Penyaluran laporan atas praktik korupsi di instansi/lembaga saat ini sudah banyak dibuat untuk menekan tindak rasuah. Namun, nyatanya, keberadaan saluran ini belum maksimal. Di lingkungan Aparatur Sipil Negara, misalnya, masih ada rasa takut untuk melaporkan perilaku koruptif. Padahal, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyebut, setiap bulan ada saja ASN yang dipecat karena korupsi.
Fakta itu mengacu pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia, Minggu (18/4/2021). Dalam survei yang melibatkan 1.201 ASN sebagai responden ini, 23,8 persen di antaranya mengaku cukup dan sangat kecil kemungkinan untuk melapor. Alasannya beragam, meski kebanyakan enggan melapor karena takut mendapat masalah (29,6 persen). Sisanya, karena belum pernah ada yang melapor (13,6 persen), proses melapor berbelit-belit (7,5 persen), pesimistis kalau laporan tidak akan ditindaklanjuti (6,4 persen), dan tidak memiliki kewenangan melapor (5,3 persen). Sementara 47,7 persen responden mengaku cukup besar kemungkinan untuk melapor.
Meski demikian, mayoritas dari responden tahu saluran untuk melapor. Dalam temuan riset yang dihelat pada 3 Januari sampai 31 Maret 2021 ini, mayoritas, atau 73,1 persen, tahu tentang Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dan dari yang tahu, mayoritas atau 92,1 persen sangat atau cukup percaya dengan hasil audit yang dikeluarkan oleh APIP. Hanya sekitar 1,9 persen yang menjawab kurang bisa dipercaya.
Mayoritas responden (59,2 persen) juga tahu Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!), layanan penyampaian semua aspirasi dan pengaduan masyarakat Indonesia melalui beberapa kanal pengaduan yaitu website www.lapor.go.id, SMS 1708, Twitter @lapor1708 serta aplikasi mobile (Android dan iOS).
Di jumlah yang sedikit sama, yakni 57,3 persen, cukup banyak juga responden yang tahu soal whistleblower system. Sistem berbasis laman yang diakses di kws.kpk.go.id ini disediakan untuk individu atau lembaga yang ingin melaporkan indikasi tindak pidana korupsi, tapi merasa sungkan atau takut identitasnya terungkap, karena kebetulan pelapor mengenal pelaku, misal atasan atau teman kerja.
Jadi Bagaimana Mengatasi Ketakutan Ini?
Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina menilai, hasil ini membuktikan kalau Whistleblowing System di lingkup birokrasi belum berjalan dengan baik. ICW memang belum memiliki kajian khusus terkait seberapa efektif penerapan sistem whistleblowing, tetapi seharusnya, ketika sebuah sistem berjalan dengan baik dan efektif, ASN juga tak khawatir lagi untuk melaporkan.
“Apalagi berdasarkan catatan KPK pada 2020, disebutkan bahwa 33 persen saksi kasus korupsi banyak mendapat intimidasi dan yang lainnya. Ini sangat disayangkan,” kata Almas kepada Asumsi.co, Senin (19/4/2021).
Padahal, dalam UU Tipikor, masyarakat diminta berperan aktif dalam pemberantasan korupsi dan sudah seharusnya dilindungi. Dengan adanya hasil survei seperti ini, maka perlu dipertanyakan lagi bagaimana sistem ini sudah menjamin kerahasiaan atau anominitas bagi pelapor, perlindungan hukum dan perlindungan dari intimidasi. “Jangan seperti yang terjadi baru-baru ini di Depok. Ketika dia melaporkan, eh malah justru diintimidasi,” ucapnya.
Selain itu, dia menilai, bisa jadi hasil ini karena sistem whistleblowing belum tersosialisasi dengan baik kepada ASN dan masyarakat. Padahal selain sistem ini, ada juga sistem LAPOR! seperti yang disampaikan Menpan-RB Tjahjo Kumolo saat menanggapi survei LSI tersebut. “Patut dipertanyakan juga, sejauh ini, apa aplikasi lapor sudah tersosialisasi dengan baik atau tidak? Jangan-jangan mereka enggan melapor selain takut, karena tidak ada tindak lanjut. Jangan sampai orang melapor, sudah takut kena masalah, dan kasus korupsinya tidak dilanjuti.”
Peneliti ICW, Dewi Anggraeni menambahkan, masalah perlindungan whistleblower memang masih menjadi perhatian saat ini. Pengenalan hingga perkembangan sistemnya sudah cukup baik, tetapi tidak sejalan dengan sistem perlindungan kepada pelapornya.
“Sependek yang saya ketahui, memang ada jaminan kerahasiaan dan perlindungan. Tetapi, tidak dijelaskan secara rinci selain boleh anonimitas. Seperti OJK begitu ya, disebutkan melindungi pelapor dari segala bentuk ancaman, intimidasi, dan sebagainya, tetapi misal di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang saya tahu, entah bagaimana caranya, pelapor penyimpangan dana kapitasi bisa berakhir dengan mutasi ke daerah terpencil. Contoh kasus ini membuktikan bahwa perlindungan whistleblower belum dapat “menyamankan” hati pelapornya, sehingga akan lebih baik memilih tidak melapor daripada dimutasi atau karirnya dihambat,” kata Dewi menjelaskan.
Adapun yang perlu dilakukan Menpan-RB adalah memastikan perlindungan whistleblower itu berjalan maksimal. “Seperti pelapor kasus korupsi ke KPK, sejauh ini tidak ada bocoran identitas pelapor. Jangan-jangan kemungkinan besar pemikiran para ASN, akan lebih baik lapor ke pihak eksternal daripada ke internal,” ucap dia.
Melansir laman KPK.go.id, peran whistleblower atau pengungkap dugaan tindak pidana korupsi bagi KPK amatlah sangat penting. Pada 2018, dari 6.468 laporan yang diterima KPK, sebanyak 2.272 laporan whistleblower menjadi petunjuk awal yang digunakan KPK untuk mengungkap kasus korupsi
Hal ini menegaskan bahwa laporan masyarakat menjadi salah satu kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi. Sebab, KPK tidak bisa bekerja sendiri dan membutuhkan dukungan masyarakat untuk mengawasi dan mengungkap berbagai kasus korupsi yang terjadi.
Dikutip dari Republika, Ketua KPK Firli Bahuri juga pernah menegaskan, pemberantasan korupsi hanya bisa berlangsung jika ada masyarakat yang ikut andil dalam melaporkan tindakan yang merugikan uang negara. Oleh karena itu, dia meminta kepada para menteri, gubernur dan kepala daerah, agar ASN yang melaporkan dugaan adanya tindak korupsi di instansi tidak dihukum.
Firli menilai, jika masih ada upaya menghukum pelapor tindak korupsi, maka sistem yang dibangun untuk memberantas korupsi tak berjalan mulus. Pasalnya, selama ini, ada ketakutan di tengah para pegawai ketika mereka melaporkan kasus korupsi justru akan dihukum oleh atasannya. Padahal pelapor punya andil besar dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi. Kondisi tersebut pada akhirnya membuat para pegawai yang mengetahui adanya praktik tindak pidana korupsi kerap kali enggan membuka suaranya.