Amnesty International menyampaikan hasil laporan investigasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Dalam temuannya, terdapat total 69 kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawful killings di Papua oleh aparat keamanan.
Dalam laporan Amnesty International bertajuk “Sudah, Kasi Tinggal Di Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua”, warga sipil yang meninggal dunia tersebut merupakan korban dari kekerasan dan tindakan represif aparat keamanan.
Dari total 69 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama rentang Januari 2010-Februari 2018 tersebut, ada sekitar 95 orang warga sipil yang menjadi korban meninggal dunia. Sebagian korban atau 85 orang di antaranya merupakan warga asli Papua.
“Keluarga-keluarga korban mengatakan pada Amnesty International bahwa mereka masih ingin melihat pelaku pembunuhan terhadap orang-orang yang mereka cintai dibawa ke pengadilan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Jakarta, Senin 2 Juli.
Usman menjelaskan bahwa dalam laporan Amnesty International tersebut, hampir sebagian besar pembunuhan di luar hukum itu justru terjadi dalam konteks peristiwa non politik atau sama sekali tidak terkait dengan seruan kemerdekaan atau referendum di Papua.
Misalnya saja kasus pembunuhan itu rata-rata terjadi saat aparat keamanan berhadapan langsung dengan aksi protes damai dan gangguan ketertiban umum, terutama pada saat aparat menangkap tersangka kriminal atau juga kelakuan buruk terhadap personel keamanan.
“Pembusukan pada saat pemulihan perkumpulan dan gangguan ketertiban umum yang bersifat non politik dan kericuhan masyarakat. Contohnya pembunuhan terhadap Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau,” ujar Usman.
Seperti diketahui, Petrus dan Leo sendiri merupakan pekerja yang melakukan protes, yang dipekerjakan di perusahaan tambang emas dan tembaga Freeport di Timika pada 10 Oktober 2011 silam.
Tak hanya itu saja, ada pula kasus penembakan tanpa peringatan oleh anggota Brimob di Deiyai pada kerumunan, hingga membunuh Yulianis Pigai pada 1 Agustus 2017.
“Laporan tersebut menunjukkan insiden pembunuhan di luar hukum sebagai akibat dari pelanggaran individu petugas keamanan di Papua yang merenggut nyawa 25 orang. Ini termasuk serangan tentara di desa-desa Honelama, Wamena, pada 6 Juni 2011,” ucap Usman.
“Dan pembunuhan Irwan Wenda, seorang pria Papua yang mengalami gangguan jiwa, yang dibunuh oleh polisi setelah dia memukul petugas menggunakan sepotong tebu,” kata Usman.
Sayangnya, tidak satupun dari pelaku pembunuhan tersebut yang diadili melalui mekanisme hukum yang independen. Usman mengatakan, dari 69 kasus, 25 di antaranya tidak ada investigasi sama sekali, bahkan tidak ada pemeriksaan terhadap pelaku di internal institusinya.
“Dalam 69 insiden yang didokumentasikan dalam laporan tersebut, tidak ada satupun pelaku menjalani investigasi kriminal oleh lembaga independen dari institusi yang anggotanya diduga melakukan pembunuhan,” ucap pria berkacamata itu.
Sementara dalam 26 kasus lainnya, baik Polri maupun TNI mengaku bahwa mereka telah melakukan investigasi internal, namun dengan hasil investigasi yang tidak dipublikasikan.
“Kegagalan negara dalam menjamin investigasi yang cepat, independen, dan efisien terhadap kasus pembunuhan-pembunuhan di luar hukum juga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Usman.
Sayangnya negara memang kurang tegas dalam mendorong investigasi secara komprehensif terhadap kasus tersebut. Usman pun menyayangkan hal itu, padahal menurut Usman, investigasi terhadap kasus-kasus pembunuhan warga sipil di Papua tersebut sangat mendesak diperlukan.
Tentu negara perlu hadir dan melakukan hal itu demi memastikan keadilan dan mencegah upaya-upaya pelanggaran HAM serupa di masa mendatang.
“Selain itu, ini merupakan elemen penting dari kewajiban positif negara untuk mencegah perampasan hak hidup yang sewenang-wenang,” kata Usman.