Budaya Pop

Budaya Lokal, Kesan Vulgar, dan Iklan yang Panjang Hilang dari Sinetron Indonesia

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

“Aduh Beh, Beeh.. nyangkut nih, Beh… Tolong Atun Beh, Atun kejepit nih be huhuu, sakit nih Beh…”

Apakah ada dari kalian yang familiar dengan potongan kalimat di atas? Kalau enggak, potongan kalimat di atas adalah potongan kalimat yang berasal dari salah satu adegan paling terkenal di sinetron Si Doel Anak Sekolahan, yang dulu tayang di RCTI di tahun 1980-an hingga 1990-an dan begitu terkenal. Di adegan tersebut, digambarkan kalau Atun terjepit tanjidor milik Doel, akibat Atun yang secara iseng-iseng memainkan tanjidor milik abangnya tersebut.

Dari potongan kalimat ini saja, terdapat banyak hal yang bisa dipelajari dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan ini. Salah satunya adalah bagaimana sinetron tersebut tidak meninggalkan tanjidor sebagai salah satu alat musik khas budaya betawi, kebudayaan yang memang menjadi kebudayaan dominan di sinetron tersebut. Tidak hanya di sinetron Si Doel Anak Sekolahan, penggambaran budaya lokal pun terdapat di berbagai sinetron lain seperti sinetron Siti Nurbaya atau Sengsara Membawa Nikmat yang menggambarkan konflik di cerita dengan balutan budaya Minangkabau.

Namun apa yang terjadi saat ini? Sinetron di televisi arus utama Indonesia telah mengalami homogenisasi modernitas yang akut. Ketika berlatar belakang Jakarta, sebuah sinetron yang diproduksi cenderung lebih memilih untuk menggambarkan kehidupan modern nan kosmopolitan di Jakarta, alih-alih menggambarkannya dengan kebudayaan Betawi. Beberapa sinetron dan ftv yang melakukan pengambilan gambar di luar kota pun tetap sama. Beberapa sinetron dan ftv menggambarkan kota Jogjakarta dan Bali sebagai latar belakang utamanya. Namun, alih-alih menggambarkan kebudayaan lokal, ftv atau sinetron tersebut menggambarkan ceritanya dengan nuansa modern, tanpa sama sekali menyinggung budaya lokal yang ada di daerah tersebut.

Selain budaya, sebenarnya ada dua hal lain yang juga sudah menghilang dalam sinetron di Indonesia. Yang pertama adalah sisi vulgar yang ditampilkan dalam sinetron. Beberapa waktu ke belakang ini, lembaga sensor film Indonesia begitu getol untuk melakukan pengecekan. Sehingga segi vulgar yang dulu pernah menghiasi layar kaca Indonesia di tahun 1980 dan 1990-an sudah menghilang. Dulu, sinetron terkenal Warkop DKI bisa dengan mudahnya menggambarkan keterbukaan lewat candaan-candaannya di dalam sinetron. Pakaian pun jauh lebih minim dari sekarang. Meskipun minim, lembaga sensor film tidak menyensor satu piksel pun. Sekarang? Jangankan berpakaian minim, belahan dada sedikit terlihat saja langsung disensor! Anehnya, terkadang belahan dada kartun pun ikut disensor. Entah dengan alasan apa.

Selain visual, tingkat vulgar sinetron zaman dulu juga terlihat dalam judul-judulnya. Beberapa judul ambigu karya Warkop DKI seperti Makin Lama Makin Asyik, Atas Boleh Bawah Boleh, atau Saya Suka Kamu Punya, dulu begitu bebas dan tidak menjadi masalah. Sekarang, judul-judul ‘nyentil’ seperti karya Warkop DKI sudah tidak terlihat lagi.

Terakhir, sinetron yang tayang hari ini juga cenderung monoton dengan nuansa cinta-cintaan anak muda, berbeda dengan sinetron zaman dulu yang cenderung mengangkat alur cerita yang lebih tidak monoton dan cenderung menginspirasi, di tengah keterbatasan kualitas produksi. Sebut saja Jin dan Jun yang menggambarkan cerita tentang kehidupan seseorang dengan jinnya, Keluarga Cemara dan Si Cecep yang menggambarkan nilai-nilai penting dalam kehidupan (dan dijamin sedih kalau ditonton), atau Bajaj Bajuri yang menggambarkan kisah kehidupan seorang tukang Bajaj yang dibalut dengan nuansa komedi. Hari ini? Setiap ftv dan sinetron yang tayang di televisi arus utama pasti mengusung cerita tentang percintaan anak muda. Memang sih, ada sinetron seperti Tukang Ojek Pengkolan yang ceritanya tidak begitu monoton. Namun, penggambarannya yang masih cukup monoton dengan nuansa modern Jakarta, membuat sinetron tersebut tidak begitu berbeda dibandingkan yang lainnya.

Share: Budaya Lokal, Kesan Vulgar, dan Iklan yang Panjang Hilang dari Sinetron Indonesia