Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar Indonesia. Bayangkan saja, Indonesia menjadi negara keempat penghasil kopi terbesar di dunia, setelah Kolombia, Vietnam, dan Brazil. Sayangnya, kondisi itu seketika berubah miris ketika melihat ke tataran bawah di mana para tengkulak kopi masih merajalela.
Baca juga: Mengapa Jumlah Produksi Kopi di Indonesia Masih Kalah Bersaing?
Tengkulak memang sudah sejak lama tumbuh subur dan berkembang tak hanya pada komoditas kopi saja, tapi juga komoditas-komoditas lainnya yang potensial. Tengkulak muncul setiap menjelang musim panen tiba, atau saat ada gejolak pasar, ada kelangkaan komoditas tertentu hingga melambungkan harga.
Jika melihat teori Pierre Bourdiue soal relasi power dan kekuasaan, maka salah satu faktor yang menentukan keduanya adalah modal. Dalam konteks ini, tengkulak merupakan modal yang menggerakkan power dan kekuasaan.
Tengkulak punya kuasa yang bisa menjinakkan petani kopi dengan modal yang ia punya. Nah, modal ini sendiri tak melulu bicara soal uang, tapi juga modal sosial, modal kultural, modal ekonomi, dan modal simbolik. Namun, tengkulak sendiri setidaknya memiliki dua modal penting yakni ekonomi dan simbolik.
Dengan kekuatan modal ekonomi, tengkulak selalu selangkah lebih maju dan terdepan, meninggalkan apa saja termasuk negara untuk menguasai kopi. Untuk itulah, kekuatan modal juga sulit dihindari para petani kopi.
Bayangkan, Indonesia bisa saja memproduksi sekitar 600.000 ton kopi setiap tahunnya dari luas wilayah yang ada. Apalagi Indonesia memiliki tanah yang merupakan jenis yang sangat ideal untuk tempat tumbuh tanaman kopi.
Dengan lahan yang mendukung, Indonesia memiliki beragam jenis kopi seperti kopi gayo, kopi Papua, kopi kintamani, kopi toraja, kopi Flores, kopi Jawa, kopi luwak, kopi lanang, dan sebagainya. Sayangnya, meski kaya akan kopi, Indonesia sendiri masih dihantui para tengkulak.
Meski hasil panen kopi melimpah ruah, namun hal itu tak dibarengi meningkatnya penghasilan dan kesejahteraan petani. Harga jual kopi dinilai masih tak sesuai dengan yang diharapkan, apalagi para petani masih belum bisa lepas dari jerat para tengkulak yang membeli hasil panen kopi dengan harga murah.
Dalam kondisi ini, para petani kopi umumnya menjual hasil panen ke tengkulak tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Melihat kondisi ini, CEO Tuang Coffee, Andre Hamboer, mengatakan bahwa desakan ekonomi jadi salah satu faktor yang membuat para petani ‘terpaksa’ menjual kopinya ke tengkulak.
“Pertama-tama karena gue bukan petani jadi enggak terlalu tau soal motif dan kenapa petani menjual kopinya ke tengkulak. Tapi, yang gue lihat kasusnya, terutama di kampung halaman gue di Flores, itu memang karena desakan ekonomi, jelas,” kata Andre kepada Asumsi.co di Tuang Coffee, Blok M, Jakarta Selatan, Jumat, 21 September.
Andre mengatakan bahwa para petani-petani di Flores sebenarnya punya kebun yang cukup luas, ditambah lagi menyimpan potensi untuk menghasilkan kopi yang baik dan produktivitas yang cukup bagus. Sayangnya, lanjut Andre, mereka tak punya akses untuk bisa menjual kopinya ke market yang lebih apresiatif dari sisi harga dan kualitas.
“Sehingga mereka pun pada akhirnya menjual kopi dengan kualitas-kualitas rendahan. Alasannya apa? Pertama lebih gampang, kedua banyak yang beli, dan ketiga kayak jualan beras, biasa aja gitu, jadi barang murah,” ujar Andre.
