, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa, dusun hingga tingkatan rumah tangga yang berakhir pada sore hari.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, kegiatan itu untuk menyucikan alam semesta beserta isinya. Dengan ritual secara serentak di seluruh desa adat di Pulau Dewata, diharapkan juga akan meningkatkan hubungan dan keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan lingkungannya, serta manusia dengan Tuhan (Tri Hita Karana).
Sesuai pedoman yang dikeluarkan majelis tertinggi umat Hindu kepada seluruh Desa Pakraman, Tawur Kesanga yang diakhiri persembahyangan bersama itu dilakukan sesuai tingkatan masing-masing. Untuk Tawur Kesanga di Pura Besakih, Kabupaten Karangasem, Bali Timur, misalnya, masing-masing kecamatan mengirim utusan untuk mencari air suci. Air itu nantinya digunakan dan dibagikan untuk seluruh umat di wilayahnya.
Untuk tingkat kabupaten melaksanakan kegiatan serupa dengan kelengkapannya mengambil lokasi di Kawasan Catur Pata atau perempatan Agung pada tengah hari sekitar pukul 12.00 WITA. Sementara di tingkat kecamatan menggunakan upakara Caru Panca Sanak. Dilanjutkan di tingkat desa, banjar, dan ritual berakhir pada tingkatan rumah tangga di sore hari.
Setelah kegiatan Tawur tersebut, barulah dilanjutkan ritual Pengrupukan. Inilah pawai yang selalu meriah dan dihadiri banyak massa. Pawainya berupa arak-arakan ogoh-ogoh, boneka ukuran besar.
“Pangerupukan ini yang menjadi populer sekarang karena ada tradisi ogoh-ogoh, namun itu bagian dari pangerupukan sebenarnya yang dilaksanakan setelah melakukan upacara Bhuta Yadnya atau tawur yang dilakukan di catus pata atau perempatan,” kata Putu Eka Guna Yasa staf Pusat Kajian Lontar Unud.
Ogoh-ogoh tersebut tampak dalam berbagai bentuk dan ukuran menyerupai buta kala, atau makhluk mitologis Bali. Mereka berjejer di sepanjang jalan di Kota Denpasar dan sekitarnya setelah dikeluarkan dari balai banjar, tempat pembuatan ogoh-ogoh. Karya seni ini biasanya dibuat oleh para pemuda banjar selama sebulan lebih sebelum perayaan Nyepi.
Ogoh-ogoh ini mewakili roh jahat. Nama ogoh-ogoh berasal dari Bali “ogah-ogah” yang berarti “mengguncang” dan mewakili kejahatan yang perlu dijauhkan dari manusia. Masyarakat banjar yang ikut konvoi akan mengguncang-guncangkan ogoh-ogoh agar terlihat seperti bergerak dan menari. Setelah diarak di sekitar kota dan desa, ogoh-ogoh itu nantinya dibakar sebagai simbol pemurnian diri.
Dengan membakar ogoh-ogoh, umat Hindu artinya telah siap memperingati Nyepi dalam keadaan suci. Keesokan harinya, barulah umat Hindu melaksanakan ibadah tapa brata penyepian. Ibadah itu terdiri dari empat pantangan yang meliputi amati karya (tidak bekerja atau melakukan kegiatan), amati geni (tidak menyalakan lampu atau api), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura.
“Pelaksanaan Catur Brata Penyepian itu diawasi secara ketat oleh pecalang di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat,” ujar Ngurah Sudiana, Guru Besar Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.