Penulis novel tiga generasi Nh. Dini meninggal dunia pada Selasa siang, 4 Desember 2018 setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan pulang dari pengobatan tusuk jarum atau akupuntur. Tiba-tiba, mobil yang ditumpangi dihantam truk.
Perempuan dengan nama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin itu sempat dilarikan ke Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Namun, saat petang sekitar pukul 16.00 nyawanya tak tertolong. Kepala Bagian Humas Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro membenarkan kecelakaan yang dialami NH Dini. Dia menjelaskan NH Dini di sampai UGD Rumah Sakit Elisabeth dalam kondisi tak sadar.
“Terjadi kecelakaan di jalan tol. Ada truk tak kuat menanjak, kemudian mundur dan menabrak kendaraan di belakangnya,” kata Probowatie Tjondronegoro.
Sore ini kita berduka, sastrawan Indonesia Ibu Nh. Dini telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Segenap redaksi Gramedia Pustaka Utama mengucapkan turut berduka cita yg sedalam-dalamnya. Semoga Ibu Nh. Dini mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. #bukugpu foto: @hariankompas pic.twitter.com/qLoKMSh5RN— GramediaPustakaUtama (@bukugpu) December 4, 2018
Kepergiannya pun dibicarakan khalayak umum disebabkan karya tulisnya banyak digemari orang-orang sehingga wajar saja kalau beliau berhasil meraih penghargaan. Hebatnya lagi, beliau bisa menumpahkan curahan hatinya lewat karyanya.
Menulis Puluhan Novel dan Peraih Penghargaan Seumur Hidup
Peran Nh. Dini dianggap sentral sebagai pelopor suara perempuan pada tahun 1960-1980an, di mana saat itu belum banyak perempuan Indonesia yang memutuskan menjadi seorang penulis. Ciri khas novel-novel Dini adalah tokoh utamanya yang hampir selalu perempuan.
Ia sempat dikritisi karena membicarakan tentang perselingkungan dan seks dalam karyanya. Meski pembahasan itu masih dianggap tabu, namun Dini menganggap bahwa cerita tentang perselingkuhan dan seks adalah hal yang biasa terjadi di lingkungan sekitar.
“Mungkin tidak banyak buku pada era itu yang mengangkat tema perselingkuhan, tetapi saya melihat dalam kehidupan nyata banyak perempuan Jawa yang sangat tegas memutuskan berbagai hal dalam hidup, berani menentukan arah hidupnya sendiri,” demikian penjelasan Dini, dikutip dari Antaranews.com, pada Senin, 6 November 2017.
Dini, demikian ia biasa disapa, telah aktif menulis sejak dirinya duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Kini perempuan yang lahir di Kota Semarang pada 29 Februari 1936 itu wafat dengan meniggalkan puluhan novel yang telah ia tulis. Beberapa judul buku yang populer antara lain, Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Hati yang Damai (1998).
Dini adalah peraih penghargaan seumur hidup (lifetime achievement award) dari penyelenggara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Penghargaan itu menjadi satu deretan dengan penghargaan lain yang juga pernah diteirma Dini.
Ia adalah peraih penghargaan Seni untuk Sastra dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun 1989 , Bhakti Upapradana Bidang sastra dari Pemerintah daerah Jawa Tengah 1991, Hadiah Francophonie 2008, Achmad Bakrie Award bidang Sastra 2011, dan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand pada Tahun 2013.
Dini mengaku, hampir selalu menyisipkan cerita tentang dirinya dalam setiap tokoh-tokoh yang ia ciptakan. Seperti dalam cerita di buku Pada Sebuah Kapal, tokoh Sri dalam kisah itu digambarkan sebagai seorang perempuan Jawa yang berani melanggar aturan karena tak lagi nyaman dalam kehidupan berumah tangga. Tokoh Sri kerap disebut-sebut menggambarkan kehidupan Dini bersama mantan suaminya.
Dini sendiri memang menikah dengan seorang Diplomat Perancis bernama Yves Coffin pada tahun 1960. Dalam Cerita Kenangan, diketahui bahwa Yves ternyata suami yang kasar dan pelit. Diplomat Perancis itu hanya mesra dan memuji masakan Dini saat berada di depan koleganya saja. Selebihnya, Yves kerap berkata-kata kasar dan meremehkan pekerjaan Dini sebagai penulis yang dianggap tak berkontribusi apa pun pada anggaran rumah tangga.
Dini bahkan tak pernah tahu berapa gaji Yves. Selama bertahun-tahun, dia hanya menerima uang belanja bulanan sebesar 50 francs, sepertiga uang saku anaknya yang saat itu duduk di sekolah setingkat SMP. Untuk pulang ke Indonesia menengok ibunya yang sakit pun Yves tak mengizinkan Dini, apalagi memberi uang. Dengan tabiat yang demikian, ditambah dengan perselingkuhan suaminya, membuat Dini tak lagi punya kedekatan batin dengan Yves.
Di tengah kekosongan hati itu, dia akhirnya berkenalan dengan Maurice, kapten kapal yang ditemuinya dalam perjalanan laut selama dua pekan. Maurice, sang kapten kapal ternyata juga punya masalah di keluarganya, hal ini terungkap di Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Kebetulan itu membuat Dini dan Maurice akhirnya melakukan pertemuan-pertemuan rahasia mereka, dan dianggap menjadi inspirasi utama dalam novel Pada Sebuah Kapal.
Maurice diceritakan sempat merancang masa depan bersama Dini. Ia berencana akan memboyong Dini dan kedua anaknya, Pierre Louis Padang Coffin dan Marie Claire Lintang Coffin, untuk tinggal bersamanya. Namun rencana itu kandas. Tatkala Maurice mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggal sebulan setelah kecelakaan, cerita ini masuk di Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri, 2008.
Sekitar tahun 1984, Nh. Dini pun berjuang untuk kembali menjadi warga negara Indonesia setelah sidang naturalisasi kewarganegaraan di Semarang. Perjuangan di Indonesia setelah perceraian itu tentunya cukup berat bagi Nh. Dini, selain tak mendapatkan tunjangan apapun dari suami, Dini juga harus rela meninggalkan kedua anaknya yang menjadi hak perwalian suami.
Meski begitu, Nh. Dini tetap tegar menjalani hidup, bahkan ia mampu menambah kumpulan karyanya. Di usianya yang telah senja, Dini masih aktif melukis, menghidupkan sanggar baca yang ia beri nama Taman Bacaan Sekayu, dan tentunya masih rajin menulis. Ia tak pernah mau merepotkan anak-anaknya yang kini telah sukses di kancah internasional, maka dari itu ia lebih memilih hidup di panti jompo.
Hari ini, Rabu, 5 Desember 2018, jenazah Nh Dini rencananya akan disemayamkan di Wisma Lansia Harapan Asri Semarang.