Isu Terkini

Social Justice Warrior, Berjuang Atas Nama Keadilan Sosial?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Istilah Social Justice Warrior (SJW) merupakan istilah yang semakin familiar belakangan ini. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan para pejuang-pejuang keadilan sosial yang seringkali melakukan aktivisme baik melalui media sosial atau turun ke jalan. Penggunaan SJW ini pun telah digunakan dengan berbagai bentuk konotasi, mulai dari yang positif hingga negatif. Namun sebenarnya, apa itu SJW? Bagaimana kemunculannya menjadi fenomena global? Mengapa ada permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemaknaan SJW? Apa saja yang menjadi karakteristik dari SJW itu sendiri? Asumsi.co akhirnya berkesempatan mengolah dari sumber sekunder sekaligus berbicara dengan Asisten Kepala Unit Riset, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat FISIP UI, Pychita Julinanda, yang juga seorang aktivis kesetaraan gender, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Memahami Social Justice Warrior

Berbicara dengan Ijul, panggilan Pychita Julinanda, ia menyatakan bahwa SJW dapat dilihat berakar dari konsep keadilan sosial, yang juga tertera di salah satu sila Pancasila. Dari sila ini, dapat dipahami bahwa keadilan sosial memiliki tujuan yaitu setiap orang diperlakukan secara adil dan manusiawi. Nah, dengan begitu, SJW dapat dilihat sebagai sebuah istilah yang disematkan pada sekelompok orang yang membela hak-hak minoritas agar diskriminasi yang didapatkan oleh kelompok minoritas tidak lagi terjadi.

“SJW ini kan kepanjangannya Social Justice Warrior. konsep social justice, atau bahasa Indonesianya keadilan sosial. Itu kan bukan konsep yang asing, apa lagi buat kita, sebagai bangsa Indonesia, juga percaya bahwa kita harus mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tercatut di sila kelima pancasila sebagai ideologi negara. Keadilan sosial ini kan memang bertujuan supaya semua orang diperlakukan secara adil dan manusiawi, ya salah satu caranya dengan membela orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok minoritas dalam rangka upaya penghapusan diskriminasi terhadap orang-orang tersebut. Nah, orang-orang yang membela ini akhirnya disebut Social Justice Warrior,” ungkap Ijul untuk Asumsi.co.

Kemunculan Istilah SJW menjadi Fenomena Global

Berdasarkan salah satu artikel di The Washington Post, kemunculan istilah SJW dimulai sekitar 27 tahun yang lalu. Istilah SJW saat itu jauh dari konotasi negatif. Justru, SJW digunakan sebagai label untuk orang yang memang bergerak di hal-hal positif dan benar-benar berjuang untuk keadilan sosial. Dalam artikel The Washington Post tersebut, Katherine Martin, kepala kamus Amerika Serikat di Oxford University Press, menyatakan bahwa selama ini, SJW selalu digunakan sebagai istilah untuk memberikan penghormatan dan membesarkan nama seseorang.

Permasalahan awal muncul ketika ada satu kasus, yaitu kasus Gamergate, yang membuat SJW justru dimaknai negatif. Dalam kasus ini, istilah SJW digunakan untuk meledek orang-orang yang membela perempuan yang ada di dalam komunitas gaming. Setelah itu, penggunaan istilah SJW sebagai sebuah bahan ledekan pun meluas. SJW kini digunakan sebagai sebuah istilah untuk meledek seseorang yang dianggap memiliki perspektif yang lebih progresif dibanding lingkungannya.

SJW dan Konotasi Negatif di Dalamnya

Tidak hanya berasal dunia gaming, Ijul pun juga menyatakan bahwa permasalahan dari makna SJW timbul karena ada orang-orang yang berusaha berteriak-teriak tentang keadilan sosial tanpa menggunakan riset yang jelas dan hanya memahami isu secara parsial dari media sosial yang ia baca. Opini-opini ini yang seharusnya bersifat progresif pun justru hanya menjadi teriakan kosong. Dengan berteriak-teriak tentang keadilan sosial namun tidak menggunakan data, istilah SJW yang tersemat di dalamnya pun berubah menjadi negatif.

“Permasalahannya timbul ketika, pertama, perjuangan untuk keadilan sosial ini dipahami secara parsial dan enggak menyeluruh oleh beberapa kelompok orang. Ini banyak banget nih orang yang kayak gini. Biasanya mereka banyak yang baca-baca opini orang yang belom tentu benar atau berdasar entah di twitter, tumblr, atau media sosial lainnya, lalu opini-opini itu diinternalisasi dan disebarkan ulang di sosial media mereka. Jadinya mereka hanya berkoar-koar enggak berdasar. Well, memang gak semua hal yang di internet salah, tapi ya enggak semua bener juga. jadi kan harus di-filter ya. masalahnya kelompok-kelompok ini enggak bisa menyaring apa yang mereka dapat di internet, jadi pemahamannya ya banyak yang hanya dari apa yang mereka baca di sosial media. Dan jangan salah, populasi mereka-mereka ini banyak banget. Makanya misinformasi tentang keadilan sosial dan perjuangannya bisa menyebar luas, dan mereka akhirnya menjadi ‘wajah’ dari para ‘SJW’,” ucap Ijul.