Kondisi ini pun terpaksa dihadapi para petani kopi di Flores yang di sisi lain juga enggak punya akses untuk masuk ke pasar yang lebih tinggi. Akhirnya, agar kopi hasil panen bisa cepat laku, maka kopi tersebut mau tak mau harus dijual ke orang yang mau cepat ngambil dalam hal ini tengkulak
“Motifnya, pertama karena desakan ekonomi dan yang kedua karena akses, aksesnya itu jauh. Kalau dari Jakarta gampang jual kopi bisa lewat Tokopedia. Kenapa enggak punya akses? Karena pendidikan atau karena masalah sosial lainnya.”
Andre pun menyebut sudah jadi tipikal masalah petani kopi Indonesia, khususnya di Flores Manggarai, yang rata-rata kurang pengetahuan dan pendidikan. Tentu banyak faktor juga kenapa petani-petani kopi tak bisa mendapatkan pendidikan tinggi agar memahami seluk beluk dunia kopi terutama dari segi ekonomi.
“Karena entah kenapa itu kedengarannya kan biasa aja, kita hidup di kota ‘Oh, ada lho yang begitu’. Tapi ya pada suatu saat, mereka enggak bisa ngerti gimana caranya untuk dapat uang padahal panen kopinya udah selesai.”
Sayangnya, Andre mengatakan bahwa minimnya pengetahuan berimbas pada penjualan hasil panen kopi. Petani kopi terpaksa terburu-buru menjual kopinya ke tengkulak karena butuh uang, padahal jika sedikit bersabar, harusnya para petani bisa mendapatkan untung yang lebih besar.
“Sehingga apa yang dilakukan petani? Pinjem duit ke tengkulak. Pinjem duit misalnya 5 juta atau 10 juta untuk hasil kebunnya seluas satu hektar. Padahal saat nanti masa panen tiba, ia bisa menghasilkan 50, 100, 200 juta.”
“Tapi dia hanya dipinjamin duit 10 juta, ini contohnya misalnya ya, tapi ya untuk seluruh hasil panen satu hektar, jadi bisa dibayangkan kacaunya gitu lho. Ya udah akhirnya miskin aja, punya lahan satu sampai dua hektar tapi miskin, enggak make sense aja. Indonesia merdeka tapi masih ada aja keadaan kayak begitu.”
Penjualan kopi ke tengkulak itu pun menimbulkan efek yang sama sekali tak bagus. Salah satunya, menurut Andre, menurunnya kualitas kopi. Jadi nanti kualitas kopinya diturunkan supaya petani lebih cepat dan asal petik mau biji kopinya merah kuning, atau hijau, yang jelas agar segera dijual.
“Tapi ya karena petaninya butuh uang, metik dengan kesel, metik dengan sedih karena bayar hutang, “Aduh kemarin gue udah begini cuma dapet 10 juta lagi gue dapet talangannya. Tawar-tawar gocap tiba-tiba cuma dapet 10 juta lagi”, misalnya gitu kan bahasa kitanya seperti itu.”
Menurut Andre, menjadi penting memang untuk terus memberikan edukasi ke para petani kopi di Indonesia agar pemahaman soal kopi, baik itu saat panen, setelah panen dan saat penjualan, bisa dijalankan dengan baik.
Pada akhirnya penciptaan satu market yang apresiatif terhadap para petani kopi memang mutlak dibutuhkan. Para petani tak bisa lagi menunggu dalam ketidakpastian sehingga akhirnya terpaksa menjual kopinya ke tengkulak.
“Dua poin soal edukasi ke petani dan memutus penjualan kopi ke tengkulak tentu jadi dua hal yang berbeda karena edukasi ke petani itu dilakukan terus menerus oleh pemerintah, LSM, swasta, bahkan oleh NGO asing juga.”
