(Mengandung spoiler dalam dosis medium)
Wiro Sableng adalah superhero lokal pertama saya. Sekitar tahun 90an, ketika televisi menghadirkan ragam superhero impor seperti Ksatria Baja Hitam, Ultraman, dan Power Rangers, Wiro Sableng menjadi enigma dengan segala bumbu kelokalannya. Saya mungkin termasuk dalam generasi kedua sebagai penikmat Wiro Sableng; generasi pertama tentu yang mengikuti serial ini dari berbentuk cerita silat dari tahun 70-80an hingga beberapa film layar lebarnya di era itu. Kini, Wiro Sableng hadir kembali, lewat sebuah film terbaru yang dibangun dengan hype begitu besar. Film ini juga dilengkapi dengan sederet nama berkelas di barisan pemeran dan kru. Berhasilkah film ini menghadirkan suatu kebaruan buat para penikmat lama dan baru?
Mustahil melepaskan film terbaru garapan Lifelike Pictures ini dengan produk-produk sebelumnya. Ken Ken begitu membekas karakternya sebagai Wiro Sableng versi RCTI. Bahkan 185 cerita yang dibuat Bastian Tito ini serasa jadi versi paling spesial dibandingkan yang lain, belum lagi beberapa film Wiro Sableng yang turut dirilis beberapa dekade lalu. Namun, pada dasarnya film ini tak terasa sebagai alat peretas nostalgia bagi generasi saja. Terlihat adanya upaya yang dibangun untuk mencuri perhatian generasi-generasi terbaru. Inilah yang menjadi kekuatan film ini, ia mampu menjembatani generasi pertama penikmat cerita bersambung, generasi kedua penikmat serial televisi, dan generasi terbaru yang baru berkesempatan bertemu Wiro di film ini.
Cerita dalam film berpusat pada tokoh Wiro Sableng (Vino G. Bastian) sebagai pendekar golongan putih dan perjalanannya untuk mengalahkan Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) selaku pendekar golongan hitam. Diceritakan awal mula Wiro Sableng menjadi murid Sinto Gendeng (Ruth Marini), serta pertemuannya dengan beberapa kawan yang pada akhirnya menghantarkannya pada pertempuran pamungkas melawan Mahesa Birawa. Ya, film ini hanya mengambil fragmen kecil dari semesta besar Wiro Sableng. Lebih lagi, film ini memang berfungsi sebagai pembuka terhadap cerita trilogi Wiro Sableng. Dengan pertimbangan semacam itu, memang tak ada plot ataupun premis yang terlalu berliku selain memperkenalkan ulang sosok Wiro Sableng kepada publik.
Untunglah, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini tidak berusaha mengikuti jejak beberapa film lain yang juga berusaha mereproduksi film-film lama dan berujung pada kekecewaan. Sekilas, memang terlihat ada beban ekspektasi manakala nama 20th Century Fox muncul sebagai distributor global film ini. Apalagi dengan cast bertabur bintang, mulai dari Vino G. Bastian, Sherina, Yayan Ruhian, Lukman Sardi, Marcella Zalianty, dan Dwi Sasono. Lalu dengan nama begawan sastra, Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis skenario dan Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara, seakan ada jaminan kualitas yang mestinya mampu diartikulasikan film ini ke para penonton. Kenyataannya? Publik terpecah. Beberapa kecewa dengan eksekusi film ini yang tidak terasa seperti Wiro Sableng yang selama ini dikenal; beberapa juga merasa puas, karena film ini berhasil menjadi satu dari sedikit film silat berkelas yang muncul dalam dua dekade terakhir.
Film ini memang digarap sedikit berbeda jika dibandingkan dengan serial televisinya, malah mungkin lebih dekat dengan cerita asli novel karangan Bastian Tito. Beberapa dialog dan jokes memang terasa kekinian, banyak juga slapstick, dan sesekali filosofis-puitis. Pendekatan dialog di film ini terasa lebih mirip dengan cerita aslinya, dengan tokoh Wiro banyak menyampaikan hardikan dan celoteh yang spontan. Ada beberapa jokes yang tepat sasaran dan membaut audiens tertawa, tapi ada juga tidak terlalu berhasil. Barangkali Angga dan Seno masih mencari formulasi terbaik untuk humor-humornya.
