Budaya Pop

Geliat Warga Thionghoa Pertahankan Resep Makanan Imlek hingga Puluhan Tahun

Fariz Fardianto — Asumsi.co

featured image

Siang itu penghuni rumah berpagar cokelat di Jalan Kentangan, Jagalan, Semarang, terlihat sibuk. Seorang perempuan tampak menggotong tumpukan wadah berisi butiran telur. Sementara di sisi lain, para ibu telaten mengayak tepung serta membuat adonan di dalam rumah.

Bagi keluarga Indriyanti, kesibukannya di bulan ini terasa istimewa. Tak lain karena ia tengah bersiap menyambut datangnya perayaan Hari Raya Imlek yang jatuh pada 5 Februari 2019 nanti.  Bersama sang suami, Ong Ing Hwat, Indriyanti mengaku selama dua pekan mulai mengebut pembuatan kue keranjang.

Kue keranjang memang jadi makanan wajib warga peranakan Thionghoa saat Imlek. Indriyanti mengaku keluarganya sudah menggeluti usaha pembuatan kue keranjang hampir enam puluh tahun silam. Jauh sebelum medio 1950, Mak Jhing, yang tak lain kakeknya memulai usaha pembuatan kue keranjang.

“Ini sudah ada sejak 60 tahun. Mak Zhing merupakan kakek saya yang jadi generasi pertama mulai membuat kue keranjang sebelum tahun 1950,” akunya saat berbincang dengan Asumsi.co, Jumat 1 Februari 2019.

Resep Tiga Generasi

Kemudian sepeninggal kakeknya, produksi kue keranjang diwariskan kepada Pak Zhing Lang sebagai generasi kedua hingga akhirnya resep kue keranjang warisan leluhurnya diteruskan oleh Ong Ing Hwat.  Dahulu kala, kakeknya mula-mula membuat kue keranjang tiga rasa. Yakni  cokelat, vanila dan prambors.

Sampai hari ini, ia masih mempertahankan pembuatan kue keranjang memakai tungku perapian dengan kayu bakar. Indriyanti harus bekerja ekstra keras agar kualitas kue keranjang warisan leluhurnya tetap terjaga dengan baik.

Ia bilang tak memakai zat kimia apapun agar rasa kue keranjang buatannya tetap digemari oleh pelanggannya. Selama tujuh jam ia mengolah adonan kue keranjang mulai memasukan tepung ketan, panili, gula dan ragam bumbu lainnya.

“Nguleninya dari pagi sampai malam. Semua bahannya yang saya pakai masih alami. Tidak ada campuran zat kimia supaya kualitas rasanya bisa terjaga dengan baik. Masaknya pun tetap memakai tungku kayu bakar. Karena aromanya lebih sedap ketimbang pakai kompor gas,” aku pemilik nama asli Lie Tjwan In dengan logat Jawa campuran. Geliat pembuatan kue keranjang di rumahnya makin terasa tatkala dua pekan sebelum perayaan Imlek tiba.

Jika tahun kemarin permintaan kue keranjang cenderung lesu. Kini ia begitu bungsu  lantaran harga-harga bahan baku yang kembali normal membuat permintaan panganan khas Imlek itu kembali meningkat.

“Sekarang ada kenaikan penjualan. Biasanya paling banyak memesan itu pedagang dari Jakarta, Bandung, Surabaya. Akhir-akhir ini pemesanan kue keranjang naik pesat ketimbang kondisi tahun lalu,” sambungnya.

Untuk meningkatkan citarasa kue keranjangnya, ia kini menambah lagi rasa pandan. Sebiji kue keranjang ia jual seharga Rp 53 ribu per kilogram. Isinya pun beragam. Ada yang isi dua sampai tiga biji.

Pertahankan Pembuatan Pakai Daun Pisang

Tak cuma itu saja, katanya. Indriyanti juga mempertahankan citarasa dengan memasak kue keranjang dengan membungkus daun pisang.

“Dari dulu kalau saya masak kue keranjang tetap bertahan pakai keranjang bambu. Meski sering diganti dua tiga tahun karena banyak yang terbakar api tungku, tapi saya rasa kalau pakai wadah keranjang bambu memang punya keunikan tersendiri. Lagian sejarahnya kan dari situ,”.

