Isu Terkini

Mata Pelajaran PMP yang Erat Kaitannya dengan Orde Baru: Untuk Apa dan Siapa?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Anak sekolah yang akan menjadi masa depan bangsa nampaknya masih sering dijadikan bahan percobaan kurikulum yang lawas dan terkesan kaku. Baru-baru ini saja misalnya, mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) katanya akan dihidupkan kembali. Sebelumnya, mata pelajaran ini diganti namanya sejak 1994 lalu.

“PMP kita akan kembalikan lagi, karena ini banyak yang harus dihidupkan kembali, bahwa Pancasila ini luar biasa buat bangsa kita. Itu mungkin yang akan kita lakukan,” demikian ujar Supriano, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) usai upacara peringatan hari guru di Gedung Kemendiknas, Jakarta Pusat, Senin 26 November 2018.

Memang rencana itu sendiri, kata Supriano, masih dalam tahap pembahasan. Belum jelas apakah ada pengurangan atau penambahan materi PMP yang baru dengan yang pernah dipakai sebelumnya. Perlu diketahui bahwa PMP adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak kepemimpinan Presiden Soeharto atau tepatnya pada 1975.

PMP kala itu hadir menjadi pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang telah masuk dalam kurikulum sekolah di Indonesia sejak tahun 1968. Pelajran PMP sendiri berisikan tentang materi Pancasila, uraian dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan menjadi uraian dalam misi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973.

PMP, Pancasila yang Hanya Sebatas Hapalan

Salah satu warisan Presiden Soeharto di dunia pendidikan yaitu mata pelajaran PMP memang terkesan baik-baik saja. Nyatanya, di tangan rezim Orde Baru, Pancasila sebagai ideologi dasar bagi negara Indonesia hanya sebatas hafalan saja. Lebih dari itu, Soeharto yang dikenal sebagai pemimpin otoriter kerap menggunakan Pancasila sebagai bahan untuk mengancam warganya sendiri yang punya keberanian untuk menentang penguasa.

Setelah orde baru tumbang, istilah yang menggunakan Pancasila disingkirkan. Begitu juga dengan mata pelajaran PMP akhirnya berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), pada era Reformasi. Kemudian di tahun 2003 berubah kembali menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang disesuaikan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003.

Baca Juga: Petrus, Cerita Misterius Orde Baru

Meski demikian, PMP sendiri sebenarnya tidak benar-benar dihapus dari kurikulum pendidikan di sekolah Indonesia. Baik PPKn maupun PKn, semua hanya sekedar pergantian nama belaka. Materi pembelajaran juga berbeda-beda pada setiap jenjang pendidikannya. Di Sekolah Dasar (SD) sendiri, PMP kerap diujikan dengan soal-soal yang bersifat normatif, yang semestinya bukan hanya untuk diujikan secara tertulis.

Misal, ada contoh soal PPKn seperti berikut ini:

Contoh sikap yang baik ketika menghadapi perbedaan pendapat adalah ….
A. Mengutamakan kepentingan pribadi
B. Saling menghargai pendapat
C. Mempermasalahkan pendapat-pendapat
D. Saling berdebat panjang tidak mau kalah

Bagi yang ingin mendapatkan nilai bagus dari guru, tentu tidak akan memilih pilihan A, C, ataupun D. Tapi, dalam kehidupan sehari-hari, belum tentu semua bisa mereflesikan jawaban dari pilihan B.

Rencana Diaktifkan PMP untuk Apa dan Siapa?

Setidaknya ada dua alasan yang cukup menggema di beberapa media belakangan terkait rencana Kemendikbud. Pertama, ada yang mengatakan bahwa mata pelajaran PMP yang ingin dimunculkan kembali itu untuk menangkal isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Seperti yang diketahui bersama, bahwa sejak tahun 1996 silam pemerintah menyatakan bahwa PKI adalah organisasi terlarang.

Namun alasan itu nampaknya hanya sekedar dengungan belaka dan tidak ada satupun yang menyatakan demikian. Isu kebangkitan PKI sendiri sampai saat ini tidak pernah bisa dibuktikan secara nyata. Kita dapat menyimpulkan bahwa desas-desus kebangkitan PKI hanya sekedar propaganda para politisi yang sengaja menebar ketakutan demi mendapatkan perhatian dari berbagai partisan. Sehingga, isu kebangkitan PKI sangat tidak cocok jika dijadikan alasan untuk PMP yang ingin diaktifkan kembali.

Baca Juga: Titiek Soeharto dan Pernyataannya untuk Kembali pada Era Orde Baru Jika Prabowo Menang

Lalu ada alasan kedua yang memang disampaikan oleh Supriano maupun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Mereka mengatakan bahwa PMP menjadi satu cara untuk mencegah radikalisme yang rawan tumbuh di sekolah. Hal ini bisa dibenarkan, karena beberapa berita telah mengungkapkan indikasi masuknya radikalisme agama ke sekolah-sekolah.

Tapi perlu digaris bawahi juga, adanya laporan mengenai siswa sekolah yang terkena paham radikalisme itu bukan berarti kekurangan mata pelajaran dan membutuhkan mata pelajaran PMP. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai banyak hal menjadi penyebab seorang anak terpapar paham radikalisme.

“Hilangnya rasa keadilan dan nilai kemanusiaan menjadi penyebab, termasuk semakin suburnya tindakan intoleransi dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama, intoleransi politik, kurangnya kesadaran akan pentingnya good governance, rasa teralienasi dan keinginan diakui serta minimnya pemahaman keagamaan yang damai dan toleran,” terang Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara saat konperensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat, 23 November 2018 kemarin.

Ya, itu artinya pemerintah punya andil dalam menangkal radikalisme. Caranya, dengan memastikan sistem pendidikan nasional berjalan dengan baik di sekolah-sekolah. Bukan malah menambah mata pelajaran usang yang sifatnya hanya formalitas belaka. Para siswa sekolah sendiri memang perlu memahami dan memegang teguh Pancasila sebagai ideologi bernegara, tapi bukan berarti PMP menjadi satu-satunya kunci dalam menangkal radikalisme itu sendiri. Apalagi menjadikan PMP sebagai alat untuk mengembalikan keotoriteran penguasa.

Share: Mata Pelajaran PMP yang Erat Kaitannya dengan Orde Baru: Untuk Apa dan Siapa?