Di tahun 1910, salah satu negara bagian Amerika Serikat, Lousiana, mengkaji dan mengusulkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) ke Kongres. RUU yang diusulkan anggota Kongres bernama Robert Broussard ini bukan sekadar RUU biasa. Dalam RUU tersebut, diusulkan untuk ‘mengimpor’ kuda nil dari Afrika ke Lousiana. RUU yang kemudian dikenal dengan istilah RUU Kuda Nil atau American Hippo Bill ini bertujuan dua hal, yaitu mengentaskan kelangkaan daging di Amerika Serikat sekaligus mencari solusi bagi permasalahan eceng gondok di rawa-rawa Lousiana. RUU Kuda Nil tersebut memang tidak berhasil diwujudkan, namun dari satu isu ada yang dapat dipelajari. Masalah eceng gondok ini pernah dihadapi negara bagian Lousiana semenjak lebih dari seratus tahun yang lalu.
Hari ini, kalau saja RUU Kuda Nil kala itu berhasil diwujudkan, mungkin Amerika Serikat saat ini dikenal sebagai negara pemakan kuda nil. Melihat kondisi yang ada sekarang, Amerika Serikat berhasil mengentaskan permasalahan daging mereka. Sayangnya, masalah eceng gondok ternyata masih menghantui negeri Paman Sam ini. Eceng gondok masih dianggap menjadi masalah di rawa-rawa Louisiana.
Masalah di Louisiana belum selesai, di Jakarta malahan sedang mencoba menjadikan tanaman eceng gondok sebagai solusi air kali yang tidak jernih dan bau tak sedap. Pada 3 Desember 2018 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Utara lah yang sedang mencoba jalan keluar ini. Apakah Pemkot Jakarta Utara sudah mengambil keputusan yang benar? Bagaimana fungsi eceng gondok di Louisiana supaya bisa dipelajari Jakarta?
Jadi, eceng gondok ini menjadi masalah di Louisiana karena pertumbuhannya yang hebat di rawa-rawa sekitar St. John. Memang, kalau dilihat secara sekejap, tumbuhan yang tumbuh di permukaan air ini terkesan tidak mengancam dan dapat menambah estetika. Bahkan ketika musim semi, bunga lavender bisa tumbuh di tengahnya. Kembali ke tahun 1800-an, tumbuhan hijau ini sempat digunakan sebagai hadiah bagi para pengunjung paviliun Jepang di World Cotton Exposition di New Orleans, Amerika Serikat.
Melihat hal-hal tersebut, masih belum ditemui kerugian dari bertumbuhnya eceng gondok. Namun ternyata eceng gondok dikategorikan sebagai tumbuhan destruktif bagi perairan yang ditumbuhi. Masyarakat Louisiana saat itu menganggap bahwa eceng gondok itu seperti tikus yang tumbuh di perairan. Apalagi perairan yang ditumbuhi merupakan perairan yang menjalankan fungsi transportasi. Sehingga tanaman itu menghambat laju kapal atau sampan yang lewat.
Mengingat eceng gondok juga merupakan tumbuhan merambat, sudah bisa dipastikan kalau pertumbuhannya akan menutup wilayah perairan. Hal ini yang kemudian dianggap bahwa kehadirannya lebih berbahaya dari sampah. Akibat lain dari merambatnya pertumbuhan eceng gondok, tanaan tersebut bisa menghambat jumlah cahaya yang masuk ke dalam perairan. Kalau hal ini terjadi, tingkat larutan oksigen yang masuk ke dalam air bisa berkurang. Ikan-ikan dan tumbuhan yang hidup di dalam air bisa mati nantinya.
Bagi kehidupan manusia, eceng gondok juga bisa memberi pengaruh negatif. Tanaman yang penampakannya serupa mangkok ini bisa menjadi habitat penyakit yang bisa menyerang manusia, seperti jentik-jentik nyamuk demam berdarah yang memang senang hidup di permukaan air yang tidak mengalir. Dengan adanya kondisi seperti di atas, jelas saja bahwa masyarakat dan pemerintah Louisiana ingin menghilangkan eceng gondok dari perairan mereka. Beragam cara sudah mereka lakukan, namun tetap gagal.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Pemkot Jakarta Utara baru saja menanam eceng gondok di kali penghubung wilayah Sunter. Katanya, ini untuk mengatasi air kali yang kotor dan berbau. Yang perlu diingat, perairan di daerah ini memang terkenal kotor dan bau.
Hal itupun diakui Lambas Sigalingging selaku Kepala Satuan Pelaksana UPK Badan Air Jakarta Utara. Senin kemarin (3/12), beliau mengatakan kepada media bahwa sungai tersebut terlihat berwarna dan banyak partikel. “Persoalan salah satu sungai di Jakarta kan tidak jernih dan banyak partikel, nah sekarang kita uji coba dulu di kali penghubung Bisma, Sunter, Tanjung Priok,” ujarnya. Ya, ini masih uji coba.
Di sisi lain, Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta pada Rabu, 5 Desember 2018, mengaku bahwa beliau sudah menginstruksikan Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI untuk melakukan usaha untuk mengurangi polusi yang terjadi pada banyak kali di Jakarta. “LH diinstruksikan untuk lakukan mitigasi nomor satu adalah mencegah percepatan polusi itu terjadi,” jelasnya pada awak media. Sayangnya, beliau belum menyebutkan langkan pasti yang akan dilakukan pemerintah DKI. Mungkinkah eceng gondok ini menjadi salah satu solusi yang sudah dibicarakan oleh Anies dan jajaran stafnya?
Berkaca dari kasus Louisiana yang masih belum berhasil menuntaskan masalah eceng gondok ini, apakah uji coba ini akan berjalan efektif dan tidak memunculkan masalah lain bagi perairan Jakarta?