Budaya Pop

21 Februari 1949: Tan Malaka, Sang “Bapak Republik Indonesia” yang Dieksekusi Mati Bangsanya Sendiri

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Pelajaran sejarah yang hanya berdasarkan dari doktrin pemerintah mestinya perlu melakukan perubahan. Sebagai contoh, pengungkapan terhadap tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia yang sejatinya tak hanya pada sosok Soekarno dan Moh. Hatta saja. Sebab, di samping kedua nama itu ada sosok yang jarang sekali disebut dalam pelajaran sejarah dalam tingkat sekolah dasar hingga menengah atas.

Ia adalah Tan Malaka, seorang pejuang kemerdekaan yang revolusioner. Nama aslinya adalah Sutan Ibrahim, penulis buku berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925) yang menjadi pencetus konsep “Negara Indonesia”. Bukunya itu pulalah yang menginspirasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan bapak bangsa lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena buku itu juga, Mohmmad Yamin menyebut Tan Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia”.

Perjuangannya dilakukan dengan menulis buku, membentuk kesatuan masa, hingga bicara dalam kongres internasional. Ia pun turut ikut bertempur di medan perang melawan Belanda. Karena kegiatan-kegiatannya tersebut, nama Tan Malaka begitu dikenal di Belanda hingga ia harus beberapa kali dipenjara, diburu interpol, juga dikejar-kejar polisi internasional.

Kholid O. Santosa dalam pengantarnya di buku Menuju Republik Indonesia (2014), menuliskan bahwa revolusi Indonesia bagi Tan Malaka memiliki dua tujuan, yakni mengusir penjajah Barat dan menghabisi sistem sosial yang memberikan kekuasaan kepada golongan bangsawan. Bagi Tan, dengan cara begitu tidak akan lagi ada suatu perbudakan, melainkan semangat kerakyatan.

Tan Malaka memang sosok yang membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan para buruh. Hal itulah yang membuatnya aktif dalam organisasi yang menentang segala hal yang menyusahkan para buruh, hingga bergabung dengan Partai Komunis.

Berbicara soal komunis memang membuat beberapa orang saat ini merasa ngeri karena cerita keganasan G30S yang dibuat pemerintah Orde Baru. Namun saat itu, Tan Malaka murni bertindak demi kesejahteraan rakyat pribumi. Saat menjadi memimpin Partai Komunis, Tan Malaka lebih frontal menentang Belanda, hingga akhirnya ia ditangkap dan dibuang ke Belanda.

Ketika Tan Malaka sudah kembali ke tanah airnya dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata Indonesia belum benar-benar bebas dari Belanda. Ia merasa para pemimpin Negara terlalu lembek terhadap Belanda dengan membiarkan adanya perundingan.

“Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya,” demikan salah satu kutipan dari Tan Malaka yang cukup terkenal.

Kritikan dan pergerakannya melawan Belanda itu justru dianggap pemberontak oleh bangsanya sendiri. Hari ini, 21 Februari pada 1949 silam, Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda Soekotjo, orang yang paling tidak suka dengan gagasan Tan.

Tan Malaka memiliki gagasan dan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi, yang membuat Indonesia tetap berhubungan dengan para negara penjajah.

Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP). Mereka dibentuk untuk menghadapi serangan Belanda jika sewaktu-waktu dating kembali. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek, gagasan Tan.

Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Hingga akhirnya ia dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukotjo.

Kematiannya tanpa dibuat laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ungkap Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang mengabadikan seluruh karier akademisnya untuk menulis hayat dan karya Tan Malaka.

Pahlawan Nasional yang Dilupakan

Pada 23 Maret 1963, Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Usulannya datang dari Partai Murba yang didirikan Tan Malaka tahun 1948. Menurut sejarawan Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional,” satu bulan setelah diberikan dokumen resmi, Soekarno langsung memberi dukungan usulan tersebut tanpa prosedur formal lainnya.

Pengangkatan Tan Malaka menjadi pahlawan kemudian dibahas kembali pada era Soeharto yang sangat membenci komunis. Padahal, meski sebagai pendiri, Tan Malaka sendiri dibenci PKI dan dikeluarkan karena tak setuju dengan pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali.

“Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927,” tulis Asvi dalam pengantar buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura karya Zulhasril Nasir.

Namun tetap saja, Rezim Orde Baru yang antikomunis merasa terganggu dengan keberadaan seorang komunis dalam daftar pahlawan nasional. Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi pahlawan nasional bahkan pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka.

Soeharto sendiri tidak bisa membatalkan gelar itu karena telah diberikan oleh Soekarno. Tetapi menurut Asvi, nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Maka tak heran, dalam buku teks sejarah namanya jarang disebut.

Share: 21 Februari 1949: Tan Malaka, Sang “Bapak Republik Indonesia” yang Dieksekusi Mati Bangsanya Sendiri