Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data soal lima sektor yang paling banyak dikorupsi sepanjang 2018. Kelima sektor itu mencakup infrastruktur dan non-infrastruktur. Berdasarkan laporan ICW, dari lima sektor tersebut, sektor yang paling banyak dikorupsi adalah dana desa.
Menurut ICW, terdapat 49 kasus korupsi anggaran desa di bidang infrastruktur yang merugikan negara mencapai Rp 17,1 miliar. Tak hanya itu saja, ada pula 47 kasus korupsi dana desa non-infrastruktur yang merugikan negara dengan nilai Rp 20 miliar.
Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan bahwa memang perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah untuk meminimalkan terjadinya korupsi anggaran desa. Lalu, berikutnya korupsi di sektor pemerintahan. Seperti data ICW, ada 13 kasus di sektor pemerintahan yang berkaitan dengan infrastruktur.
Lebih lanjut, kasus tersebut merugikan negara mencapai Rp 26,6 miliar. Selain itu, ada 44 kasus di sektor pemerintahan yang tidak terkait infrastruktur. Kasus tersebut merugikan negara dengan nilai Rp 260 miliar.
Kemudian, sektor ketiga yakni korupsi yang terkait anggaran pendidikan. Setidaknya ada 15 kasus terkait infrastruktur pendidikan yang merugikan negara dengan angka mencapai Rp 34,7 miliar. Ada pula 38 kasus di sektor pendidikan non-infrastruktur yang merugikan negara sebesar Rp 30 miliar.
Berlanjut ke sektor keempat, di mana sektor yang paling banyak dikorupsi adalah sektor transportasi. Setidaknya ada 23 kasus pada sektor transportasi bidang infrastruktur yang merugikan negara mencapai Rp 366 miliar. Ada juga 9 kasus korupsi sektor transportasi non-infrastruktur yang merugikan negara Rp 104 miliar.
Yang terakhir, sektor kelima yang paling banyak dikorupsi adalah sektor kesehatan. Berdasarkan data ICW, ada 5 kasus infrastruktur kesehatan yang merugikan negara Rp 14,5 miliar. Ada pula 16 kasus di sektor kesehatan non-infrastruktur yang merugikan negara Rp 41,8 miliar.
Wana Alamsyah mengatakan dana desa ternyata memang sangat rawan menjadi lahan korupsi. Kasus korupsi terbanyak terjadi di pemerintah kabupaten dengan total 170 kasus. “Anggaran desa menjadi sektor yang rawan di korupsi. Selain itu, sektor sosial kemasyarakatan juga rawan di korupsi, contohnya anggaran bencana alam,” kata Wana di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, dikutip dari Kompas.com, Kamis, 7 Februari 2019.
Pemerintah sendiri meluncurkan dana desa sejak 2015 lalu dan hingga 2019 sudah mencapai Rp257 triliun dikucurkan untuk dana desa. Rinciannya adalah pada 2015 senilai Rp20,7 triliun, pada 2016 mencapai Rp47 triliun, pada 2017 mencapai Rp60 triliun, pada 2018 mencapai Rp60 triliun, dan pada 2019 mencapai Rp70 triliun.
Berdasarkan laporan ICW, sektor anggaran desa ini meliputi Anggaran Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD), Pendapatan Asli Desa (PADes). Wana menjelaskan ICW mencatat ada 96 kasus korupsi anggaran desa dari total 454 kasus korupsi yang ditindak penegak hukum sepanjang 2018. Bahkan, kerugian negara yang dihasilkan khusus anggaran desa pun mencapai Rp37,2 miliar.
Adapun rinciannya, kasus korupsi tersebut adalah dari sektor infrastruktur anggaran desa yang mencapai 49 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp17,1 miliar, dan kasus korupsi sektor non-infrastruktur sebanyak 47 kasus dengan kerugian negara Rp 20 miliar. Padahal, lanjut Wana, pengeluaran anggaran dana desa sejak 2015 hingga kini untuk 74.954 desa mencapai sebesar Rp 186 triliun. Keberadaan dana desa itu disebut menjadi pemicu kenaikan tren korupsi.
“Kalau kita lihat trennya, usai anggaran dana desa, kasusnya meningkat. Kami menduga (korupsi anggaran desa) itu menjadi salah satu penyebab,” kata Wana.
