Peristiwa tsunami yang melanda Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 lalu membuat banyak pihak menyoroti buoy alat pendeteksi tsunami yang tak berfungsi maksimal. Hal itulah yang mendorong Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT untuk melakukan revitalisasi terhadap buoy. Namun, ternyata butuh dana besar untuk menjalankan proyek revitalisasi tersebut.
BPPT membutuhkan dana besar senilai Rp 5 miliar untuk melakukan revitalisasi satu buoy pendeteksi tsunami agar bisa ditempatkan di Selat Sunda. Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, Hammam Riza, mengungkapkan BPPT terus berupaya merevitalisasi alat pendeteksi tsunami. Alat itu akan dinamai Buoy Merah Putih, supaya bisa segera dipasang di perairan Gunung Anak Krakatau dan sekitarnya.
“BPPT siap untuk menempatkan buoy di sekitar Gunung Anak Krakatau. Buoy ini penting sebagai peringatan dini, agar penduduk di wilayah yang berpotensi terkena tsunami memiliki waktu untuk dapat dievakuasi ke shelter terdekat,” kata Hammam di Jakarta, Kamis, 3 Januari 2019.
Hammam membeberkan bahwa revitalisasi satu unit buoy berikut pemasangan dan pemeliharaannya membutuhkan biaya sekitar Rp 5 miliar. Sejauh ini, pendanaan revitalisasi buoy itu masih menjadi kendala mengingat pembuatan teknologi tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Revitalisasi ini kami oprek lagi buoy yang dahulu sudah rusak akibat vandalisme. Kami gunakan panel tenaga surya untuk sumber tenaganya, serta kami upayakan semua sensornya lengkap kembali. Butuh waktu, semoga dengan adanya dana khusus bisa lebih cepat prosesnya hingga pemasangan,” ujarnya.
Baca Juga: Buoy Rusak, Penyebab Minimnya Peringatan Tsunami
Menurut Hammam peran masyarakat dalam hal ini menjaga buoy sangat penting. Berdasarkan informasi dari para nelayan bahwa perairan di sekitar buoy, biasanya penuh dengan ikan, sehingga menarik para nelayan untuk memancing di sekitarnya. Ke depan, Hamam berharap kondisi itu tidak lagi memicu aksi vandalisme atau aktivitas yang bisa menimbulkan kerusakan buoy.
2. Untuk perbaikan dan revitalisasi Buoy Tsunami ini dibutuhkan dana khusus sebesar 15M untuk 3 BUOY termasuk pengoperasian selama 1 tahun#PrayForBantenLampung#PemerintahBekerja#BuoyMerahPutih— BPPT RI (@BPPT_RI) December 28, 2018
“Publik harus semakin peduli terhadap pentingnya teknologi untuk membangun sistem peringatan dini yang handal seperti buoy ini. Jika buoy sudah ada, kepada masyarakat dihimbau agar perlunya menjaga bersama, karena ini alat yang dibangun negara supaya tetap selamat,” katanya.
Hammam menjelaskan bahwa buoy yang dipasang 100 sampai 200 kilometer dari pantai dapat mengirimkan informasi data terkini mengenai gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi menimbulkan tsunami. Sinyal itu nantinya akan dikirim ke pusat secara real time dalam hitungan detik, sehingga peringatan dini pun akan muncul.
“Sinyal dari buoy di tengah laut itu akan semakin intens dalam hitungan detik, mengirimkan sinyal ke pusat data sistem peringatan dini secara real time jika ada gelombang yang melewatinya. Semakin tinggi dan kencang gelombang, maka sinyal yang dikirim frekuensinya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik,” kata Hammam.
Secara hitung-hitungan, menurut Hamam, jika kecepatan gelombang tsunami antara 500 sampai 700 kilometer per jam, minimal ada waktu 10-15 menit bagi warga untuk menyelamatkan diri ke tempat penampungan terdekat. Informasi tersebut tentu sangat penting bagi masyarakat yang bermukim di wilayah yang rentan kena terpaan bencana tsunami.
“Masyarakat di pesisir atau wilayah berpotensi tsunami harus memiliki waktu evakuasi yang cukup. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dini yang handal, dalam hal ini buoy disertai teknologi lain seperti kabel bawah laut, maupun pemodelan sebelumnya,” kata Hammam.
Baca Juga: Mengapa Gunung Anak Krakatau Harus Bertanggung Jawab Pada Tsunami Selat Sunda?
Menurut Hammam, BPPT sendiri tidak hanya mengembangkan buoy, tapi juga kabel bawah laut (Cable Based Tsunameter/CBT) untuk meningkatkan akurasi, presisi dan keandalan deteksi dini tsunami. Yang jelas, Hammam berharap rencana tersebut mendapatkan dukungan penuh dari stake holder.
“Saat ini selain persiapan membangun Buoy Merah Putih, BPPT juga telah menyiapkan kabel bawah laut sepanjang tiga kilometer. Kami harap yang kami lakukan ini mendapat dukungan pemangku kepentingan strategis,” ujarnya.
