Festival musik di alam terbuka yang natural, seperti Glastonbury Festival di Inggris yang menjadi ajang tahunan sejak lama, semakin menjamur di Indonesia. Alasan utama dari diadakannya festival musik alam ini adalah, tentu, untuk memberikan sensasi yang berbeda dan unik bagi para penikmat musik. Penonton tersebut dapat merasakan impresi menonton pemusik-pemusik favorit, baik lokal maupun internasional, sambil menikmati keindahan alam yang biasanya menjadi latar belakang panggung.
Sayangnya, festival musik alam tersebut melupakan satu hal kunci yang paling penting: menjaga alam itu sendiri. Glastonbury Festival sendiri tiap tahunnya telah merasakan sulitnya mengembalikan kondisi alam yang terlanjur rusak setelah acara berlangsung. Sampai-sampai, tahun ini, acara yang biasa diadakan dalam lima hari ini ditiadakan sementara demi mencegah kerusakan serius di Somerset, lokasi acara biasa dilangsungkan. Belum lagi sampah-sampah yang berserakan selepas acara juga menjadi permasalahan lingkungan lain. Rencananya, tahun 2019 nanti mereka akan kembali mengadakan acara tersebut.
Di Indonesia, pagelaran perdana La La La Fest di Lembang tahun 2016 kemarin juga menghadapi hal sama. Dari berbagai masalah yang dihadapi, salah satu masalah yang paling besar adalah rumput yang berubah menjadi lumpur. Ditambah lagi, hujan terjadi ketika acara berlangsung pun memperkeruh kondisi. Tapi semestinya penyelenggara acara sudah mengantisipasi datangnya hujan. Apalagi acara ini diadakan pada bulan November, yang mana sudah memasuki musim hujan.
Selain kedua acara di atas, Dieng Culture Festival 2018, yang sudah diadakan sejak 2010, juga masih menghadapi permasalahan yang sama. Selepas acara, sampah tersebar di mana-mana. Untungnya, acara ini sudah mempersiapkan relawan Aksi Dieng Bersih (ADB) untuk membersihkan sampah-sampah tersebut keesokan harinya. Meskipun begitu, tetap saja ada hal perlu dicatat: sampah masih menjadi permasalahan utama.
Tapi bagaimana acara-acara festival musik yang memberikan sajian extra, yaitu keindahan alam, di mata para penonton? Aditya, Neta, dan Bella yang mengaku sering menononton acara-acara festival musik tersebut pun memberikan sudut pandang mereka terhadap hal ini.
Festival musik yang dilakukan di alam terbuka, seperti di hutan atau di pantai, bisa memberikan pengalaman mendatangi festival musik yang lain daripada yang lain. Unik dan seru adalah dua nilai yang bisa dirasakan para penontonnya. Menurut Neta, salah seorang penikmat festival yang sering datang ke berbagai festival musik seperti We the Fest, merasa bahwa festival musik di alam terbuka dapat meningkatkan hype dan vibe dari acara itu sendiri.
“Sebenernya kalo gue pribadi seneng dengan festival di alam terbuka, karena jujur itu bakal ningkatin hype dan vibe-nya festival musik itu sendiri, biar semakin naik,” ujar Neta ketika diwawancarai Asumsi.co.
Selain Neta, Aditya juga merasa bahwa festival musik di alam terbuka dapat menjadi pembeda dan merupakan hal yang menarik. Terutama, ia merasa bahwa venue di tengah kota yang semakin membosankan penonton.
“Festival musik di alam terbuka tuh hal yang menarik, dibanding venue tengah kota yang bisa bosenin,” ujar Aditya.
Sejalan dengan Neta dan Aditya, Bella yang pernah menikmati festival musik alam terbuka Reading Festival di Inggris juga menyetujui bahwa festival semacam itu merupakan hal yang seru. Selain itu, ia juga menyukai festival musik di alam terbuka karena sambil menikmati konser, penonton dapat menikmati alam yang indah.
“Menurut gue sih, festival musik yang di alam terbuka itu lebih seru, karena space yang lo punya dan kayak artisnya juga itu lebih gede dan lebih enak. Lo juga dapat bonus alam yang bagus,” ujar Bella.