“Saya juga masih menggunakan daun pisang biar aromanya lebih sedap dan tidak gampang lengket. Kita pertahankan cara ini walau sekarang sedikit-sedikit kita kadang pakai pembungkus plastik  kaca,” sambungnya.

Khawatir Punah

Kendati begitu, di usianya yang sudah menapaki angka 58 tahun, sebuah kekhawatiran terbesit di benaknya akan kelangsungan usaha kue keranjangnya. Usahanya terancam tak bisa langgeng lantaran kedua anaknya enggan meneruskan produksi kue keranjang.

“Mau diteruskan sama anak-anak tapi susahnya mereka itu sekarang lebih banyak kerja di Jakarta. Jadinya kita dibantu lima orang pegawai dari Krekesan Gubuk Purwodadi karena sering kewalahan bikin kue keranjang,” tuturnya sembari menunjukkan ragam rasa kue keranjangnya.

Kue keranjang yang jadi favorit warga Thionghoa biasanya kerap dimakan dengan berbagai cara. Ada yang suka memakan kue keranjang dengan parutan kelapa layaknya getuk. Tetapi ada pula yang menggorengnya dengan mencampur dengan telur.

“Kita kan kalau mau makan kue keranjang dikasih air dulu tangannya biar enggak lengket, dipotong kecil-kecil lalu dikrawu dengan parutan kelapa biar tambah enak kayak makan getuk. Ada yang suka kuenya digoreng sama telur. Memang macam-macam sesuai selera setiap orang,” ujarnya.

Di Kampung Kentangan sendiri, sejak lama dikenal sebagai pusat pembuatan jajanan khas Thionghoa.

Kue Moci Berawal dari Sesajen Klenteng

Selain Indriyanti, terdapat banyak warga yang menggeluti usaha serupa. Disamping kue keranjang, sejumlah warga juga rutin membuat kue moci. Moci atau mouci sudah kesohor sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam sebagai panganan pelengkap untuk hantaran sembarangan warga Thionghoa di setiap klenteng.

Dari sekian banyak pembuat kue moci, Dewi Puspawati menjadi salah satu pionernya. Nenek moyangnya telah membuat kue moci di Kampung Kentangan sejak dekade 1970. Yang dibuat semula hanyalah kue moci original dengan isian kacang tanah dan balutan tepung.

“Yang mengawali pertama nenek saya, Sri Hartini alias Tjia Sien Nio selama dua puluh tahun sebelumnya. Karena peminatnya sangat banyak, kami yang meneruskan usahanya lalu memberikan variasi dengan menambahkan biji wijen. Sampai sekarang yang original maupun moci wijen masih disukai warga yang berburu panganan untuk jamuan Imlek,” tuturnya saat ditemui di tokonya Jalan Kentangan Barat Nomor 101.

Permintaan terbanyak kini datang dari pelanggannya asal Surabaya. Ia memperkirakan penjualan kue moci naik dua kali lipat dibanding hari normal hanya 10-20 kilogram.

Kini ia tengah bersiap menanggung untung berlipat dengan menawarkan ragam rasa moci kepada pelanggannya. Mulai moci durian, cokelat, strowberi hingga green tea. Harganya dibandrrol mulai Rp 18 ribu sampai Rp 24 ribu per bungkus dengan isian 10 biji.

Merambah Dunia Digital

Pemilihan banyak rasa moci itu demi  menyiasati ketatnya persaingan usaha di era serba digital saat ini. Sembari dibantu anak-anaknya, ia kini getol merambah pemasaran via website. Ia ingin meraih pangsa pasar kalangan anak muda yang gemar memakai perangkat gawai.

“Kita pasarkan melalui website dan Instagram karena ingin mengenalkan moci lima rasa sama kalangan anak muda. Itu dilakukan sama anak-anak saya dan beberapa pegawai di toko,” kata Dewi.

Share: Geliat Warga Thionghoa Pertahankan Resep Makanan Imlek hingga Puluhan Tahun