Sepanjang tahun 2018, film-film Indonesia yang tayang di bioskop mempunyai beragam genre film, baik komedi, horor, drama percintaan, sampai action sekalipun. Hal ini tentunya menjadi satu langkah dan perkembangan yang baik. Sebab, sekitar tahun 2000-an, industri film Indonesia hanya didominasi oleh genre horor dengan adegan dewasa. Saat itu bahkan para rumah produksi, seperti Maxima Pictures dengan produsernya Ody Mulya Hidayat bahkan tak segan-segan menyewa bintang film dewasa dari berbagai negara.
Namun perlu diketahui, bahwa dunia perfilman lokal juga punya sejarahnya sendiri. Darah dan Doa, misalnya, sebuah film pertama yang diproduksi Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Pemerintah bahkan menetapkan tanggal mulainya syuting ini sebagai Hari Film Nasional, yaitu pada 30 Maret 1950. Usmar Ismail, sang sutradara, kemudian didaulat sebagai Bapak Film Nasional.
Meski begitu, Darah dan Doa bukanlah film pertama di Indonesia. Gambar bergerak sudah masuk ke Batavia (Jakarta tempo dulu) pada 1990. Sebab, film Indonesia pertama adalah Loetoeng Kasaroeng yang dibuat pada 1926.
“Loetoeng Kasaroeng” adalah film cerita pertama yang menampilkan cerita asli Indonesia,” kata Kristanto dalam bukunya Katalog Film Indonesia 1926-2005.
“Loetoeng Kasaroeng” Legenda dari Sunda
Saat Indonesia masih belum merdeka, film yang diputar di Tanah Air didominasi oleh produksi luar negeri, dengan kisah dan tema cerita khas Eropa atau Amerika. Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan mulai terjadi. Banyak produser perfilman Belanda yang mulai melirik kisah Nusantara sebagai inspirasi cerita.
Salah satunya adalah Loetoeng Kasaroeng, sebuah cerita yang diangkat dari pantun dengan judul yang sama dan memiliki arti ‘Si Lutung yang Tersesat’. Kisahnya tentang gadis bernama Purbasari yang berpacaran dengan seekor lutung. Ternyata lutung itu adalah Guru Minda, pangeran tampan yang dikutuk oleh ibunya sendiri, Sunan Ambu.
Kisah yang populer di kalangan masyarakat Sunda itu kemudian diangkat menjadi sebuah film, dan menjadikan Loetoeng Kasaroeng sebagai film pertama yang mengangkat cerita nusantara dan berlokasi syuting di Indonesia. Namun, film nusantara perdana saat itu masih diproduksi oleh orang Belanda, yaitu L Heuveldorp dan G Krugers dari rumah produksi NV Java Film Company. Uniknya, meskipun sutradara, juru kamera, produser, dan kru lain adalah orang Belanda, penyunting film dan penanggung jawah sinematografinya adalah Muharam Wiranatakusmah V, Bupati Bandung kala itu. Para pelakon dalam film ini adalah orang-orang Indonesia.
Hari ini, 92 tahun yang lalu, tepatnya pada 31 Desember 1926, golongan bawah rakyat pribumi bisa menonton film Indonesia pertama di Kota Bandung. Film itu diputar di dua bioskop yakni Elita dan Majestic. Bangunan Bioskop Elita kini sudah tidak ada. Sementara Gedung Majestic masih berdiri kokoh selama hampir satu abad dan tetap menjadi ikon kawasan Braga. Dengan durasi sekitar satu jam, Loetoeng Kasaroeng diputar di bioskop hingga 6 Januari 1927.
Belakangan cerita Loetoeng Kasaroeng juga difilmkan ulang, masing-masing tahun 1952 oleh Touw Film dan tahun 1983 oleh Inem Film. Selain itu, banyak pertunjukan yang menampilkan cerita ini dalam drama atau panggung ketoprak. Cerita rakyat ini juga kerap muncul dalam buku ataupun televisi Indonesia.
Film-film Tertua di Indonesia
Setahun setelah tayangnya Loetoeng Kasaroeng, ada pula film-film yang melibatkan orang pribumi, baik sebagai pemeran maupun mengambil lokasi di dalam negeri. Seperti film Eulis Atjih, film kedua yang sangat menekankan peran pribumi dalam pemasaran film. Di dalam poster penayangan di Orient Theatre Surabaya, bahkan ditulis bahwa kualitas pemeran pribumi di film Eulis Atjih setara dengan pemeran asal Amerika atau Eropa.
Eulis Atjih bercerita tentang seorang istri setia yang harus hidup melarat bersama anak-anaknya. Ia ditinggal sang suami yang hidup berfoya-foya. Eulis Atjih dirilis pada tahun 1927 dan ditayangkan di Bandung bulan Agustus dan Surabaya bulan September. Film ini diputar bersama-sama dengan musik keroncong yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Kajoon, seorang musisi yang populer pada waktu itu.
Ada pula Lily van Java, film Hindia-Belanda yang diproduksi bulan Juni 1928 ini dikenal juga dengan judul Melatie van Java. Alur filmnya menceritakan seorang putri seorang juragan kaya yang sudah punya kekasih, dan dipaksa menikahi seseorang yang tidak dicintainya. Menurut wartawan Leopold Gan, film ini digemari selama bertahun-tahun sampai filmnya rusak.
Di tahun yang sama, ada pula film Resia Boroboedoer yang diproduksi oleh Nancing Film Corp. Film ini menjadi film pertama yang ditargetkan langsung untuk penonton etnis Cina. Film bisu hitam putih itu menceritakan tentang seorang tokoh bernama Young pei fen yang menemukan sebuah buku resia rahasia milik ayahnya. Dalam buku itu mengungkapkan tentang sebuah bangunan candi terkenal bernama Borobudur, yang menyimpan sebuah harta karun.