Mega proyek Bukit Algoritma menjadi sorotan luas dalam beberapa waktu terakhir. Sebuah rencana pembangunan dan pengembangan industri teknologi 4.0 yang berlokasi di Cikidang dan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, itu disebut akan menghabiskan dana senilai Rp 18 triliun, di atas lahan seluas 888 hektar.
Bukit Algoritma tidak lepas dari cibiran publik. Sebagian menilai proyek itu hanya akan menjadi angan-angan belaka. Apalagi, mega proyek itu diharapkan bisa mengikuti jejak Silicon Valley di California, Amerika Serikat.
Asumsi.co berbincang dengan Budiman Sudjatmiko, politikus PDI Perjuangan sekaligus sosok di balik ide pembangunan Bukit Algoritma. Menurutnya, anak-anak muda Indonesia sudah banyak yang menorehkan prestasi dan menciptakan inovasi di kancah global. Oleh sebab itu, perlu tempat layak untuk berkembang di tanah air.
Meski banyak mendapat kritikan atas ide besarnya itu dan dianggap hanya mengawang-ngawang, Budiman tak peduli dan akan tetap merealisasikan gagasannya tersebut. Ia bercerita banyak hal. Berikut petikan obrolannya:
Bagaimana rupa dan wujud Bukit Algoritma, ide hingga tujuannya ke depan?
Bukit Algoritma ini adalah tahap ketiga dari dua tahap sebelumnya yang saya dan kami lakukan ya, yaitu Bukit Algoritma itu adalah sebuah tempat untuk kita kumpulin, terutama anak-anak muda Indonesia, yang bertahun-tahun ini, baik itu di kampung maupun di kampus, baik itu di kampus dalam negeri maupun juga kampus luar negeri, yang sudah kita kumpulin di tahun 2018.
Waktu itu kita bikin Innovator 4.0. Mereka ini banyak yang sudah bekerja di perusahaan-perusahaan besar luar negeri, bahkan ada yang bekerja di NASA, bikin proyek riset pertanian untuk di bulan, ada di Tesla, Facebook, Cambdridge, MIT dan sebagainya, tapi pada milih pulang ke Indonesia.
Tapi saat pulang, mereka bingung. Kebanyakan pekerjaan yang mereka jalani itu sifatnya administratif, nggak kepake betul keahlian yang sudah mereka peroleh dengan biaya negara yang besar, sampai gelar doktor di universitas-universitas terkemuka di dunia.
Nah, kemudian, ya, keluh kesah itu kita dengar di 2018, ya udah saya janji sama mereka, saya akan coba carikan ekosistem. Kita buatkan ekosistem yang memungkinkan kalian bisa mengekspresikan dan menggunakan ilmu yang kalian pelajari. Itu tahap keduanya.
Tahap ketiganya kita bikin Bukit Algoritma. Kebetulan saat kita sedang merencanakan itu, ada orang yang memiliki tanah, yang memiliki ide yang sama, dan sudah berproses secara administratif mengajukan wilayah sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK), sudah dapat dukungan Pemkab Sukabumi dan Pemprov Jabar.
Baca juga: Mega Proyek Bukit Algoritma: Mimpi ‘Terjal’ Wujudkan Silicon Valley Indonesia | Asumsi
“Mas, ini agak mentok nih, kami nih. Mas Budiman ambil alih saja, agar ini jadi sesuatu. Tolong mas Budiman carikan sumber daya manusianya, nanti yang ngisi siapa saja tuh”.
Kedua, carikan investornya. Ketiga, tolong buatkan ekosistem nanti agar produk-produk inovasi yang akan dibangun di sini yang sudah disediakan tanahnya seluas 888 hektar bisa laku dan dikonsumsi oleh orang Indonesia.
Karena ini adalah produk inovasi di Indonesia, oleh orang Indonesia. Saya bilang, bahwa kami sudah buat ekosistem, talenta-talenta tadi, anak muda tadi, kita terus kumpulkan anak-anak muda Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.
Dan sebelumnya, pada tahap pertama, kita sudah bantu juga kan desa dengan keberadaan UU Desa, untuk mengelola dana desa, mengelola badan usaha milik desa, mengelola sistem informasi desa, dalam UU Desa itu.
Nah supaya nyambung nih, antara desa yang sudah punya dana, badan usaha dan sistem informasi desa. Kemudian tahap kedua adalah orang-orang Indonesia yang tadi itu dan ketiga, tempat mereka ngumpul. Jadi ini adalah tiga tahap yang saling berkaitan.
Apakah megaproyek Bukti Algoritma, yang disebut bakal mirip Silicon Valley di AS, itu hanya sebuah gimmick seperti yang dikatakan banyak orang?
