Belum usai duka yang menimpa Indonesia akibat ratusan gempa di Lombok, terjadi lagi musibah bencana alam gempa bumi berkekuatan 7,4 magnitudo yang mengakibatkan tsunami di kota Palu Sulawesi Tengah, pada Jumat, 28 September 2018. Data terbaru dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), sudah tercatat 1.234 orang yang meninggal dunia akibat tsunami tersebut.
“Totalnya 1.234 orang meninggal dunia dari daerah yang terdampak,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Selasa, 10 Oktober 2018.
Menurut Sutopo, gempa pertama kali mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, pukul 14.00 WIB. Gempa tersebut berkekuatan magnitudo 6 dengan kedalaman 10 km. Setelah itu, gempa kembali terjadi pukul 17.02 WIB dengan kekuatan yang lebih besar, yaitu magnitudo 7,4 dengan kedalaman yang sama, 10 km di jalur sesar Palu Koro.
Palu Koro sendiri merupakan patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua, dimulai dari batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar hingga ke Teluk Bone. Sesar ini dikatakan sangat aktif hingga pergerakannya mencapai 35 sampai 44 milimeter per tahun.
Oleh sebab itu, gempa yang terjadi di Palu bukanlah kali pertama. Pada tahun 1927 misalnya, kota Palu juga pernah mengalami gempa serupa yang menyebabkan 14 orang meninggal. Kemudian pada tahun 1930, gempa menimbulkan tsunami dua meter, namun tidak menyebabkan korban. Kemudian 1996 di selat Makassar, gempa menimbulkan tsunami dengan tinggi 3,4 meter.
Kata tsunami sendiri berasal dari dua kata bahasa Jepang, yakni ‘pelabuhan’ dan ‘gelombang’. Tsunami merupakan serangkaian gelombang besar yang dihasilkan oleh gerakan mendadak di dasar laut. Tsunami bisa terjadi karena beberapa sebab, di antaranya yaitu terjadi karena gempa bumi, tanah longsor, dan juga letusan gunung berapi, serta pemogokan meteorit yang besar.
Akan tetapi, gempa bumi yang terjadi di bawah laut dengan kekuatan yang besar menjadi salah satu penyebab utama terjadinya tsunami di Indonesia, termasuk di Palu.
Peneliti Geofisika Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Dwi Hananto memperkirakan tsunami yang terjadi di Palu disebabkan oleh bawah permukaan tanah yang punya sifat beragam, dan hal itulah yang menyebabkan adanya pergerakan sesar mendatar kemudian menimbulkan tsunami. Tapi, menurut Nugroho, hal itu bukan satu-satunya penyebab.
“Nah sesar mendatar, itu nggak murni mendatar karena ada heterogenitas bawah permukaan. Dia bisa mendatar juga tapi miring. Inilah yang mungkin mengoyak kolom air sehingga bisa menghasilkan tsunami,” kata dia, dalam diskusi Analisis LIPI untuk Gempa dan Tsunami Indonesia, di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa, 2 Oktober 2018.
Dilansir dari VOA, sebagian besar gempa bumi menyebabkan tsunami, termasuk yang terjadi di Palu, Jumat, 28 September 2018. Gempa bumi yang berpotensi terjadinya tsunami biasanya terjadi pada zona subduksi, zona yang merupakan tempat potongan-potongan kerak bumi saling bersentuhan.
Gesekan antara dua lempeng kerak bumi yang bergerak lambat menghasilkan energi seismik, energi inilah yang menyebabkan gempa. Ketika gempa di dasar laut terjadi, akan mendorong salah satu piring besar bumi. Dorongan ini yang mampu memindahkan sejumlah besar air laut ke daratan hingga menyebabkan tsunami. Air laut jadi menyebar ke luar ke segala arah dari pusat gempa, seperti air dalam ember yang digoyangkan, namun tsunami terjadi pada skala yang lebih besar, alias air di laut.
Semakin besar dan dangkalnya gempa, umumnya semakin besar potensi tsunami. Tapi dalam beberapa kasus, kekuatan gempa tidak selalu berpotensi tsunami. Dilansir dari Live Science, gempa dapat menyebabkan tsunami apabila lapisan tanah di dasar laut bergerak secara vertikal, air akan ikut bergerak naik turun dan membentuk ombak besar atau tsunami.
Namun, jika gempa bumi yang terjadi dengan geraknya secara horizontal, maka tsunami kemungkinan tidak akan terjadi. Tsunami juga tidak punya hubungan dengan pergerakan angin.
Perlu diketahui, bahwa tsunami tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada beberapa tanda yang bisa dijadikan prediksi akan kedatangan tsunami itu sendiri. Berikut tanda yang menunjukkan ciri-ciri akan terjadinya tsunami:
Terjadi gempa bumi, tsunami tidak akan dating dengan tiba-tiba, sebab sudah dipastikan selalu ada gempa yang mengawalinya terlebih dahulu. Gempa yang perlu dikhawatirkan adalah gempa dengan kekuatan yang cukup tinggi, sebab jika sudah masuk dalam kategori tinggi, maka ada resiko terjadinya gempa susulan bahkan sampai mencapai tsunami.
Kondisi air laut surut mendadak, setelah terjadi getaran yang besar, selanjutnya air laut yang tiba- tiba surut menjadi pertanda yang sangat jelas sebelum datangnya tsunami. Air permukaan laut terlihat surut sebab akan tersedot sementara akibat getaran sebelumnya.
Terdengar suara gemuruh yang menggelegar. Hal ini di sebabkan karena air yang ada menghantam lautan. Kemungkinan suara gemuruh itu terjadi karena adanya lempengan tanah yang patah dan menyebabkan air lautan menabrak, sehingga menghasilkan suara yang keras.
Hewan-hewan menjauhi pantai, tanda yang selanjutnya akan terjadi sebelum bencana tsunami datang adalah adanya binatang yang berbondong-bondong menjauhi daerah pantai, baik itu burung maupun binatang darat lainnya. Hal itu terjadi karena hewan punya sensor untuk mengetahui akan terjadinya tsunami, dan mereka akan segera mencoba menyelamatkan diri.