Namun, Bella juga mengungkapkan bahwa sebenarnya ada tantangan tersendiri ketika menghadiri festival di alam terbuka. Tantangan-tantangan tersebut utamanya berkaitan dengan cuaca dan kondisi venue.
“Festival musik di alam terbuka challenge-nya lebih banyak. Lo harus menghadapi alamnya itu sendiri, entah itu cuaca, entah itu kontur atau situasi di venue lo sendiri,” ujar Bella.
Dalam festival musik alam terbuka ini, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa ada kerusakan alam yang terjadi. Mulai dari sampah yang berserakan pasca acara, hingga rumput yang berubah menjadi lumpur, tentu membuat festival musik alam terbuka ini harus dapat dievaluasi. Menurut Neta, untuk memperbaiki hal tersebut bukanlah masalah mudah karena berkaitan dengan mental.
“Menurut gue bukan masalah gampang, karena mental orang-orang beda. Ada beberapa orang pasti yang mikir gue udah bayar, kenapa gue harus ngurus sampah lagi, (akan) ada orang lain kok yang ngurusin sampah gue. Tapi ada beberapa orang juga yang cinta lingkungan, yang biasa buang sampah di tempatnya. Meskipun produser acaranya sudah menghimbau untuk buang sampah, atau menjaga lingkungan, pasti ada beberapa orang yang merusak,” ungkap Neta.
Bella sendiri menyayangkan mentalitas tersebut. Menurutnya, mentalitas bahwa akan ada petugas kebersihan yang bekerja untuk membersihkan sampah merupakan hal yang miris. Ia merasa bahwa perlu ada kesadaran dari diri sendiri.
“Kayak kemarin gue dengar cerita tentang La La La Fest yang tahun lalu (2016), dan kalo lo nonton festival di Indonesia pasti banyak banget sampah, kan? Menurut gue itu hal yang miris. Sebagai seorang manusia, kalo misalnya kita juga udah tau di acara tersebut ada petugas kebersihan, itu jumlahnya enggak sebanyak yang nonton konser gitu loh. Mereka juga enggak stay 24 jam untuk membersihkan sampah lo. Menurut gue harus ada kesadaran dari diri sendiri,” tutur Bella.
Patrick pun merasa bahwa mentalitas “gue udah bayar” ini merupakan mentalitas yang berakar ke ignorance. Akibat dari ignorance ini pun menjadi masif, karena dapat merusak ekosistem.
“Mostly ignorance dari orang-orang sih yang enggak inget kalo festival outdoor di alam itu suatu hal yang susah dilakukan. Apalagi ditambah sampah atau sampai ngerusak ekosistem di situ,” ucap Aditya.
Berdasarkan permasalahan di atas, ketiga narasumber menawarkan beragam solusi agar kedepannya festival musik alam tidak mengusik alam itu sendiri. Untuk Neta, kampanye-kampanye yang dilakukan secara terus menerus untuk menjaga kebersihan sebelum festival dimulai dapat menjadi solusi yang berpengaruh.
“Menurut gue dengan melakukan campaign-campaign yang dilakukan secara terus menerus sebelum festival lewat Instagram, Twitter, atau Website mereka, itu bakal berpengaruh kok. Nge-effect,” tutur Neta.
Sedangkan Bella memberikan tiga saran yang berbeda. Pertama, jangan egois. Kedua, untuk penyelenggara siapkan tempat sampah lebih terperinci. Ketiga, persiapkan tempat minum kosong untuk dapat diisi kembali di dalam area festival.
“Satu, jangan self-centered. Lo harus bener-bener memperhatikan alam. Apakah perbuatan lo ini akan menghasilkan kerugian bagi orang lain atau makhluk lain. Kedua, untuk penyelenggara event, seenggaknya kalian jangan cuman nyediain trash bag, tapi persiapkan tempat sampah tiga macam. I know ini akan makan budget banyak banget, tapi ini berguna banget. Ketiga, dari diri sendiri, bawa tumbler kosong aja,” ujar Bella.