Permasalahan kedua dari mengapa SJW memiliki konotasi yang negatif adalah populasi besar dari orang-orang yang melakukan gerakan SJW dengan argumentasi kosong ini. Populasinya yang besar ini menjadi stereotip yang tergeneralisir, sehingga orang-orang yang benar-benar memperjuangkan keadilan sosial justru tertutup dengan SJW-SJW kacangan ini. Pada akhirnya, SJW pun tidak lebih dari sekadar ledekan untuk orang-orang yang memiliki visi progresif.

“Kedua, karena populasi orang-orang ini banyak, banyak pula yang mereduksi SJW menjadi sebuah stereotip yang diambil dari karakteristik orang-orang ini. Jadilah gambaran SJW menjadi anak khususnya perempuan, Twitter/Tumblr yang kerjaannya marah-marah dan membenci laki-laki, orang kulit putih, maupun heteroseksual, sebagai identitas status quo. Ketika orang menyebut SJW, maka gambaran inilah yang muncul. Bahkan, SJW dijadikan bahan ledekan, seperti “ah, SJW lu!” “berisik lu SJW!” dan akhirnya banyak orang yang menjauhkan diri dari label SJW, meskipun mereka sendiri juga percaya sama keadilan sosial,” lanjut Ijul.

Konotasi-konotasi negatif yang dibawa oleh label SJW akibat dua hal diatas tidak hanya berhenti pada dua permasalahan tersebut. Ijul, juga pernah menjadi korban dari pelabelan SJW ketika mengutarakan argumentasinya. Alih-alih didengarkan, argumentasinya ia justru diabaikan. Ia paham bahwa hal tersebut seringkal idilakukan dengan nada candaan. Namun, menurutnya, ada juga sekelompok orang yang memang secara serius menganggap remeh argumentasinya tersebut.

“Ketika gue berbicara tentang sebuah isu, kadang masih banyak orang yang mengabaikan argumentasi gue dan nyeletuk, “halah SJW!” Jangankan ngomong, gue gak ngapa-ngapain aja gue udah dipanggil-panggil SJW wakakakak. Memang sih beberapa pada bercanda dan gue kadang ikut ketawa juga. Tapi, enggak sedikit orang yang membawa bercandaan itu satu level keatas menjadi lebih serius dan memukul rata semua orang dalam satu label SJW yang reduksionis dan mengabaikan gerakan mereka yang ingin mencapai keadilan sosial. Ketika mereka speak out dan stand up atas isu yang mengakar banget di masyarakat, malah dibikin jokes Twitter seolah-olah apa yg mereka omongin itu gak valid,” tutur Ijul.

Dengan percaya diri, Ijul sendiri yakin bahwa ia termasuk golongan-golongan SJW yang tidak sekadar berbicara tanpa fakta. Ia seorang SJW dalam konotasi seseorang yang berjuang untuk keadilan sosial, bukan dalam konotasi seseorang yang marah-marah tanpa dasar yang jelas.

“Apakah gue melabeli diri gue SJW? tergantung definisi SJW yang dikonstruksikan itu apa. Iya, gue percaya dan berjuang buat keadilan sosial. Jika hanya itu kriteria SJW, maka gue memang SJW. Tapi kalau SJW-nya yg marah-marah enggak berdasar dan membenci segala identitas status quo, gue sih gak merasa. Hehe,” lanjut Ijul.

Lalu, Seperti Apa SJW yang Sebenar-benarnya SJW?

Menutup perbincangan, ia sendiri melihat bahwa karakteristik dan standar dari SJW tidaklah sulit. Bahwa ketika seseorang telah berjuang untuk keadilan sosial, maka ia dapat dikatakan sebagai seseorang yang SJW. Dari titik tersebut, barulah masing-masing ‘pejuang’ perlu mendefinisikan gerakannya agar apa yang dilakukan tidaklah menjadi sesuatu yang kosong belaka.

“Kalau soal standarisasi, ya secara subjektif gue sih menetapkannya ga muluk-muluk amat ya. Kalo lo percaya bahwa keadilan sosial itu harus dicapai, dan lo mau bergerak buat hak-hak orang lain terutama mereka yang terdiskriminasi, supaya mereka akhirnya bisa diperlakukan secara adil dan setara, maka selamat, lo sudah memenuhi standarnya. Hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mempelajari dasar-dasarnya, kenapa lo harus bergerak, dan bagaimana lo bisa bergerak dengan baik dan efektif supaya pemahaman lo bisa menyeluruh dan enggak jatuh ke dalam apa yang menjadi stereotip buruk orang-orang terhadap SJW,” tutup Ijul.

Share: Social Justice Warrior, Berjuang Atas Nama Keadilan Sosial?