Kabupaten Blora terletak di Jawa Tengah. Berada sejauh 148 kilometer dari pusat Kota Semarang, suasana di kabupaten tersebut lengang. Amat jarang menemukan kendaraan pribadi yang terjebak kemacetan panjang.
Tujuan Asumsi menyambangi Blora hanya satu. Menemui Soesilo Toer. Rumahnya berada di Jalan Sumbawa Nomor 40. Namun, tak mudah untuk menemukan rumah Soesilo. Tak ada papan nama jalan, kecuali sinyal pada peta smartphone yang menunjukan posisi Asumsi telah sampai di lokasi tujuan.
“PATABA. Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa”. Begitulah guratan tulisan yang terpampang besar di pagar rumah Jalan Sumbawa 40. Siang itu, Pak Soes, panggilan Soesilo, terlihat sibuk memberi makan kambingnya. Ia sempat melirik. Kedua kakinya kemudian berjalan menuju pagar. Tubuhnya yang renta masih sigap saat mempersilahkan Asumsi masuk ke rumahnya.
“Harusnya sejak dulu, jalan itu dinamai Pramoedya Ananta Toer. Karena Pram punya jasa besar buat Blora. Tapi Pemkab nyatanya cuek-cuek aja,” kata Pak Soes saat mengawali obrolan bersama Asumsi.
Sebagai adik kandung Pram, rumah Pak Soes sebenarnya jauh dari kata layak. Ada dua buah bangunan rumah di pekarangan yang cukup luas. Sebuah bangunan rumah besar dipakai untuk perpustakaan Pataba. Yang satunya lagi untuk tempat menerima para tamunya.
“Kalau mau nginap, di sini juga bisa. Boleh nginap beberapa hari. Gratis. Saya bisa tidur di mana aja,” ujarnya sembari menyilahkan masuk ke rumahnya.
Rumah Pak Soes sarat sejarah. Disitulah kedua orangtuanya dan semua saudaranya termasuk Pram menghabiskan masa kecil. Ia bilang sesekali pejabat Pemkab datang sekedar menengoknya. Ia sempat ditawari perbaikan rumah.
“Mau dibantu perbaikan rumah. Tapi pejabat itu bilang nanti ada potongan tiga persen buat dirinya. Ketimbang dananya enggak jelas, saya tolak tawarannya,” cetusnya.
Sejauh mata memandang, dinding rumah Pak Soes dipenuhi bingkai-bingkai foto Pramoedya Ananta Toer. Beberapa lukisan mendiang kakaknya itu menempel kuat pada tembok. “Foto saya itu ada, walau enggak sebanyak Pram. Meskipun Pram kakak saya, tapi nyatanya saya lebih hebat dari dia,” katanya, menunjukan beberapa potret wajahnya yang bersanding dengan foto Pram sembari tertawa lebar.
Sejak kecil, ia dan Pram tak bisa dipisahkan dari dunia sastra. Pram menulis sejak umur 15 tahun. Sedangkan Pak Soes mulai menulis pada usia lebih muda yakni 13 tahun. “Kalau Pram sekolah aja enggak tamat. Beda dengan saya. Saya bisa sekolah sampai ke Moskow Uni Soviet (sekarang Rusia),” akunya.
Perbedaan lain dengan sang kakak tentunya soal batasan usia. Pak Soes sampai detik ini berusia 81 tahun lebih 100 hari dan Pram telah tiada di usia 81 tahun.
Dari segi perkawinan pun, ia berseloroh lebih hebat ketimbang Pram. Sampai ajal menjemput, kakaknya menikah dua kali. Pak Soes sampai kini telah menikah tiga kali.
Namun, ia menegaskan sosok kakaknya itu sangat terpatri di hatinya.
“Saya pasti menangis kalau ada yang nyebut nama Pram. Enggak tahu kenapa,” sergahnya.
Nama Pram melegenda lewat buku-buku novel yang terbit sejak puluhan tahun silam. Karenanya, Pak Soes begitu mengagumi kakaknya.
“Ada 35 tulisan saya yang sudah diterbitkan ada 20. Sisanya berupa naskah. Tapi lain orang lain rezeki. Tulisannya Pram memang hebat,” tuturnya.
Ketika mengawali menulis, karya Pak Soes pertama kali berjudul ‘Aku Kepengin Jadi Jenderal’. Ia berkisah ketika kecil berangan-angan memimpin sebuah peperangan.
“Itu dimuat di Majalah Kunang Kunang. Tahun 1951,”.
Ia mengaku beruntung berada di lingkungan keluarga berpendidikan. Ayahnya merupakan pemilik sekolah Institut Boedi Utomo di Blora yang menggantikan posisi Dr Sutomo. Tapi sekolahannya bangkrut akibat kena imbas keterlibatan Belanda di Perang Dunia II.
Perjalanan hidupnya dimulai setamat SMA. Pak Soes kala itu mencoba mendaftar kuliah di Universitas Indonesia (UI). Hasilnya, ia lolos tanpa tes. Musababnya, nilainya matematika saat SMP dan SMA rutin mendapat angka 10.
“Ini yang tidak saya sadari. Padahal pas SMP, matematika saya selalu jeblok. Mentok dapat 3. Tapi semuanya berubah ketika saya mengalami jatuh cinta pertama kali dengan seorang perempuan di dalam bus. Setelah kejadian itu, otak saya seperti dimudahkan mengerjakan soal matematika. Ternyata jatuh cinta bisa memacu keseimbangan otak kiri dan kanan. Itu kuncinya,” katanya.
