Dalam satu minggu terakhir, kita dikagetkan dengan kabar seseorang yang tega menghabisi satu keluarga di Bekasi, Jawa Barat. Pelaku sendiri sudah berhasil ditangkap polisi pada Rabu malam, 14 November 2018 kemarin. Dua hari setelahnya, pelaku langsung ditetapkan sebagai tersangka.
Dari hasil pemeriksaan, tersangka bernama Haris Simamora mengaku telah membunuh satu keluarga. Ada empat korban meninggal yang terdiri dari dua anak-anak, satu kepala rumah tangga yang bernama Diperum Nainggolan (38) beserta istri Maya Boru Ambarita (37) yang merupakan saudara sepupu dari tersangka.
Diketahui pula bahwa motif pembunuhan itu karena faktor sakit hati. Menurut keterangan pelaku, sang korban Diperum Nainggolan kerap membentak dan menghinanya. Bahkan pada adegan ke-6 pra rekonstruksi yang dilakukan saat Senin, 19 November 2018 kemarin, Kanit Resmob Polda Metro Jaya Kompol Malvino membeberkan ucapan korban sebelum akhirnya dihabisi tersangka.
“Adegan ke-6 Diperum ngomong pake bahasa Batak yang artinya, kamu tidur aja di belakang sana, kaya sampah aja kamu,” ujar Malvino saat prarekonstruksi di Polda Metro Jaya, Senin, 19 November 2018.
Singkat cerita kita bisa mengetahui bahwa rasa sakit hati bisa berujung pada pembunuhan sadis. Namun apakah membunuh menjadi salah satu langkah yang tepat dalam menyalurkan rasa dendam yang selama ini dipendam?
Nyatanya, menurut psikolog Dra. Tika Bisono, M.Psi.T pembunuhan adalah wujud dari sikap anti-sosial sekaligus agresifitas yang tinggi. Maksudnya adalah, pelaku pembunuhan itu kemungkinan tidak memiliki kemampuan untuk berkompromi atau mengikuti aturan dari orang lain. Sehingga yang dianggap benar hanyalah ketentuan yang ia buat sendiri, dan hal inilah yang dinamakan anti-sosial.
Mendengar keterangan tersangka yang merasa sakit hati dengan korban, menurut Tika bisa jadi karena memang sang korban merupakan orang yang memiliki sikap tegas. “Bisa-bisa bukan jahat, tapi mungkin ya sikap tegas, atau nuntut disiplin misalnya. Tapi ya dia (tersangka) enggak bisa terima semua itu karena yang ada di dia adalah ‘my rule’ jadi hanya ada aturanku, gitu,” ujar Tika pada Asumsi.co melalui saluran telepon, Senin, 19 November 2018.
Hingga akhirnya agresifitas itu muncul dan terjadilah pembunuhan. Agresifitas itu sendiri, kata Tika, adalah bentuk ketidakmatangan mental dari proses yang panjang. Misalnya, ada seseorang yang sejak kecil hingga tumbuh dewasa tidak pernah merasakan kebanggaan dan kebahagiaan pada dirinya sendiri, maka akan timbul perasaan yang terlalu sensitif.
“Tapi membunuh itu sama sekali bukan reaksi amarah sebenarnya kalo secara normatif,” tegas Tika yang juga merupakan pendiri lembaga konsultan sumber daya manusia Tibis Sinergi.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap manusia tentunya punya berbagai perasaan di dalam batin, seperti sedih, bahagia, takut, dan juga marah. Namun kerap kali emosi ditunjukkan sebagai bentuk yang negatif dan tidak menyelesaikan masalah apapun. Padahal, menurut penjelasan Tika, amarah bisa saja berujung pada perubahan yang positif.
Dosen psikologi di Universitas Mercu Buana itu menerangkan bahwa manusia sebenarnya memang perlu menyalurkan amarahnya. “Tapi marah yang baik, memiliki tujuan yang jelas, kemudian memiliki alasan yang jelas, dan harus konstruktif, sehingga ada dampaknya, orang yang terkena amarah itu mengalami kesadaran.”
Maka dari itu, amarah yang baik akan sangat jauh dari perilaku mematikan, tapi justru mampu membuat sebuah perubahan. “Maaf ya, sorry ya, gue enggak sengaja, jadi ada rasa remorse, remorse itu penyesalan, marah yang baik itu kaya gitu,” tutur Tika memberi contoh.
Namun jika diri sendiri tidak bisa mengendalikan emosi, maka tragedi pembunuhan keji bisa saja terjadi, seperti yang dilakukan oleh tersangka Haris Simamora. Ia seakan sudah tidak bisa membedakan mana orang-orang yang perlu menjadi luapan emosinya, sehingga anak-anak pun harus ikut menjadi korban.
“Nah ini yang membedakan orang-orang secara umum, dengan mereka yang memang mengalami sindrom atau penyimpangan,” ujar Tika.
Meski masih dalam tahap pemeriksaan namun tersangka Haris Simamora telah terancam hukuman mati. Hal ini berdasarkan keterangan dari Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Wahyu Hadiningrat yang mengungkapkan bahwa Haris Simamora dikenakan Pasal 365 ayat 3, 340, dan 338 KUHP.
Meski begitu, menurut Tika, hukuman itu tidaklah cukup untuk semua pelaku kejahatan, termasuk pembunuhan yang dilakukan Haris. Sebab, rata-rata dari mereka yang melakukan pembunuhan karena memang dalam kondisi mental yang rusak, gangguan kejiwaan, pola pikir, kepribadian, dan emosi.
“Makannya gue selalu bilang, harus selalu ada pendampingan psikologis, karena dia (tersangka) pada akhirnya harus dibuat sadar dan tahu kenapa dia dihukum. Kalau nanti hukuman mati juga, dia menjadi manusia sadar, ‘saya tuh sudah jahat sekali dan saya akan menebus kesalahan saya’, nah inilah kesadaran itu yang lebih mulia,” ungkap Tika.