General

Petrus, Cerita Misterius Orde Baru

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Petrus atau Penembakan Misterius adalah salah satu sejarah yang sulit dilupakan orang-orang terkait era Orde. Rentetan peristiwa Petrus ini menjadi momok menakutkan bagi orang-orang yang berlatar belakang dan memiliki rekam jejak dalam dunia kriminal. Seperti apa Petrus terjadi kala itu?

Petrus sendiri merupakan suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an yang bertujuan memberantas tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Secara umum, Petrus adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.

“Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan ya, mau tidak mau ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak,” kata Soeharto dalam buku biografinya “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989)” yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.

Bahkan, sebagai bentuk shock theraphy, korban yang dibunuh dan sudah jadi mayat, kemudian sengaja dibuang dan tergeletak di pinggir jalan agar bisa disaksikan banyak orang. Hal itu juga untuk membuat jera preman lain.

“Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan ini dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas kemanusiaan itu,” ucap Soeharto.

Operasi Petrus sendiri pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui langsung oleh M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali  [Gabungan Anak Liar red.] (Kompas, 6 April 1983), Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S, Memet yang punya rencana mengembangkannya (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain. Hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Namun, pelaku yang terlibat dalam peristiwa Petrus ini tak jelas dan tak pernah tertangkap. Operasi Petrus itu sendiri berawal dari tahun 1980-an, di mana saat itu aparat keamanan memang tengah menghadapi situasi genting. Kala itu, aksi preman jalanan atau gali memang menjadi makin marak. Aksi gali ini disebut-sebut sempat mengganggu roda perekonomian.

Operasi Petrus Berlangsung Tertutup

Presiden Soeharto memerintahkan agar segera dibentuk tim yang beranggotakan aparat TNI/Polri (saat itu ABRI) untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para tindak kejahatan yang semakin marak dan merugikan. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.

Kemudian, pada Maret di tahun yang sama, Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas di hadapan Rapim ABRI. Lalu, dalam pidatonya pada 16 Agustus 1982, ia masih menyampaikan hal yang sama. Akhirnya, permintaannya itu disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983.

Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya. Operasi Clurit itu merupakan operasi pemberantasan kejahatan.

Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Soedomo dalam operasi tersebut. Soedomo, dalam pernyataannya yang dimuat Sinar Harapan, 27 Juli 1983, menyatakan bahwa operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya.

Jumlah Korban Tewas Operasi Petrus di 1983

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Lalu, pada tahun 1985, tercatat ada 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.

Kala itu, para korban Petrus sendiri ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Tak hanya itu saja, sebagian besar korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, hingga kebun. Korban juga banyak yang diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Pada akhirnya, operasi Petrus tetap saja memicu pro dan kontra. Ada yang menyoroti pesan yang ditujukan kepada para pelaku kejahatan lain. Selain itu ada juga yang menyebut bahwa operasi itu sangat kejam. Hal ini dikarenakan aksinya terkait moralitas, etika, dan hak sosial. Namun, pihak tentara sendiri merasa tidak perlu mempermasalahkan soal kematian misterius para penjahat, karena yang paling penting adalah soal keselamatan dan keamanan 150 juta rakyat Indonesia saat itu.

Misalnya saja Kepala Bakin Yoga Soegama yang menegaskan bahwa tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius (Sinar Harapan, 23 Juli 1983). Sementara itu, mantan Wapres H. Adam Malik angkat bicara dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi penembakan misterius tersebut (Terbit, 25 Juli 1983).

“Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” kata Adam Malik.

Tak hanya itu saja, pihak Amnesti Internasional juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan kontroversial pemerintah Indonesia tersebut. Sayangnya, surat Amnesti Internasional tak dianggap oleh pemerintah.

‘Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan, mengenai adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan ini itu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” kata Yoga Sugama seperti dikutip dari Harian Gala, 25 Juli 1983.

Cerita Korban Selamat dari Hantaman Petrus

Memang ada ribuan korban yang meregang nyawa dari operasi Petrus. Namun, ada pula sedikit orang yang ternyata berhasil selamat. Salah satunya adalah Bathi Mulyono, seorang ayah yang meninggalkan anaknya bertahun-tahun, lantaran memutuskan untuk bersembunyi di hutan gunung Lawu demi menghindari Petrus.

Pada Juli 1983, Bathi Mulyono sedang mengemudikan mobil Toyota Hardtop melewati melintasi jalan Kawi, Semarang. Namun, tiba-tiba peluru menyasar ke arah mobilnya yang berasal dari dua motor yang menyalipnya dengan deras. Spontan, Bathi pun langsung memacu pedal gas mobilnya dan selamat.

Sejak kejadian pada malam itu pun, Bathi menghilang tak berbekas dan memutuskan tak kembali ke rumah meski istrinya, Siti Noerhayati, tengah hamil tua. Ternyata, Bathi memutuskan untuk bersembunyi dari operasi Petrus Sejak saat itu, ia hidup nomaden dan bersembunyi di Gunung Lawu.

Lalu, Bathi baru berani turun gunung dan keluar dari persembunyian pada 1985, setelah operasi Petrus mulai reda. Bathi memang bukan sembarang preman karena ia diketahui sebagai sosok pimpinan Fajar Menyingsing, organisasi eks Bromocorah yang eksis di Jawa Tengah sebelum ramai soal Petrus.

Yayasan Fajar Menyingsing merupakan organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan pemuda di daerah Jawa Tengah. Organisasinya  itu didukung oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjojo. Dengan “restu” elit penguasa daerah, Bathi menjalankan bisnisnya mulai dari jasa broker sampai dengan lahan parkir di wilayah Jawa Tengah.

Setelah saling-silang pendapat di masyarakat dan tekanan dunia internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru menghentikan sama sekali operasi tersebut pada 1985. Sejak dimulai pada pengujung 1982 sampai dengan berakhir ada sekira seribu lebih korban tewas. Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), puncak tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan jumlah 781 orang tewas.

Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat. Bahkan, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH menyatakan, jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan.

Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).

“Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan,” kata Ketua Yayasan LBH (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).

Komnas HAM melalui tim Ad Hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat menyatakan, peristiwa petrus merekomendasikan kedua hal pada pemerintah terkait. Dua hal tersebut adalah meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan penyidikan sesuai ketentuan KUHAP dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Selain itu, Presiden dan DPR diminta mempercepat proses hukum dengan memberlakukan asas retroaktif yang diatur Pasal 43 UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM.

Share: Petrus, Cerita Misterius Orde Baru