Soal kabel bawah laut atau CBT itu sendiri, Hammam mengatakan bahwa alat itu sudah dikembangkan di beberapa negara dan dimanfaatkan antara lain oleh Kanada, Jepang, Oman dan Amerika Serikat. Dalam forum komunikasi antarperekayasa CBT di seluruh dunia, disepakati juga bahwa teknologi itu merupakan solusi alternatif bagi permasalahan dalam pemasangan buoy seperti biaya yang mahal dan ancaman vandalisme.
Sejauh ini, ada tiga buoy yang membutuhkan revitalisasi dan rencananya akan dipasang di sekitar Pulau Anak Krakatau, Bengkulu, dan arah Pelabuhan Ratu, serta wilayah-wilayah yang diduga merupakan zona subduksi.
Sementara itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menawarkan alternatif alat pendeteksi tsunami yakni laser tsunami sensor (LTS) yang diklaim lebih baik dan awet daripada penggunaan buoy. Penggunaan kabel fiber optik dalam LTS dinilai dapat mempercepat sistem mitigasi. Bahkan, menurut peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widiyatmoko, laser tersebut telah diciptakannya sejak tahun 2005.
Bambang mengatakan salah satu negara yang memiliki dan telah menggunakan LTS adalah Jepang. LIPI juga sebenarnya sudah memiliki LTS yakni LTS jenis fiber brag grating (FBG). “Prinsip kerjanya adalah mengirim cahaya dari darat kemudian ditembakan ke dasar laut, lalu ada sensor di dalamnya yang akan kembali menembakkan cahaya ke pos pantau,” kata Bambang di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu, 2 Januari 2019.
Perlu diketahui, sistem kerja LTS adalah dengan mengirim cahaya melalui fiber optik ke laut dan cahaya balik akan membawa informasi kondisi tekanan hidrostatik yang dirasakan. Kerja LTS sendiri akan mulai ketika terjadi gelombang atau pergerakan air laut yang tidak biasa, di mana sensor deteksi akan membelokan cahaya yang akan menjadi tanda peringatan bahaya tsunami ke pos pemantau.
Bambang mengatakan LTS tersebut lebih efisien dalam menjalankan fungsinya. Selain itu, alternatif alat pendeteksi tsunami itu juga sangat mudah untuk dirawat. “Alternatif sensor tsunami berbasis fiber optik diyakini lebih efisien, mudah dalam perawatan, dan mampu dibuat sendiri,” ucapnya.
Baca Juga: Jepang dan Sederet Cara Ampuh Hadapi Gempa dan Tsunami
Menurut Bambang, LTS sendiri tak memerlukan power supply di tengah laut, tanpa komponen aktif di sensor, karena berada di dasar laut sehingga aman dari pencurian atau terbawa arus, dapat langsung bersentuhan dengan air laut, tidak memerlukan bahan logam di sensor. Bahan logamnya juga disinyalir bisa berkarat yang mengakibatkan tidak berfungsi maksimal pada alat pendeteksi tsunami.
Tak hanya itu saja, LTS juga aman dari gangguan elektro magnetic maupun manusia. Selain itu biaya perawatannya juga murah, meski juga memerlukan biaya yang sangat mahal di awal. Menurut Bambang, biaya yang sangat mahal di awal itu lantaran kabel FO bawah laut dg 4 core seharga US$5 per meter.
Lalu, untuk ukurang panjang yang mencapai sekitar 20 kilometer, harganya diprediksi akan mencapai Rp1,5 miliar. Namun pengembangan alat tersebut membutuhkan pendanaan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, Bambang mengatakan untuk anggaran LTS dapat mencapai Rp5 Miliar per tahun, namun dapat berfungsi selama tiga tahun.
Menariknya, menurut Bambang, LTS sendiri lebih berguna daripada buoy. Ia pun membeberkan sejumlah kendala pendeteksian tsunami yang memakai buoy seperti penentuan lokasi, pemasangan di laut lepas, pengaturan power supply dan juga kendala koneksi jaringan dan proteksi tekanan air.
Tak hanya itu saja, menurut Kepala LIPI Laksana Tri Handoko, buoy biasanya hanya berfungsi sesaat. Jika tidak mati karena karatan oleh air laut, bisa juga buoy tidak lagi berfungsi karena hilang dicuri atau terbawa arus laut.
“Mereka mencari alternatif lain yaitu menempelkan sensor di kabel bawah laut, kabel fiber optik bawah laut sehingga dia tidak rentan gangguan karena tidak ada di permukaan. Salah satunya selain koneksinya juga via optik tidak perlu kabel-kabel lagi,” kata Laksana.
“Paling fungsi sebentar habis itu mati, itu buang duit. Kita juga pasang setelah tsunami Aceh dulu tapi itu sebentar saja buoy itu hilang, belum tentu dicuri orang, (kan) dipasangnya di tengah laut,” ucapnya.