Budaya Pop

Eka Tjipta Widjaja Dimakamkan Seminggu Setelah Kematian dan Panjangnya Prosesi Upacara Kematian Tionghoa

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Kabar duka datang dari pengusaha besar Eka Tjipta Widjaja. Ia meninggal pada Sabtu, 26 Januari 2019 malam. Puluhan karangan bunga pun berjejer di sekitar Rumah Duka RSPAD sebagai tempat semayam jenazah.

“Jenazah disemayamkan di Rumah Duka Gatot Subroto Jakarta,” kata Managing Director Sinar Mas Group Gandhi Sulistyanto dalam keterangan tertulisnya.

Eka yang memiliki nama asli Oei Ek Tjhong ini sendiri meninggal karena faktor usia. Sebab kini usianya tengah menginjak 98 tahun. Salah satu orang terkaya di Indonesia itu akan dimakamkan pada Sabtu, 2 Februari 2019 di Karawang, Jawa Barat.

“Pemakaman hari Sabtu, di makam keluarga. Sabtu depan, tanggal 2, di Karawang,” ujar Gandhi Sulistyanto, Minggu, 27 Januari 2019.

Upacara Kematian Tradisi Tionghoa

Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mungkin ada yang merasa bingung mengapa Eka Tjipta tidak segera dimakamkan, dan harus menunggu waktu hingga satu minggu. Sebagai keturunan Tionghoa yang lahir di Quanzhou, Tiongkok, prosesi upacara kematian tentunya memiliki adat istiadatnya sendiri.

Dalam penelitian Pesta Di Atas Duka: Prosesi Pemakaman Elite Tionghoa Batavia 1900 – 1930, disebutkan bahwa sejak zaman kolonial, prosesi pemakaman orang Tionghoa merupakan salah satu indikator stratifikasi sosial seseorang di mata masyarakat. Semakin tinggi hierarki seseorang maka semakin kompleks prosesi yang dilaksanakan. Maka tak heran, upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa pada umumnya cukup melelahkan.

Meski begitu, upacara kematian masyarakat Tionghoa di Indonesia juga sudah mengalami penyesuaian seiring berkembangnya zaman. Namun pada intinya, upacara dilakukan sesuai dengan agama kepercayaan atau wasiat almarhum sewaktu hidup.

Umumnya, mereka yang meninggal akan dimandikan dengan menggunakan kembang 5 rupa, arak putih, dan dipakaikan pakaian terbaik, lengkap dengan sepatu yang ia punya semasa hidup, bahkan ada pula yang dipakaikan baju saat menikah. Setelah itu diberikan penutup/selimut berwarna merah bila jenazah telah mencapai umur 80 tahun. Sedangkan untuk umur yang di bawah 80, dapat diganti warna hijau, putih, dan atau warna lainnya.

Beberapa keluarga Tionghoa, masih adapula adat untuk memberikan mutiara di 7 lubang di kepala manusia, yakni lubang hidung, lubang telinga, mata dan mulut. Tapi jika memiliki keterbatasan ekonomi, maka biasanya diganti dengan kapas.

Barulah setelah itu dilaksanakan serangkain prosesi tutup peti. Di dasar peti mati diletakkan 7 keping uang logam, kertas perak yang gulung dan dimasukkan di atas daun teh secukupnya lalu ditindih kain putih. Bagian kepala jenazah diberi bantal kertas perak. Tiba waktunya memasukkan Jenasah ke dalam peti mati yang sudah dipersiapkan.

Setelah prosesi tutup peti, barulah dilanjutkan upacara Mai Song (Pintu duka) yang dilaksanakan pada malam menjelang pemberangkatan jenazah. Kemudian upacara Sang Cong dilaksanakan saat mengantar jenazah ke tempat pemakaman. Upacara Jib Gong dilaksanakan saat memasukan jenazah ke dalam liang kubur.

Makam orang Tionghoa sendiri dapat dengan mudah diketahui berdasarkan bentuk kubur, nisan, dan bangunan pelindung makam atau yang disebut mausoleum, serta memiliki ciri khas dan gaya arsitektur tersendiri. Jika diperhatikan, rata-rata makam Tionghoa juga berukuran besar.

Pemerhati Budaya Tionghoa, Agni Malagina mengatakan bahwa ukuran makam yang besar itu karena ada konsep kematian tersendiri. Di mana orang Tionghoa tradisional percaya, bahwa manusia yang meninggal akan berpindah tempat ke dunia lain, dan dunia tersebut mirip dengan dunia hidup sebagai manusia. Sehingga jiwanya membutuhkan benda-benda yang biasanya digunakan di dunia.

Share: Eka Tjipta Widjaja Dimakamkan Seminggu Setelah Kematian dan Panjangnya Prosesi Upacara Kematian Tionghoa