Kalau ada nuansa yang paling kental dari film ini adalah Hollywood-sentris. Ya, film ini dikemas secara “Hollywood”. Ini bisa didengar dari bagaimana scoring musik mengalun di sepanjang film, banyak komponen string section yang terdengar kolosal ala-ala Avengers dan Star Wars. Nyaris 90% scoring musik menampilkan energi sejenis dan tidak memberi ruang bagi notasi-notasi scoring tradisional. Beberapa adegan pun terasa klise, seperti saat Raja Kamandaka mengampuni adiknya yang pura-pura menyesal, atau lewat the power of friendship Wiro, Anggini, dan Bujang Gila, saat melawan Mahesa Birawa. Karakter-karakter antagonis di film ini juga muncul seenaknya saja, tanpa ada penjelasan siapa mereka, dan bagaimana mereka bisa bersatu di bawah Mahesa Birawa. Padahal, baik di cerita asli maupun versi televisi, para karakter antagonis ini selalu diberikan porsi cukup, entah untuk menjelaskan latar belakang mereka atau tujuan jahat mereka. Namun, di film ini, para penjahat ini terasa disia-siakan, karena lagi-lagi, penekanan plot film ini hanyalah pada Wiro Sableng versus Mahesa Birawa saja.
Sementara dari segi visual, cukup memuaskan, meskipun masih sedikit mengkhawatirkan untuk sampai level distribusi internasional. Beberapa adegan yang nampak di trailer tak mengalami perbaikan dari segi CGI (Computer-Generated Imagery) yang signifikan ketika sampai di layar bioskop. Tapi, sejujurnya hal ini tak terlalu berpengaruh, karena hanya faktor minor. Pada dasarnya special effect di film ini sangat baik kok untuk level Indonesia. Bagian lain yang harus diapresiasi adalah dari set dan kostum. Set di film ini efektif, mulai dari pemilihan lokasi yang tepat hingga dekorasi ruangan raja saat pertempuran akhir yang mencengangkan. Kostum para pemain pun terlihat disiapkan dengan sangat serius, karakteristik masing-masing karakter tergambarkan lewat pilihan warna dan desain yang tegas; favorit saya tentu kostum Bidadari Angin Timur. Kalaupun ada catatan dari segi sinematografi, tentu pada kontinuitas dalam beberapa adegan dan angle-anglenya yang tidak konsisten, misalnya ketika adegan Wiro dan Bidadari di bawah jurang, saat closeup keduanya terlihat berdekatan, namun saat longshot malah sedikit berjauhan posisinya.
Dari segi koreografi, Yayan Ruhian mampu menyuguhkan pertarungan jarak dekat yang mendebarkan. Ini pun tetap menyisakan satu catatan pada adegan tarung awal film di mana adegan kelahi antara Raden Ranaweleng dengan Mahesa Birawa nampak tidak meyakinkan. Tentulah bagian yang sangat menyenangkan ketika melihat para karakter bersiap dengan aji-aji dan senjata andalannya, mengingat ini yang jadi kekhasan adegan tarung di Wiro Sableng sebelum-sebelumnya. Untuk urusan acting, para tokoh rasanya tidak ada yang terlalu istimewa selain Vino G. Bastian sebagai Wiro Sableng. Vino benar-benar total dalam memerankan karakter ciptaan ayahnya ini. Ia melepaskan image Ken Ken, membunuhnya, dan menciptakan pemaknaan baru bagi karakter Wiro Sableng; dan tentunya Fariz Alfarizi sebagai Bujang Gila Tapak Sakti yang sangat menghibur di sepanjang film.
Secara umum, memang terasa bagaimana proporsi kelokalan Wiro Sableng direduksi dan tergantikan dengan elemen-elemen yang membuatnya terasa “lebih Hollywood”. Tentu tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk, mengingat memang ada target penonton internasional yang ingin dicapai. Sebagai konsekuensinya, ada bagian-bagian yang jadi terasa asing, seperti pada scoring, beberapa elemen visual, maupun karakterisasi para tokoh.
Sedikit spoiler, pada bagian after credit terdapat potongan adegan yang sepertinya akan mengisi plot besar pada film Wiro Sableng berikutnya. Jadi, sebaiknya ketika film ini usai, jangan terburu-buru keluar ruang bioskop. Ada harapan besar menyongsong dua film ke depan, yang sepertinya akan jauh lebih kompleks dari film pertama ini. Kalau pun ada yang pantas dinanti pada film berikutnya adalah theme song/original soundtrack dari film ini, karena sepanjang film ini memang tak terdengar soundtrack apa-apa kecuali scoring dalam film dan lagu lawas “Aku Lupa Aku Luka” milik Koil di akhir kredit.