Setelah Mahkamah Agung menyatakan mantan narapidan kasus korupsi boleh mencalonkan diri jadi anggota legislatif, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun dengan segera merampungkan revisi Peraturannya. Sebelumnya Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan koruptor jadi legislator sempat menuai polemik. Apalagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersikukuh untuk meloloskan para mantan narapidana kasus korupsi sebagai bakal calon legislatif. Hingga akhirnya PKPU itu dibawa ke meja hijau untuk mendapatkan putusan uji materi.
“Ada dua PKPU yang diubah, yakni PKPU yang atur soal pencalonan anggota DPR dan DPRD, kedua, PKPU yang mengatur pencalonan anggota DPD,” kata Komisioner KPU Hasyim Asyari di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 19 September 2018.
Setelah direvisi, peraturan yang memuat larangan mantan narapidana korupsi, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba maju sebagai calon legislatif (caleg) pun dihapus. Atas revisi itu pula, KPU akan mengubah status caleg mantan napi korupsi yang semula Tidak Memenuhi Syarat (TMS) karena statusnya sebagai mantan eks koruptor, menjadi Memenuhi Syarat (MS).
Usai rampungnya revisi itu pula, kata Hasyim, KPU telah mengirimkan Peraturan terbaru ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenukumham) untuk diundangkan. Namun, mengenai waktu pengundangannya, KPU belum mendapatkan kepastian.
Hasil Uji materi Pasal 4 ayat (3), PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis 13 September 2018 lalu mendapatkan dukungan dari berbagai partai. PAN dan PPP misalnya, mereka menyebut KPU tidak perlu repot-repot menuangkan aturan larangan eks koruptor nyaleg. Sebab menurut mereka larangan itu sudah diatur dalam putusan pengadilan, di mana hak poliitk bisa dicabut saat di meja pengadilan. Sekjen PAN Eddy Soeparno misalnya, ia menilai, para eks koruptor itu sudah tuntas membayar kesalahannya dengan menjalani hukuman di penjara.
“Napi tipikor sudah ‘melunasi’ kesalahannya ketika menjalani hukuman pidana. Selain itu, hukuman penjara melahirkan efek jera karena yang terkena dampak musibah pidana tidak hanya sang terpidana korupsi, tetapi juga keluarga, anak-anaknya, dan lain-lain. Karenanya, saya percaya bahwa mantan terpidana tipikor menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya kembali. Apalagi hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana tipikor tidak ringan,” kata Eddy.
Tak seperti permasalahan biasanya yang kerap menimbulkan pro kontra di kalangan elite partai. Keputusan MA yang membolehkan eks koruptor nyaleg itu justru membuat beberapa parpol jadi terlihat kompak dan ramai-ramai mendukung putusan MA.
Seperti Golkar dan Gerindra yang kali ini sama-sama sepaham. Wasekjen Golkar Sarmuji menilai PKPU itu mudah digugat karena tak sesuai dengan UU Pemilu. Begitu juga dengan Wasekjen PKS Abdul Hakim yang meminta Kemenkum HAM memastikan PKPU tersebut tidak melanggar HAM.
Lalu, PDIP turut angkat bicara. PDIP mengatakan persoalan eks narapidana kasus korupsi boleh jadi calon anggota legislatif atau tidak dikembalikan kepada tiap parpol saja. Alasannya, karena parpol yang bisa menimbang untung-rugi ataupun dampak dari pencalonan seseorang.
Setelah palu diketok, mau tak mau KPU pun menyerah dengan keinginannya untuk para caleg bisa bersih dari bayang-bayang korupsi. Tak hanya itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah yang paling terdepan melawan para koruptor pun tak bisa melakukan apa-apa, dan mereka hanya bisa mengehormati putusan yang terlah dibuat oleh Mahkamah Agung (MA).
Memang, KPK sempat berharap agar MA mendukung PKPU tersebut, agar parlemen Indonesia bisa menjadi lebih bersih ke depannya. Tapi, pihak KPK sendiri tak ingin mengambil pusing atas putusan tersebut, mereka pun memilih untuk mengingatkan para mantan napi yang nyaleg agar tak lagi terjerat kasus korupsi.
Sebab ada ancaman hukuman mati bagi mereka yang pernah terpidan korupsi kemudian mengulangi kesalahan yang sama. Hal itu ditekankan oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, ia menyebutkan bahwa hukuman mati tertulis dalam Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Namun sebelum hukuman itu terjadi, KPK mengingatkan masyarakat untuk ikut andil dalam mengecek latar belakang para calon wakil rakyat yang akan dipilih. Sebab 38 mantan narapidana kasus korupsi pada akhirnya tetap masuk dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk Pemilihan Legislatif 2019.
“Pilihan itu ada pada rakyat [sebagai] pemilih dan tidak boleh dilarang. Namun pasti hati nurani masing-masing akan bicara untuk memilih sesuai track record yang didapat,” kata Saut Situmorang, Jumat, 21 September 2018.
Berikut eks napi korupsi yang terdiri dari caleg anggota DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Partai Gerindra
Partai Hanura
Partai Amanat Nasional (PAN)
Partai Demokrat
Partai Golkar
Partai Berkarya
Partai Nasdem
Partai Garuda
Partai Perindo
Partai Bulan Bintang (PBB)
Nasrullah Hamka, dapil Jambi 1
PDI Perjuangan
Idrus Tadji
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Maksum DG Mannassa, dapil Mamuju 2