Sedangkan Patrick merasa bahwa sudah saatnya melarang para penonton untuk membawa hal-hal yang berbau plastik. Lebih baik, penyelenggara langsung berkata bahwa untuk menonton festival, harus menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan.
“Mungkin mengikuti tren di mana orang tuh enggak boleh bawa botol minum plastik, sedotan plastik, dan di sana kalo ada jualan juga jangan pake plastik, pakai bahan-bahan eco-friendly,” tutup Patrick.
Selain berbicara dengan para penikmat festival, Asumsi.co juga berbicara langsung dengan Esa Khairina, seorang pegiat lingkungan yang pernah menjabat sebagai Koordinator Networking dan Partnership, Greenpeace Youth Jakarta masa bakti 2016-2017. Menurut Esa, tentu festival musik di tengah alam terbuka merupakan sesuatu yang seru dan menarik. Namun, menurutnya, manajemen tempat yang buruk dapat menjadi hal yang perlu dicermati. Terutama, ia mempermasalahkan tentang letak panggung dan letak parkir. Letak panggung di festival alam terbuka sering kali tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli terkait kontur tanah dan topografi. Risikonya, tanah bisa jadi enggak padat lagi. Terutama kalo diadakan pas musim hujan, longsor bisa terjadi.
“Manajemen acara gini-ginian seringnya mendirikan panggung tanpa konsultasi terlebih dahulu tentang kontur tanah dan topografi. Sehingga punya risiko bikin tanah jadi enggak padat dan longsor. Apalagi kalo acaranya pas musim hujan ya kan,” ujar Esa, yang biasa dipanggil Echa, untuk Asumsi.co.
Manajemen parkir pun terkadang sama buruknya. Echa pernah membaca suatu artikel bahwa ada satu acara yang sampai menebang pohon untuk membuat ruang parkir baru. Hal ini seharusnya tidak perlu dilakukan.
“Soal parkir juga, gue pernah baca ada manajemen acara yang sampai nebang pohon buat ngosongin space untuk parkir. Baiknya sih ya, kalo acara ginian, parkirnya emang di lahan parkir betulan aja, enggak usah bikin space baru,” ujar Echa mengungkapkan rasa geramnya terhadap manajemen acara yang sampai tega membuat lahan parkir baru dengan menebang pohon.
Selain itu, terkait pengelolaan sampah dan lingkungan agar tidak merusak, Echa punya saran untuk semua pihak yang terlibat agar dapat bertanggung jawab, mulai dari manajemen acara sampai yang memberi izin untuk acara.
“People should be held accountable. Mulai dari manajemen acara sampai yang kasih izin buat mengadakan acara. Karena seringnya yaudah sih dibiarin gitu aja dan malah penduduk sekitarnya yang kena getahnya. Padahal mereka menikmati juga enggak,” lanjut Echa.
Echa juga melihat pentingnya untuk melarang merokok selama acara berlangsung. Hal ini dianggap penting setelah melihat kejadian Gili Lawa yang terbakar akibat puntung rokok yang dibuang sembarangan. Karena acara festival ini seringnya diadakan di tengah hutan, lebih baik larangan merokok digencarkan.
“Sebaiknya juga bikin para orang ini melarang merokok karena… well, lihat aja apa yang terjadi dengan Gili Lawa. Api itu sensitif di daerah hutan, camkan,” ujar Echa.
Sebagai penutup, Echa menawarkan sebuah solusi tambahan, selain harus melarang merokok dan manajemen sampah, dari permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi akibat festival tersebut. Solusi tersebut adalah bikin MoU yang mengikat secara hukum untuk manajemen acara bertanggung jawab jika ada kerusakan lingkungan. Jangan buat penduduk sekitar menjadi korban.
“Bikin MoU yang mengikat secara hukum, biar kalau terjadi kerusakan lingkungan, ada yang bertanggung jawab. Janganlah kau korbankan penduduk sekitar, please. Lo kalo udah balik ke kota asal lo kan enggak akan meraskan akibatnya, tapi mereka? Have some compassion lah,” tutup Echa.