Wana mengatakan bahwa yang menyebabkan anggaran desa menjadi sektor rawan korupsi adalah pengawasan dan transparansi yang kurang, serta kapasitas aparat desa yang tidak maksimal.
Selain itu, ICW juga merilis daftar 10 lembaga yang paling banyak terlibat kasus korupsi di sepanjang 2018. Lembaga tersebut mulai dari pemerintahan daerah seperti di tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan desa, hingga instansi pendidikan dan kesehatan.
1. Pemerintah kabupaten menempati peringkat pertama dalam kasus korupsi dengan 170 kasus. Selama 2018, kasus yang melibatkan bupati merugikan negara Rp 833 miliar.
2. Pemerintah desa yang terlibat kasus korupsi sebanyak 104 kasus dengan kerugian negara Rp 1,2 triliun.
3. Pemerintah kota dengan 48 kasus, yang merugikan negara Rp 122 miliar.
4. Pemerintah provinsi sebanyak 20 kasus dengan kerugian negara Rp 7,9 miliar.
5. BUMN sebanyak 19 kasus, dengan kerugian negara Rp 3,1 triliun.
6. Kementerian sebanyak 15 kasus dengan kerugian negara Rp 58 miliar.
7. BUMD sebanyak 15 kasus dengan kerugian negara Rp 179 miliar.
8. DPRD sebanyak 12 kasus dengan kerugian negara Rp 30 miliar.
9. Sekolah terlibat korupsi dengan nilai kerugian negara Rp 7,5 miliar.
10. Rumah sakit sebanyak 8 kasus, dengan nilai kerugian Rp 8,7 miliar.
Kemudian, berdasarkan provinsi tempat terjadinya korupsi, Jawa Timur menjadi provinsi yang paling banyak memiliki kasus korupsi, yakni 52 kasus dengan jumlah tersangka 135 orang dengan kerugian negara Rp 125,9 miliar, disusul Jawa Tengah dengan 36 kasus dan 65 tersangka serta kerugian negara Rp 152,9 miliar serta Sulawesi Selatan sebanyak 31 kasus dan jumlah tersangka 62 orang dengan nilai kerugian negar Rp 74,5 miliar.
Provinsi lain yang juga memiliki banyak kasus korupsi adalah Jawa Barat (27 kasus), Sumatera Utara (23 kasus), Aceh (22 kasus), Bengkulu (16 kasus), Jambi (15 kasus), Kalimantan Tengah (15 kasus). Sekitar 89 persen kasus korupsi terjadi di pemerintahan daerah, yaitu di tingkat provinsi 20 kasus, kabupaten 170 kasus, kota 48 kasus dan desa 104 kasus.
Kasus korupsi di tingkat nasional yakni terkait dengan korupsi BUMN hanya 11 persen dari total kasus. Namun kerugiannya Rp 3,1 triliun, artinya kasus yang terjadi di tingkat nasional dari kerugian negara paling besar karena per kasus rata-rata kerugian negaranya mencapai Rp 83 miliar.
“Ada sebanyak 180 orang yang berlatar belakang politisi ditetapkan sebagai tesangka akibat melakukan korupsi. Hal ini perlu menjadi bahan evaluasi untuk melakukan reformasi partai politik,” kata Wana.
Aktor-aktor yang terlibat korupsi paling banyak masih Aparatur Sipil Negara 375 orang, swasta 235 orang, ketua/anggota DPRD 127 orang, kepala desa 102 orang, kepala daerah 37 orang, yaitu dua gubernur, tujuh wali kota dan wakil wali kota dan 28 bupati, dirut/karyawan BUMN 28 orang, aparatur desa 22 orang, dirut/karyawan BUMD 15 orang, ketua/anggota kelompok atau organisasi 13 orang dan kepala sekolah 12 orang.
“ASN perlu menjadi ‘whistleblower‘ atau justice collaborator untuk membongkar kasus korupsi yang terjadi khususnya di daerah,” ujarnya.
Pada 2018, terdapat kasus yang dilakukan secara berjamaah oleh anggota DPRD Kota Malang (41 orang), anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (38 orang) dan anggota DPRD Provinsi Jambi (12 orang).