Di UI, Pak Soes mampu lulus 2,5 tahun. Lebih cepat ketimbang mahasiswa diploma pada umumnya. Dirinya kemudian berkuliah di Bogor dan sempat jadi relawan saat peristiwa Trikora meletus di Irian Jaya.
Namun, hidupnya berubah total ketika memilih meneruskan kuliah melalui jalur Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (DPTIP).
“Saya ketika itu diminta buat perjanjian bahwa harus lulus sekolah di Rusia minimal 10 tahun lalu wajib bekerja kepada pemerintah Indonesia. Saya mengiyakan. Lalu berangkatlah ke Uni Soviet,” tuturnya.
Di Negeri Beruang Merah, Pak Soes tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah. Ia mendapat beasiswa 90 Rubbel tiap bulan. Maka, ia memutuskan mengambil pendidikan tingkat master. Pilihannya jatuh pada University Patrice Lumumba.
Selama di Uni Soviet, ia juga mampu meraih gelar doktoral di Universitas Plekhanov Moskow. Gelar Doktor Politik-Ekonomi ia raih di usia 35 tahun. Pak Soes bilang hidupnya bergelimang harta selama berada di Uni Soviet.
Dompetnya makin tebal karena dirinya juga nyambi menjadi editor bahasa di sebuah surat kabar lokal serta penerjemah bahasa di kantor kedutaan Moskow. “Dapat beasiswa 90 Rubbel aja sudah lebih dari cukup. Penghasilan saya tambah banyak lagi dari kerja di surat kabar dan jadi penerjemah. Saya dapat bayaran 350 Rubbel,” sambungnya.
Ia saat itu kaya raya. Semua barang mewah bisa terbeli dengan mudah. Pak Soes bercerita pacarnya ketika kuliah juga banyak. Ia bahkan bisa memacari seorang wanita keturunan raja gypsy Polandia.
Karena uangnya banyak, ia jadi gemar berpergian ke berbagai belahan Eropa. Kakinya menjelajah dari Kazakthan sampai Jerman dan banyak negara lainnya. Ia mengatakan bisa jadi orang Indonesia pertama yang mampu berpergian ke kutub utara.
“Mau gimana lagi. Uang saya banyak. Di sana, biaya makan cuma 1 Rubbel. Sisanya buat jalan-jalan dong sampai kutub utara. Pengalaman inilah yang tak dapat dimiliki seorang Indonesia pun. Termasuk kakak saya sendiri,”.
Kendati demikian, ada satu ilmu berharga yang ia tanamkan hingga kini. “Jadi manusia itu harus bermanfaat bagi manusia lainnya,” terangnya.
Untuk itulah, kesibukan lainnya selama di Moskow ialah menjadi pemulung. Pak Soes tak risih, apalagi jijik. Diakuinya banyak sekali jaket-jaket mahal bekas pakai mahasiswa yang dipungutnya dari tong sampah. Cukup dibersihkan dan dipermak sedikit, jaket itu kembali jadi barang bernilai tinggi.
“Buktinya, tiap saya pakai mesti ada yang beli. Mereka tidak tahu kalau itu barang sampah,” katanya lagi.
Ia mengungkapkan memulung sudah menjadi hobinya sejak kecil. Semua saudaranya dulunya sering diajak gresek-gresek sampah. Sampai rambutnya beruban seperti sekarang, ia masih rutin memulung.
“Maka sampai sekarang orang kenal saya sebagai rektor. Singkatannya korek-korek yang kotor,” tuturnya.
Baginya, memulung sampah bukan perkara mudah. Ia yang rutin mengais sampah seantero Blora itu menyatakan kadang kerap berebut sampah dengan pemulung lainnya.
“Karena buat saya harta paling berharga itu sampah. Sebab sampah bisa diubah jadi berbagai macam barang. Jadi kita jangan sekali-kali menyepelekan sampah,” tegasnya.
Saban hari Pak Soes gresek sampah selepas Isya pukul 19.00 WIB sampai tengah malam. Jika kondisinya fit, ia bisa gresek sampah hingga Subuh.
“Kadang dapat dua kol tiga kol. Dapat uangnya ya Rp 150 ribu. Lumayan buat makan sehari-hari,” paparnya.
Ia yang gemar mempelajari Marxis dan Leninisme itu selalu menanamkan pada keluarganya bahwa hidup tak boleh bergantung pada orang lain. Tak heran bila selain memulung, ia memiliki beberapa pasang kambing dan beternak ayam. Kambing atau ayamnya kadang dijual. Tapi ada yang diberikan kepada tetangga yang butuh bantuan.
“Karena ya itu tadi. Manusia hidup harus punya manfaat. Percuma kerja uangnya banyak kalau tetap jadi budaknya orang lain. Itu penindasan,” sergahnya.
Maka dari itu, ia sama sekali tak tertarik meski banyak tawaran bekerja dari Pemkab maupun lembaga lainnya. Ijazah doktornya ia simpan rapat-rapat dalam tas kulit buatan Polandia. Menurutnya, barang itu jadi jejak petualangannya sebagai ilmuwan dari Moskow.
“Jika saya mati nanti, saya ingin dikenal sebagai lelanang ing jagad. Saya sudah meraih semuanya. Termasuk memacari 200 perempuan Eropa, dan pernah nikah tiga kali,” ujar Pak Soes.