Pertama, saya nggak jago bikin gimmick dan beberapa kerjaan saya sebelumnya juga nggak berhenti di gimmick ya. Kebiasaan saya dan teman-teman itu sederhana aja, kita melakukan sesuatu yang besar.
Sesuatu yang banyak orang mustahil atau susah, tapi kita yakin bahwa ini bisa diwujudkan. Syaratnya tiga, yaitu ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyatu dengan jejaring sosial ekosistem dan menyatu dengan para perintis dan pelopornya, yang nggak mata duitan, nggak kemaruk ya.
Yang betul-betul fokus, punya passion, punya hasrat dan tidak berpikir untuk memperkaya diri atau mencari untung di depan, nggak. Kita lakukan bareng-bareng.
Metode ini saya lakukan di beberapa momentum peristiwa. Ya, peristiwa politik, ekonomi, peristiwa teknologi, ya, ternyata ampuh dan mudah-mudahan, dengan adanya hamparan tanah yang luas, sumber daya manusia yang tersedia.
Lihat juga: Pangeran, Mingguan: Budiman Sudjatmiko Bicara Gagasan dan Jabatan
Dan sebenarnya juga kawasan itu sudah kerjasama MoU dengan IPB. kita akan kasih 25 hektar, dengan ITB 25 hektar, dengan Unpad 25 hektar, supaya mereka membangun lembaga riset bersama-sama kita.
Juga ada kampus-kampus lain, dari luar negeri juga ada, sudah kita lobi untuk bikin lembaga riset. Perusahaan-perusahaan (ikut bikin lembaga riset), tentu saja. Jadi, beberapa investor sudah datang dan mudah-mudahan sih kita akan kawal terus ini ya, bukan saya sendiri tapi ekosistem, kita akan kawal terus supaya ini terwujud.
Apakah ini hanya trik marketing properti, seperti jualan properti dan tanah?
Seperti yang saya katakan tadi, kita menjual ide. Menjual ide ini adalah bagian dari ide-ide sebelumnya yang sudah terwujud. Bagaimana desa punya dana, itu sudah terwujud.
Kemudian, bagaimana orang-orang Indonesia coba kita kumpulkan di dalam maupun di luar negeri, sudah terwujud, belum semuanya.
Nah ini juga ide, terwujud. Ya kalau kita mau jualan properti semata-mata ya ngapain pakai ngumpulin-ngumpulin ekosistem di desa, pakai manggil, ngajak orang-orang Indonesia yang hebat-hebat, yang sudah di luar negeri, yang bahkan sebagian sudah mapan sebenarnya dengan pekerjaan mereka, tapi mereka punya rasa cinta pada Indonesia.
Mereka tahu rasanya menjadi orang Indonesia, yang di luar negeri, yang ketika negara tempat mereka tinggal berinovasi, “Kok bangsaku masih ketinggalan, gitu ya”. Sementara mereka didanai oleh beasiswa dari negara. Sebagian ya, tidak semuanya.
Nah, ada kegelisahan itu yang coba kita tangkap, kita kumpulkan dan mereka mau seberapa persen nanti akan mau datang, ya kita lihat nanti sampai terwujud, karena itu janji saya, harus diwujudkan dulu.
Jadi kalau sekadar properti, ngapain kita ngumpul-ngumpulin tadi? Ada ahli quantum computer, ada ahli nano technology, ada ahli rekayasa genetik, ada ahli robotik, ada ahli nano satelit, segala macam ya, yang mereka sudah kerja di perusahaan-perusahaan besar dunia ya.
Jadi, kalau ini sekadar bisnis perumahan ya, tentu kita nggak bicara itu ya. Karena investor yang datang juga adalah mereka-mereka yang juga punya visi teknologi. Syaratnya ada dua yang mau berinvestasi di sini, dia harus membuat terobosan teknologi, kedua harus punya dampak sosial yang besar.
Apa pertimbangannya memilih lokasi Bukit Algoritma di Kabupaten Sukabumi? Karena secara geografis, menurut BMKG, lokasinya diapit dua sesar aktif yakni Sesar Citarik dan Sesar Cimandiri, sehingga rawan gempa. Bukannya untuk melakukan pembangunan harus ada pertimbangan resiko bencana alam?
Seluruh wilayah Indonesia itu rawan gempa. Kalau itu pertimbangannya, tidak akan pernah ada pembangunan di Indonesia. Di Indonesia itu semuanya rawan gempa, kita berada di Ring of Fire ya.