Andre pun menegaskan lagi bahwa kebutuhan ekonomi pada akhirnya memang menekan petani untuk pergi ke tengkulak. Makanya, antara edukasi dan usaha memutus penjualan kopi ke tengkulak jadi dua hal yang berbeda.
Meski sudah ada edukasi tapi enggak ada market yang menyerap sehingga petani perginya ke tengkulak lagi.
“Jadi lingkarannya mungkin begitu yang gue lihat. Kalau misalnya kita bisa ciptakan satu market yang bisa membuat petani dapat harga yang lebih bagus, diapresiasi lebih bagus, ya mungkin itu enggak jadi pergi ke tengkulak tapi pergi ke market yang apresiatif.”
Untuk menciptakan market yang layak bagi petani kopi, Andre mengatakan bahwa memang harus ada keterlibatan seluruh lapisan masyarakat. Paling tidak, ada keterlibatan dari para penikmat kopi, industri, dan semua elemen harus bahu-membahu untuk terlibat.
“Ya apa ya, platform itu kan banyak banget mau dibikin oleh siapapun, tapi gimana ya. Harus turun langsung lah bagaimanapun juga. Ini perkebunan petani yang isinya manusia di dalemnya. Petani yang orang-orangnya mau kotor di situ.”
“Menurut gue, this is dirty work aja, tapi people just see so fancy coffee shop, fancy latte art, i think like that, tapi ya dirty job men, behind office.”
Andre pun berharap bahwa ke depannya, harus dihilangkan penjualan kopi ke tengkulak dengan cara memberikan akses ke pasar-pasar yang lebih apresiatif. Namun, Andre menegaskan bahwa semua ini butuh proses panjang dan didukung banyak pihak-pihak terkait.
Senada dengan Andre, seorang pendamping petani kopi di Malang, Ahong, mengungkapkan bahwa biasanya petani kopi bingung mau menjual hasil panen kopinya ke siapa. Apalagi, para petani juga belum memahami pasar.
Tak hanya itu saja, kebutuhan ekonomi yang mendesak juga pada akhirnya membuat para petani menjual kopinya ke tengkulak.
“Ya, kan yang mampu membeli semua hasil panen kopinya itu ya hanya tengkulak, jadi mau enggak mau petaninya akhirnya menjual kopi ke tengkulak,” kata Ahong saat berbincang dengan Asumsi.co, Sabtu, 22 September.
Ahong juga menyebut bahwa efek penjualan kopi ke tengkulak itu jelas berpengaruh ke kualitas kopi yang jadinya berkurang. Apalagi, lanjut Ahong, kopi yang dipetik pun asal-asalan dan harga jualnya pun jauh lebih murah.
“Kadang-kadang juga merusak pohonnya saat dipetik karena metiknya asal-asalan jadi berpengaruh ke pohon kopinya itu sendiri,” ucap Ahong yang juga menyempatkan diri menjadi barista kopi.
Menurut Ahong, memang masih banyak praktik penjualan kopi ke tengkulak terutama di Malang sendiri. Hal itu dipicu masalah ekonomi karena butuh uang cepat, ditambah lagi kadang para petaninya sendiri enggak sabar.
“Biasanya dari panennya itu akan menyusut terus, menurun, kualitasnya juga jelek dan menurun. Hasil olahannya juga lebih sedikit nantinya daripada petik merah itu sendiri.”
Ahong menyebut meski sudah ada usaha pemerintah memberikan edukasi kepada para petani kopi baik itu pelatihan maupun pemberian bibit kopi, namun penjualan kopi ke tengkulak masih tetap saja terjadi. Sayangnya, Ahong melihat dinas yang terkait edukasi itu belum paham kondisi pasar juga.
“Biasanya sih petaninya enggak tau apa-apa. Mereka taunya hanya menanam kopi tapi enggak tau yang baik gimana, prosesnya gimana terus jual kemana, mereka belum tau. Sama harga-harga pasarnya berapa, itu enggak tau.”