Di situ memang ada gunung, ya, tapi memang gunung udah mati. Gunung Pangrango, Gunung Gede dan Gunung Salak. Jadi, seluruh wilayah Indonesia itu rawan gempa, tapi kan sudah lama terjadi gempa itu, entah berapa puluh ribu tahun yang lalu, ya.
Jadi memang kita memilih di sana karena memang itu tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat-pusat teknologi, Bandung, Bogor, Depok. Apalagi lewat jalan tol, kira-kira dari Jakarta itu cuma paling satu setengah jam saja.
Nah, kita tahu bahwa kayak Silicon Valley di Amerika Serikat, di Bay Area itu, itu daerah rawan gempa juga. Di California kan terkenal juga rawan gempa. Tapi tidak menghalangi.
Sehingga, kemudian, masukan dari BMKG bahwa ini harus membangun bangunan yang tahan gempa, itu masukan baik. Jepang juga adalah negara yang sangat rawan gempa, sama seperti Indonesia.
Baca juga: Menunggu Aksi Partai Rakyat Demokratik di Era Reformasi | Asumsi
Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk kemudian mwmbangun teknologi kan. Jadi, menurut saya, keadaan alam tidak menghalangi Jepang, tidak menghalangi orang-orang di California dan tentu saja tidak menghalangi orang-orang di Sukabumi, untuk mereka ada dalam sejarah dunia inovasi science teknologi ini.
Silicon Valley itu kan dibangun dalam rangka membawa teknologi menuju puncaknya.
Apakah Indonesia sudah bisa memikirkan puncak dari teknologi ketika masih memiliki jarak dengan negara lain soal teknologi dan masih dianggap gagap terhadap teknologi?
Rusia dulu, pada zaman Tsar, adalah negara terbelakang. Kemudian setelah Revolusi Bolshevik, mereka mengejar ketinggalan, negara agraris terbelakang. Dalam waktu 1917 hingga 1937 mereka memacu industri.
Kemudian Amerika juga dulu negara biasa-biasa aja. Kemudian mereka bertarung di Perang Dunia I menang, Perang Dunia II juga menang. Jepang juga dulu negara tertutup.
India juga sampai sekarang, maaf, di India banyak tradisi. Orang juga masih tradisional, ya, tapi tidak menghalangi India untuk melahirkan putra-putra terbaik dan sekarang memimpin banyak perusahaan teknologi di Amerika, banyak negara lain juga.
Jadi problem itu ada untuk kita pecahkan masalahnya. Bukan kemudian problem sendiri, solusi sendiri dan kemudian nggak nyambung. Nah, yang kita tawarkan, menurut perspektif kami, ini adalah solusi agar orang Indonesia tak gagap teknologi.
Agar orang Indonesia juga bisa dikondisikan untuk berpikir kritis, berpikir analitis, berpikir ilmiah. Suatu saat, ya, harus itu karena waktu itu enggak banyak ya, 24 tahun lagi di tahun 2045.
Seluruh dunia akan mengalami era yang disebut era singularitas atau singularity. Apa itu era singularitas? Di mana mesin, handphone, jam, kacamata, atau apapun yang melekat di tubuh manusia atau di rumah kita, itu akan berpikir lebih cerdas, cepat, tepat, akurat, memecahkan masalah daripada kecerdasan seluruh umat manusia digabung jadi satu. 24 tahun lagi, enggak terlalu lama.
Saya ingin ketika ini terjadi, saya melihat ada Indonesia di situ, yang memberikan kontribusi, karena saya khawatir, di masa itu, hanya ada sedikit negara saja yang masih relevan, yang lainnya hanya negara papan nama.
Negaranya, sih, masih ada, tapi cara berpikirnya, makannya, rumahnya, hanya dapat dengan membeli dari produk lain. Kita boleh saja membeli, yang kita nggak bisa atau kita nggak mau. Bukan soal nggak bisa lagi, tapi soal nggak mau.
Kalau kita bisa, mau memilih beberapa teknologi yang memang menurut kita penting untuk dikuasai Indonesia, saya harap, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan banyak untuk membangun negara.
Ada yang menyarankan (CEO Triplogic Oki Earlivan Sampurna), jika ada dana puluhan triliun saat ini yang akan dialokasikan ke pembangunan Bukit Algoritma, lebih baik digunakan untuk belanja riset. Bagaimana itu?
Itu masukan bagus. Tapi, bagi kami, belanja riset itu, kalau kita bisa memproduksi riset, kenapa harus belanja? Kenapa harus beli? Dan di Indonesia, nggak kekurangan orang yang cerdas.
Ketika kita bikin Inovator 4.0 pada 2018, hanya dalam satu bulan kita kumpulin 211 orang. Hanya dalam satu bulan. Artinya, sebenarnya, mudah mencari orang cerdas di Indonesia, baik yang sudah pulang ke Indonesia, maupun yang masih di luar negeri.
Kalau nggak gitu, kalau mereka belajar segala macam dibiayai negara dan kemudian ujungnya hanya menjadi importir. Belajar teknologi quantum, belajar artificial inteligence, ketika bekerja, akhirnya ia tidak meriset itu, malah belanja riset orang lain.
Menurut saya kenapa nggak di balik? Kenapa kita nggak buat dan orang Indonesia mampu dan biarkan orang lain membeli belanja riset dari kita.
Karena tujuan kita bikin Bukit Algoritma ini adalah memproduksi riset dan paten yang, nanti itu, bisa dipakai oleh industri, di dalam negeri maupun luar negeri, dan juga dipakai untuk masyarakat desa, yang sekarang sudah punya pendapatan dengan badan usaha milik desa atau dari dana desa. Supaya mereka (masyarakat desa) bukan sekadar membangun infrastruktur fisik, jalan, jembatan, gapura, gitu, ya.
Tapi juga mulai berpikir untuk, bahkan, berinvestasi dari desa-desa.
Kalaupun ngotot dibangun, ekonom berharap Bukit Algoritma punya fasilitas supercanggih. Sebab, tanpa bukit ini, ekosistem start-up disebut tetap berkembang alamiah di Bandung, Yogya, Malang, hingga Jakarta. Apakah bisa Bukit Algoritma tumbuh sesuai ekspektasi, bisa lebih canggih dari ekosistem start-up di beberapa kota besar tadi?
Persis yang kita mau bangun di Bukit Algoritma itu ada dua jenis ya, satu, ya, memang untuk start-up, untuk tenant, penyawa, apapun, dari luar negeri dan dalam negeri, dari masyarakat boleh.
Tapi, tentu juga, ada pusat-pusat riset yang maju, seperti teknologi quantum, kecerdasan buatan atau quantum machine learning, nano tecnology, kemudian juga biotechnology, berkaitan dengan kesehatan, pertanian, segala macam, biologi molekuler, juga neuro science di situ.
Kemudian ada juga untuk semikonduktor, bagaimana cara membuat chip, juga teknologi penyimpanan energi baterai segala macam. Ya, ini masih jauh untuk bisa dikembangkan di kampung-kampung.
Kita butuh orang-orang Indonesia, di mana kita sudah ngobrol dan mereka bersedia, berkomitmen, untuk mengembangkan teknologi-teknologi yang advance tadi.
Juga ada Centre for Aerial and Space Explorer Studies, yaitu untuk membuat drone, sampai dronecargo, dengan jarak jauh dengan bisa mengangkut 300 kg sampai dengan 500 km jaraknya, yang bisa terbang berhari-hari gitu ya.
Sampai juga bikin nano satelit, yaitu satelit-satelit seukuran HP. Jadi, bagus masukannya bahwa kita harus membangun fasilitas yang super canggih, tapi yang mempunyai daya dampak ke masyarakat.
Agak kejauhan nggak sih bikin “Silicon Valley”, sementara masalah pendataan e-KTP saja masih amburadul. Apalagi pas pemilu aja data orang yang udah meninggal bertahun-tahun masih masuk DPT. Lalu ada juga masalah vaksinasi COVID-19, yang mana Menkes Budi Gunadi nggak mau pake data Kemenkes, maunya pake data KPU. Bagaimana dengan itu?
Saya balikkan, cara menyelesaikan masalah itu gimana? Didiemin, didiskusikan, dijadikan twitwar, dijadikan meme, atau didebatkan. Saya nggak mau orang Indonesia kayak gitu.
Saya orang Indonesia, tempat saya lahir, dan saya ingin mati di sini. Anak saya juga di sini. Mau belajar kemana pun, dia harus kembali ke sini. Saya ingin anak saya dan satu generasinya hidup dalam sebuah masyarakat yang ketika ada masalah, cari solusinya. Bukan dijadikan gosip.
Bukan dijadikan meme, bukan dijadikan lucu-lucuan saja. Boleh sih kritik, nggak apa-apa. Terus diselesaikan. Kalau ada masalah, ya oke, cari solusinya.
Jadi, saya pikir, persoalannya tadi itu, apa yang kamu sampaikan, masalah pendataan belum beres segala macam, kenapa kita harus terlalu jauh melompatnya? Lho, itu melompat untuk menyelesaikan.
Kita bikin tempat inovasi untuk nanti data science, untuk nanti teknologi informasi, kita kembangkan dengan lebih cepat, tepat, dan akurat. Kan untuk menyelesaikan.